Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keliru, Haris Azhar Kritik Luhut karena Tidak Diberi Saham

Kamis, 15 Juni 2023 21:52 WIB

Keliru, Haris Azhar Kritik Luhut karena Tidak Diberi Saham

Sebuah akun Facebook membagikan narasi bahwa Haris Azhar mengkritik Luhut Binsar Pandjaitan lantaran tidak diberi saham Freeport.

Akun tersebut mengunggah postingan sebuah tautan berita dan diberi keterangan: “Inilah kenapa saya susah percaya sama LSM, aktivis, dan Ormas. Semuanya UUD (ujung-ujungnya duit).”

Akun ini juga menuliskan, “Si Azhar ini bukti bahwa aktivis itu kalau dikasih cuan, pasti diam, nggak dikasih ribut!” 

Benarkah Haris Azhar mengkritik Luhut karena tidak diberi saham? Berikut pemeriksaan faktanya.

PEMERIKSAAN FAKTA

Tempo melakukan verifikasi terhadap klaim tersebut dengan menggunakan pemberitaan media-media kredibel di Indonesia.

Link berita yang dibagikan akun ini berasal dari halaman Facebook Kompas TV. Berita tersebut diunggah tanggal 8 Juni 2023. Dilansir Kompas TV,  Luhut Binsar Pandjaitan hadir sebagai saksi dalam kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dalam sidang di PN Jakarta Timur,  tanggal 8 Juni 2023.

Dilansir Tempo, kasus itu bermula pada tanggal 20 Agustus, melalui kanal YouTube pribadinya, Haris Azhar mengunggah video podcast berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya Jenderal BIN Juga Ada.” Dalam video tersebut, Haris berdiskusi dengan Fatia.

Haris Azhar merupakan Direktur Lokataru, dan Fatia Maulidiyanti adalah Koordinator KontraS. Dalam video tersebut keduanya mendiskusikan riset berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”. Riset tersebut disusun oleh YLBHI,  Eksekutif Nasional WALHI, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, dan gerakan #BersihkanIndonesia.

Riset itu mengungkap pengerahan kekuatan militer Indonesia dalam tiga tahun terakhir secara ilegal di kawasan pegunungan tengah Provinsi Papua telah memicu eskalasi konflik bersenjata antara TNI-POLRI dan TPNPB, serta kekerasan dan teror terhadap masyarakat sipil terutama di Kabupaten Intan Jaya. Analisis spasial mengungkapkan bagaimana letak pos militer dan kepolisian berada di sekitar konsesi tambang yang teridentifikasi terhubung baik secara langsung maupun tidak langsung dengan para jenderal.

Operasi ilegal itu, justru memantik eskalasi konflik bersenjata, memperparah teror bagi masyarakat sipil, dan menambah deretan kekerasan negara di Papua. Sedikitnya 10% penduduk Sugapa, ibukota Kabupaten Intan Jaya mengungsi, termasuk 331 perempuan dan anak-anak di awal tahun 2021. April lalu, Pemerintah Republik Indonesia resmi melabeli kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai teroris. Pelabelan tersebut menjadi pintu masuk legalisasi operasi militer dan penambahan pasukan.

Sementara itu, ada empat perusahaan di Intan Jaya yang teridentifikasi dalam laporan ini yakni PT Freeport Indonesia (IU Pertambangan), PT Madinah Qurrata’Ain (IU Pertambangan), PT Nusapati Satria (IU Penambangan), dan PT Kotabara Miratama (IU Pertambangan). Dua dari empat perusahaan itu yakni PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ) adalah konsesi tambang emas yang teridentifikasi terhubung dengan militer/polisi termasuk bahkan dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan.

Setidaknya ada tiga nama aparat yang terhubung dengan PTMQ. Mereka adalah Purnawirawan Polisi Rudiard Tampubolon, Purnawirawan TNI Paulus Prananto, dan Purnawirawan TNI Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Rudiard Tampubolon merupakan komisaris PTMQ, bahkan West Wits Mining (pemegang saham MQ) menganggap bahwa kepemimpinan dan pengalaman Rudiard cukup berhasil menavigasi jalur menuju dimulainya operasi pertambangan. Selain duduk sebagai komisaris, perusahaan yang dipimpin Rudiard yakni PT Intan Angkasa Aviation juga mendapat 20% kepemilikan saham di PT Madinah Qurrata’ain.

Dalam Darewo River Gold Project, West Wits Mining juga membagi sejumlah 30% saham kepada PT Tobacom Del Mandiri (TDM). Presiden direktur TDM ialah Purnawirawan TNI Paulus Prananto. Di sebuah terbitannya, West Wits Mining jelas menyebut bahwa TDM bertanggung jawab terkait izin kehutanan dan terkait keamanan akses ke lokasi proyek. TDM merupakan bagian dari PT Toba Sejahtera Group, dimana pemilik saham minoritasnya adalah Luhut Binsar Panjaitan.

Dua purnawirawan TNI yang terkait dengan perusahaan MQ, Paulus Prananto dan Luhut Binsar Panjaitan, merupakan anggota tim relawan (Bravo Lima) pemenangan Presiden Joko Widodo pada 2014 dan 2019.

Pada tanggal 22 September 2021, Luhut melaporkan Haris Azhar dan Fatia ke Polda Metro Jaya. Dilansir Tirto.id, Haris Azhar serta Fatia didakwa  dengan Pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 Ayat 3 UU ITE, Pasal 14 Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 KUHP tentang Penghinaan.

Kasus ini masih terus berjalan, setelah berkali-kali upaya mediasi gagal dilakukan. Pada tanggal 8 Juni 2023 di PN Jakarta Timur, majelis hakim menghadirkan Luhut sebagai saksi.  

Terkait Tuduhan Minta Saham

Terkait permintaan saham, seperti dilansir Tempo, Haris Azhar menegaskan tidak pernah meminta saham PT Freeport Indonesia,  seperti yang disampaikan Luhut dalam sidang di PN Jakarta Timur, tanggal 8 Juni 2023.

Dalam sidang tersebut, Haris Azhar membenarkan bahwa ia pernah menghubungi Luhut terkait saham dalam kapasitasnya sebagai kuasa hukum salah satu masyarakat adat yang tinggal di sekitar tambang Freeport.  Saat itu, masyarakat yang didampinginya, berhadapan dengan situasi belum adanya peraturan daerah yang memastikan pembagian saham untuk masyarakat adat.

“Bukan saya minta saham. Saya juga mengerti hukum dan saya memastikan itu. Maka setelah kita upaya di level Bupati tidak berhasil maka saya bilang ke klien saya mari kita datang ke Pak Menko Marves,” kata Haris Azhar.

Kedatangan Haris Azhar saat itu, menurut situs berita Jubi, untuk membantu Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS) masyarakat adat sekitar wilayah tambang Freeport Indonesia. “Sejak divestasi Freeport Indonesia ke Inalum, mereka (masyarakat adat) dijamin alokasi sahamnya, tapi sampai saat ini tidak jelas ke mana saham tersebut,” kata Haris Azhar menambahkan.

Tercatat pada pertengahan 2018 pemerintah melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) resmi menggenggam 51 persen saham PT Freeport Indonesia. Menteri BUMN saat itu Rini Soemarno menyatakan Pemerintah Daerah Papua dan Kabupaten Mimika akan mendapatkan 10 persen dari saham Freeport Indonesia. Dari 10 persen saham Pemda Papua tersebut, dibagi menjadi 7 persen untuk Kabupaten Mimika termasuk di dalamnya untuk hak ulayat atau hukum adat, dan 3 persen untuk Provinsi Papua.

Menurut Haris, saat itu ia tidak bertemu Luhut, melainkan salah satu pejabat Kemenko Marves yaitu Staf Khusus Bidang Hukum Menko Kemaritiman Lambok Nahattands. “Waktu itu yang menemui adalah Pak Lambok, salah satu pejabat di Menko Marves. Bukan LBP yang temui kami. Dokumen saya lengkap soal ini semua. Dan sampai saat ini tidak diketahui apa kontribusi kantor Marves untuk soal saham masyarakat adat yang belum tuntas tersebut,” jelas Haris.

Sekretaris Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS) Yohan Zongganau melalui situs Wahana News menjelaskan, Haris merupakan kuasa hukum yang mewakili masyarakat adat untuk menyelesaikan masalah penyaluran saham yang dijanjikan Freeport.

"Pak Haris Azhar ini memberikan bantuan dan menanyakan, 'ini bagaimana urusan saham ke masyarakat adat'. Kemarin kita datang 31 orang tokoh-tokoh karena pak Luhut bersedia ketemuan dengan kita," kata Yohan seperti dilansir dari CNN Indonesia, Kamis, 30 September 2021.

Ia menjelaskan bahwa pertemuan itu sedianya dilakukan pada 4 Maret 2021. Namun demikian, Luhut membatalkan pertemuan itu dan mengalihkan ke salah seorang Deputi di Kementerian tersebut.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemeriksaan fakta Tim Cek Fakta Tempo, unggahan dengan klaim Haris Azhar mengkritik Luhut karena tidak diberi saham adalah keliru.

Dalam sidang pemeriksaan saksi yang menghadirkan Luhut Binsar Pandjaitan di PN Jakarta Timur, Haris Azhar mengatakan, sebagai pribadi, tidak pernah meminta saham Freeport kepada Luhut Binsar Pandjaitan. Namun sebagai kuasa hukum masyarakat adat di sekitar Freeport, ia pernah menyampaikan pada Luhut terkait saham untuk masyarakat adat sekitar tambang.

Haris Azhar dan Fatia, jadi terdakwa pada kasus pencemaran nama baik terhadap Luhut Binsar Pandjaitan. Keduanya didakwa dengan pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 Ayat 3 UU ITE, Pasal 14 Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, dan Pasal 310 KUHP tentang Penghinaan.

TIM CEK FAKTA TEMPO

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id