Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keliru, Klaim Kasus Demam Berdarah di Indonesia Meningkat karena Efek Vaksin Covid-19 atau Wolbachia

Rabu, 8 Mei 2024 17:11 WIB

Keliru, Klaim Kasus Demam Berdarah di Indonesia Meningkat karena Efek Vaksin Covid-19 atau Wolbachia

Sebuah konten beredar di media sosial dengan klaim bahwa peningkatan kasus demam berdarah di Indonesia disebabkan karena efek vaksin Covid-19 dan diterapkannya metode Wolbachia.

Di Facebook, narasi serupa diunggah akun ini [arsip] pada 3 Mei 2024. "DBD meningkat bahkan ada yang sampai meninggal, efek vaksin covid atau nyamuk wolbachia yang gagal?" tulis akun tersebut. 

Hingga artikel ini dimuat unggahannya telah mendapat 58 komentar dan dibagikan sebanyak 12 kali. Benarkah kasus DBD di Indonesia meningkat karena efek vaksin dan penggunaan metode Wolbachia?

PEMERIKSAAN FAKTA

Guru Besar Bidang Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Erni Juwita Nelwan, mengatakan faktor lingkungan  berperan penting dalam lonjakan kasus DBD karena nyamuk Aedes aegypti biasanya bertelur saat musim panas. 

Telur-telur itu bisa bertahan hingga delapan bulan, dan akan menetas saat tergenang air. Maka, musim panas berkepanjangan karena El Niño membuat stok telur Aedes aegypti meningkat, dan sekalinya hujan, jumlah nyamuk yang lahir jauh lebih banyak dari biasanya.

Demam berdarah (DBD) merupakan salah satu penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Meskipun demam berdarah ringan sering kali hanya menimbulkan gejala mirip flu dan demam tinggi, namun ada bentuk yang lebih parah dari penyakit ini.

DBD dapat menyebabkan pendarahan serius, penurunan tekanan darah tiba-tiba, bahkan berujung pada kematian. Setiap tahunnya, jutaan kasus infeksi demam berdarah dilaporkan di berbagai belahan dunia. 

Demam berdarah parah terjadi ketika pembuluh darah terus mengalami kerusakan dan kebocoran. Sementara jumlah trombosit dalam aliran darah menurun. Hal ini dapat mengakibatkan syok, perdarahan internal, kegagalan organ, bahkan kematian.

Meskipun kebanyakan penderita demam berdarah hanya mengalami gejala ringan atau bahkan tidak mengalami gejala sama sekali, dalam beberapa kasus, penyakit ini dapat berubah menjadi sangat serius dan mengancam jiwa. Individu yang sudah pernah terinfeksi sebelumnya memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami demam berdarah parah.

Dilansir dari Liputan6.com, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Mohammad Adib Khumaidi mengatakan bahwa saat ini tengah terjadi tingkat kelembapan udara tinggi. Hal ini mempercepat perkembangan vektor penyakit demam berdarah dengue (DBD) yakni nyamuk Aedes aegypti.

“Maka musim pancaroba ini menjadi musim yang sangat diinginkan oleh nyamuk dengue, sehingga potensi untuk peningkatan kasus DBD akan sangat tinggi," kata Adib.

Faktor lingkungan berperan dalam peningkatan kasus DBD. Maka penting untuk melakukan seperti 3M (menguras, menutup, mengubur) harus dilakukan secara konsisten, termasuk penggunaan larvasida abate (obat pembasmi jentik nyamuk).

“Yang lebih penting lagi kalo sudah membahas faktor lingkungan, maka tentunya upaya yang berkaitan masalah kebersihan lingkungan sangat penting, 3M harus dilakukan sebagai salah satu upaya mencegah perkembangbiakan dengue, termasuk larvasida abate dan sebagainya,” ujarnya.

Metode Wolbachia tidak menyebabkan demam berdarah melonjak

Dilansir dari laman Universitas Gadjah Mada (UGM), penerapan metode Wolbachia untuk memberantas DBD telah dilakukan di sejumlah lokasi permukiman warga di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sejak tahun 2011.

Proyek penelitian itu bernama World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta, yang dilaksanakan atas kolaborasi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Monash University Australia dan Yayasan Tahija Jakarta.

Pelaksanaannya melalui beberapa tahap, yakni fase kelayakan dan keamanan (2011-2012), fase pelepasan skala terbatas (2013-2015), fase pelepasan skala luas (2016-2020), dan fase implementasi (2021-2022).

Peneliti Pusat Kedokteran Tropis UGM yang juga terlibat dalam WMP Yogyakarta, Riris Andono Ahmad, mengatakan Kemenristekdikti dan Balitbangkes dari Kemenkes telah membentuk tim independen untuk menganalisis risiko program itu. Tim beranggotakan 20 orang dari berbagai kepakaran.

Hasil analisis tersebut mengatakan bahwa penerapan metode Wolbachia memiliki tingkat risiko yang rendah terhadap manusia. Bakteri Wolbachia juga tidak menular ke manusia, maupun menyebabkan sakit.

“Kesimpulan mereka bahwa pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia masuk pada risiko sangat rendah, di mana dalam 30 tahun ke depan, peluang peningkatan bahaya dapat diabaikan (karena resikonya rendah),” kata Riris.

Program tersebut telah dilaksanakan bertahap selama 12 tahun dan dinyatakan tidak berbahaya. Analisa risiko oleh tim independen lintas kepakaran menyimpulkan bahwa metode tersebut memiliki tingkat risiko sangat rendah dan tidak perlu dikhawatirkan sampai 30 tahun mendatang.

Dilansir dari BBC Indonesia, Wolbachia adalah bakteri yang dapat tumbuh di tubuh serangga, termasuk nyamuk Aedes aegypti. Wolbachia adalah inovasi yang dianggap mampu melumpuhkan virus dengue dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti, sehingga nyamuk itu tak bisa menularkan virus itu ke tubuh manusia. Inovasi ini merupakan hasil penelitian kerja sama antara Monash University di Australia dan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

Penelitian terkait Wolbachia sudah dimulai sejak 2011, dan lokasi uji coba pertama di dunia dilakukan di Queensland, Australia.

Reaksi Imunologi

Melansir kantor berita Antara, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengkonfirmasi adanya sejumlah perubahan gejala penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) pada tubuh seseorang yang pernah terjangkit COVID-19 karena pengaruh reaksi imunologi.  

"Memang ada beberapa laporan yang menunjukkan ada perubahan gejala DBD setelah pandemi COVID-19. Hal ini memang terkait perubahan reaksi imunologi yang terjadi pada tubuh seseorang yang pernah terinfeksi COVID-19," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes, Imran Pambudi, dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.  

Menurut Imran, Kemenkes memperoleh beberapa laporan yang menunjukkan perubahan gejala pada penderita DBD pascapandemi COVID-19, salah satunya datang dari Kota Bandung, Jawa Barat.  

Dinas kesehatan setempat mendeteksi tanda-tanda DBD yang tidak biasa dikenali pada pasien, seperti tidak ada gejala bintik merah dan mimisan yang selama ini menjadi pertanda serius di kalangan penderita DBD.  

KESIMPULAN

Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa kasus DBD di Indonesia meningkat karena efek vaksin dan penggunaan metode Wolbachia adalah keliru

Faktor lingkungan berperan penting dalam lonjakan kasus DBD. Musim panas berkepanjangan karena El Niño membuat stok telur Aedes aegypti meningkat, dan sekalinya hujan, jumlah nyamuk yang lahir jauh lebih banyak dari biasanya.

Setelah melalui rangkaian uji coba, metode Wolbachia justru bisa mengurangi transmisi infeksi virus dengue ke tubuh manusia. Nyamuk berwolbachia efektif bisa menurunkan sampai 77% infeksi dengue dan mencegah hospitalisasi hingga 83%. 

TIM CEK FAKTA TEMPO

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id