Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menyesatkan, Konten yang Menghubungkan Pandemic Treaty untuk Mendukung Vaksin yang Berisiko pada Kesehatan

Jumat, 10 Mei 2024 21:14 WIB

Menyesatkan, Konten yang Menghubungkan Pandemic Treaty untuk Mendukung Vaksin yang Berisiko pada Kesehatan

Sebuah akun Facebook [arsip] mengunggah konten yang mengaitkan bahwa pandemic treaty mendukung vaksin Covid-19 yang berisiko pada kesehatan. Konten tersebut memuat beberapa tangkapan layar pemberitaan yang salah satunya berjudul “Menlu RI Dukung Pandemic Treaty untuk pemerataan vaksin”. 

Beberapa cuplikan pemberitaan online lainnya mengenai efek samping vaksin yang dapat menyebabkan pembekuan darah dan menyebabkan kematian.

Benarkah pandemic treaty mendukung vaksin yang berisiko pada kesehatan? Berikut pemeriksaan faktanya.

PEMERIKSAAN FAKTA

Pandemic treaty merupakan istilah lain dari WHO Convention, Agreement or other International Instrument on Pandemic Prevention, Preparedness and Response (WHO CA+ on PPPR) atau konvensi WHO, terkait perjanjian internasional tentang pencegahan, kesiapsiagaan, dan merespon pandemi.

Dilansir WHO dalam Zero Draft 21 Februari 2023, WHO CA+ on PPPR merupakan evaluasi dan pengakuan atas kegagalan komunitas internasional menunjukkan solidaritas dan kesetaraan untuk menangani pandemi penyakit virus corona (COVID-19). 

Dalam draft tersebut, WHO CA+ on PPPR bertujuan melindungi generasi sekarang dan yang akan datang dari pandemi dan konsekuensinya yang menghancurkan, serta meningkatkan standar kesehatan semua orang atas dasar kesetaraan, hak asasi manusia serta solidaritas. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan kerjasama nasional dan internasional untuk mencegah, kesiapsiagaan, dan merespon pandemi. 

Draf tersebut juga mengatur tentang akses ke teknologi produksi dan distribusi berkelanjutan serta transfer teknologi, peningkatan kapasitas penelitian dan pengembangan, pembagian manfaat, memperkuat dan mempertahankan tenaga kesehatan yang terampil dan kompeten, jaringan pasokan dan logistik global, serta pembiayaan.

Dilansir laman WHO, negara-negara anggota WHO sepakat untuk melanjutkan negosiasi yang bertujuan untuk merampungkan perjanjian tersebut dalam masa sidang 29 April hingga 10 Mei 2024.

"Negara-negara Anggota kami sepenuhnya menyadari betapa pentingnya perjanjian pandemi ini untuk melindungi generasi mendatang dari penderitaan yang kita alami selama pandemi COVID-19," kata Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut dan menyepakati perjanjian tersebut. Dilansir Kementerian Luar Negeri RI, Indonesia merupakan negara yang ikut mempelopori penyelenggaraan High Level Meeting (HLM) on Pandemic Prevention, Preparedness, and Response (PPPR) tahun 2023 di Markas Besar PBB New York.

Dilansir Antara, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan bahwa Indonesia mendukung pembentukan perjanjian internasional baru tentang pandemi (Pandemic Treaty) yang saat ini sedang dinegosiasikan di bawah kerangka Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Retno Marsudi, yang juga Ketua Bersama COVAX AMC Engagement Group, mengatakan bahwa peran CORVAX adalah memastikan persebaran vaksin secara merata di seluruh dunia cukup berhasil dengan lebih dari 7 miliar dosis vaksin telah diberikan di seluruh dunia.

Namun menurut Indonesia for Global Justice,  perjanjian pandemi ini tidak memberikan kewajiban bagi para pihak untuk melaksanakan apa yang tertulis di dalam WHO CA+ on PPPR. Juga tidak memberikan solusi nyata pada persoalan kekayaan intelektual  terkait riset vaksin.

Selain itu, perjanjian ini dianggap masih belum adil. Dalam editorial The Lancet berjudul “The Pandemic Treaty: shameful and unjust”, menyoroti Pasal 12 yang menetapkan bahwa WHO hanya memiliki akses terhadap 20% produk terkait pandemi untuk didistribusikan berdasarkan risiko dan kebutuhan kesehatan masyarakat. Sementara 80% sisanya tidak diatur dengan jelas, sehingga akan menimbulkan pergolakan, dan menguntungan penawar tertinggi. 

Dengan demikian, pandemic treaty bukan bertujuan mendukung vaksin yang dapat membahayakan bagi kesehatan. Namun secara umum untuk merespon pandemi dan akses yang lebih adil bagi vaksin.

Vaksin yang disebut memiliki efek samping menyebabkan pembekuan darah dan kematian adalah astrazeneca, setelah mereka mengakui dalam dokumen di Pengadilan Tinggi Inggris tentang temuan kasus itu, meski digolongkan jarang terjadi. Astrazeneca telah mengumumkan untuk menarik vaksinnya setelah lebih dari tiga miliar dosis didistribusikan.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Tempo, klaim Pandemic Treaty mendukung vaksin yang berisiko pada kesehatan adalah menyesatkan.

Pandemic treaty atau WHO Convention, Agreement or other International Instrument on Pandemic Prevention, Preparedness and Response (WHO CA+ on PPPR) justru  bertujuan memperkuat kerja sama dalam mendeteksi dan mencegah pandemi yang berpotensi terjadi di masa depan. Serta upaya kolektif untuk keadilan akses dalam penyelesaian masalah kesehatan dan teknolog khsusnya vaksini untuk negara berkembang.

TIM CEK FAKTA TEMPO

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id