Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sebagian Benar, Vaksin AstraZeneca Berkaitan dengan Sindrom Thrombosis

Jumat, 10 Mei 2024 20:45 WIB

Sebagian Benar, Vaksin AstraZeneca Berkaitan dengan Sindrom Thrombosis

Sebuah akun di Facebook [arsip] mengunggah video dengan klaim bahwa vaksin AstraZeneca atau yang kini dikenal dengan vaksin Vaxzevria dapat memicu sindrom thrombosis. Di dalam narasi juga disebut bahwa Australia telah melarang vaksin untuk Covid-19 itu digunakan oleh warganya.

Narasi yang beredar selengkapnya yakni: “Tahu nggak, baru terungkap, vaksin Covid AstraZeneca punya efek samping yang berbahaya loh. Siapa yang pas Covid kemarin dapet vaksinnya merek AstraZeneca? Bahkan vaksin ini sudah di-banned di Australia, soalnya ada efek samping yang berbahaya. Efek sampingnya disebut "syndrome thrombosis dengan trombositopenia" atau disingkat TTS. Nah, TTS ini apa sih? Jadi, "syndrome thrombosis dengan trombositopenia melibatkan pembekuan darah yang dikombinasikan dengan jumlah trombosit yang rendah. Dan parahnya, TTS ini bisa menyebabkan cacat jangka panjang bahkan sampai kematian……." ujar narator dalam video ini.

Benarkah vaksin Covid-19 AstraZeneca memicu sindrom trombosis dan telah dilarang di Australia? Berikut pemeriksaan faktanya.

PEMERIKSAAN FAKTA

Menurut media Inggris, Telegraph, Perusahaan AstraZeneca sebenarnya telah mengakui untuk pertama kalinya dalam dokumen pengadilan bahwa vaksin Covid-nya dapat menyebabkan efek samping yang jarang terjadi yakni menyebabkan Thrombosis with Thrombocytopenia Syndrome (TTS), sindrom dimana seseorang dapat mengalami pembekuan darah dan jumlah trombosit darah yang rendah. Kasus itu bermula setelah raksasa farmasi tersebut digugat dalam gugatan class action atas klaim bahwa vaksinnya, yang dikembangkan bersama Universitas Oxford, menyebabkan kematian dan cedera serius dalam puluhan kasus. 

Lima puluh satu kasus telah diajukan ke Pengadilan Tinggi Inggris, dengan korban dan keluarga yang berduka meminta ganti rugi yang diperkirakan bernilai hingga £100 juta. Kasus pertama diajukan tahun lalu oleh Jamie Scott, ayah dua anak, yang mengalami cedera otak permanen setelah mengalami pembekuan darah dan pendarahan di otak yang menghalanginya bekerja setelah menerima vaksin pada April 2021. 

AstraZeneca, menurut media Inggris Independent, telah mengumumkan pihaknya memulai penarikan vaksin Covid-19 di seluruh dunia, beberapa bulan setelah raksasa farmasi itu mengakui bahwa obat tersebut dapat menyebabkan  cedera yang jarang terjadi namun mengancam jiwa. Badan Obat Eropa mengeluarkan pemberitahuan bahwa vaksin tersebut tidak lagi diizinkan untuk digunakan.

Meski begitu, Beberapa penelitian yang dilakukan selama pandemi menemukan bahwa vaksin tersebut  60 hingga 80 persen  efektif dalam melindungi terhadap Covid. Menurut Dewan Organisasi Ilmu Kedokteran Internasional, efek samping yang “sangat jarang” dilaporkan terjadi pada kurang dari 1 dalam 10.000 kasus. Sementara Sindrom langka terjadi pada sekitar dua hingga tiga orang per 100.000 orang yang menerima vaksinasi vaksin Vaxzevria.

“Di negara-negara dengan penularan SARS-CoV-2 yang sedang berlangsung, manfaat vaksinasi dalam melindungi Covid-19  jauh lebih besar daripada risikonya,” kata WHO.

AstraZeneca di Australia

Pemerintah Australia mengumumkan bahwa Vaksin AstraZeneca tidak lagi tersedia di Australia sejak 21 Maret 2023. Hal ini dikaitkan dengan efek samping yang jarang namun serius, trombosis dengan sindrom trombositopenia (TSS). Sejak saat itu tidak ada lagi kasus TTS terkait AstraZeneca yang dapat terjadi di Australia.

Keputusan itu setelah pada tanggal 8 April 2021, Pemerintah Australia menerima saran dan rekomendasi dari Australian Technical Advisory Group on Immunization  (ATAGI) mengenai  vaksin Vaxzevria (AstraZeneca) dan sindrom yang disebut Thrombosis with Thrombocytopenia Syndrome (TTS).

Pada 17 Juni 2021, ATAGI mengeluarkan pernyataan yang merekomendasikan alternatif pengganti AstraZeneca bagi mereka yang berusia di bawah 60 tahun.

Menurut ABC Australia, Departemen Kesehatan Australia memperkirakan tingkat TSS dari Vaxzevria adalah sekitar dua dari setiap 100.000 orang di atas 60 tahun, dan sekitar dua hingga tiga dari 100.000 orang di bawah 60 tahun. Kasus-kasus dilaporkan terjadi pada semua umur, ada yang ringan dan ada yang fatal.

Sekitar 13 juta dosis AstraZeneca diberikan di Australia, dengan 173 kasus TSS yang “mungkin” atau “dikonfirmasi” dilaporkan ke Therapeutic Goods Administration (TGA), kata juru bicara Departemen Kesehatan. TGA melaporkan 14 kematian terkait dengan vaksinasi Covid-19, delapan di antaranya terkait dengan kasus TSS, kata juru bicara tersebut. Tidak ada kematian baru yang teridentifikasi sejak tahun 2022.

AstraZeneca di Inggris dan Indonesia

Sekitar 50 juta dosis Oxford-AstraZeneca diberikan di Inggris pada musim gugur 2021. Namun, pemerintah sebagian besar telah menghentikan penggunaan vaksin tersebut dan di Inggris digantikan dengan vaksin Pfizer dan Moderna pada saat kampanye booster musim dingin dilakukan pada akhir tahun 2021.

Sementara Badan POM RI telah mengeluarkan Penjelasan Publik Nomor Hm.01.1.2.05.24.35, tanggal 5 Mei 2024 Tentang Pemantauan Jangka Panjang Keamanan Vaksin Covid-19 Astrazeneca.

Hasil kajian BPOM, Kementerian Kesehatan, dan KOMNAS PP KIPI terhadap surveilans aktif dan rutin terkait keamanan vaksin COVID-19 Astrazeneca menunjukkan bahwa manfaat pemberian vaksin Covid-19 AstraZeneca lebih besar daripada risiko efek samping yang ditimbulkan.

Hingga April 2024, tidak terdapat laporan kejadian TTS di Indonesia yang berhubungan dengan vaksin Covid-19 AstraZeneca. Kajian WHO juga menunjukkan bahwa kejadian TTS terkait  vaksin Covid-19 AstraZeneca dikategorikan sebagai sangat jarang/very rare, kurang dari 1 kasus dalam 10.000 kejadian.

Dilansir BPOM,saat ini, vaksin Covid-19 AstraZeneca tidak digunakan lagi dalam program vaksinasi/imunisasi di Indonesia. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dilansir Rumah Sakit Pusat Pertamina, mengatakan efek samping langka tersebut telah diketahui sejak lama, tapi sangat minimal dan langka.

"Itu sudah lama teridentifikasi dan sudah dilakukan penelitian juga oleh AstraZeneca, ada memang dampak-dampaknya soal vaksin tersebut, tapi minimal sekali." katanya

Menkes juga menegaskan penelitian tersebut telah berlangsung sejak lama dan saat ini hanya menunggu hasil untuk diambil tindakan. Namun, sampai saat ini, laporan dari Indonesia Technical Advisory Group of Immunization (ITAGI) belum menunjukkan dampak tersebut.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Tempo, klaim bahwa vaksin Astrazeneca memicu Sindrom Thrombosis adalah sebagian benar.

AstraZeneca telah mengakui bahwa vaksin mereka dapat menyebabkan pembekuan darah, akan tetapi kasus tersebut jarang terjadi. Manfaat pemberian vaksin Covid-19 AstraZeneca lebih besar daripada risiko efek samping yang ditimbulkan. Indonesia, Australia, dan Inggris sudah tidak menggunakan lagi vaksin tersebut.

Hingga April 2024, tidak terdapat laporan kejadian TTS di Indonesia yang berhubungan dengan vaksin Covid-19 AstraZeneca. Kajian WHO juga menunjukkan bahwa kejadian TTS terkait vaksin Covid-19 AstraZeneca dikategorikan sebagai sangat jarang atau very rare.

TIM CEK FAKTA TEMPO

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id