Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keliru, Pesan Berantai tentang Adanya Genosida Umat Islam Lewat Vaksin Covid-19

Selasa, 29 Juni 2021 12:31 WIB

Keliru, Pesan Berantai tentang Adanya Genosida Umat Islam Lewat Vaksin Covid-19

Pesan berantai yang berjudul "Genosida Umat Islam Indonesia dengan Vaksin Covid-19" beredar di Facebook. Pesan ini berisi sejumlah klaim yang meragukan pandemi Covid-19 di dunia, termasuk di Indonesia. Di bagian awal pesan itu, disebutkan bahwa Inggris dan para ahli medis Eropa telah menyatakan Covid-19 tidak lagi dikategorikan sebagai pandemi maupun penyakit berisiko tinggi.

Kemudian, terdapat klaim-klaim lainnya, seperti bahwa orang-orang di Cina dan negara-negara Eropa tidak ada yang mau memakai masker lagi karena seluruh warganya sudah sehat, bahwa Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, dan Vietnam menolak vaksin, bahwa rumah sakit adalah tempat genosida umat Islam, dan bahwa melepas masker saat berbicara wajib karena, kalau tidak, akan menelan racun karbon dioksida atau CO2.

Akun ini membagikan pesan berantai tersebut pada 26 Juni 2021. Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun itu telah mendapatkan 99 reaksi dan 57 komentar serta dibagikan lebih dari 200 kali.

Gambar tangkapan layar pesan berantai yang beredar di Facebook yang berisi klaim-klaim keliru terkait Covid-19 dan vaksin.

PEMERIKSAAN FAKTA

Tim CekFakta Tempo menelusuri berbagai pemberitaan dan hasil penelitian untuk memverifikasi lima klaim tersebut. Hasilnya, ditemukan bahwa kelima klaim itu tidak disertai dengan bukti-bukti yang akurat. Berikut penjelasan atas kelima klaim tersebut:

Klaim 1: Inggris dan para ahli medis Eropa telah menyatakan Covid-19 tidak lagi dikategorikan sebagai pandemi maupun penyakit berisiko tinggi. Di Eropa dan Amerika Serikat, status virus Corona telah diubah menjadi penyakit menular biasa seperti influenza.

Fakta:

Dikutip dari laman resmi Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO Eropa, Covid-19 dikategorikan sebagai pandemi oleh WHO pada 11 Maret 2020, setelah tercatat adanya 118 ribu kasus di 114 negara dengan 4.291 kematian. Hingga kini (29 Juni 2021), pandemi belum dinyatakan berakhir. Sesuai grafik yang dipublikasikan oleh kantor berita Deutsche Welle, situasi pandemi saat ini justru sedikit memburuk, di mana 71 negara telah melaporkan lebih banyak kasus dalam dua minggu terakhir dibandingkan 14 hari sebelumnya.

Klaim bahwa Eropa dan AS telah mengubah status virus Corona sebagai penyakit menular biasa seperti influenza juga tidak akurat. Berdasarkan penjelasan Pusat Pencegahan dan Penanganan Penyakit Eropa (ECDC), Covid-19 memiliki proporsi kasus infeksi parah yang lebih tinggi dan kematian yang lebih tinggi daripada influenza musiman. Beberapa orang yang pernah terinfeksi Covid-19 juga mengalami efek jangka panjang, dengan gejala pernapasan dan neurologis yang berkelanjutan.

Selain itu, Covid-19 lebih menular daripada influenza musiman, di mana satu individu yang terinfeksi menyebabkan jumlah infeksi sekunder yang lebih tinggi daripada influenza. Karena SARS-CoV-2, virus Corona penyebab Covid-19, adalah virus baru, tidak ada kekebalan yang telah terbentuk sebelumnya pada orang yang tertular. Hal ini membuat seluruh populasi rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2 di awal pandemi. Perbedaan antara Covid-19 dan flu musiman ini juga dimuat dalam situs resmi CDC AS.

Sumber: WHO Eropa, Deutsche Welle, ECDC, CDC

Klaim 2: Orang-orang di Cina dan negara-negara Eropa tidak ada yang mau memakai masker lagi karena seluruh warganya sudah sehat

Fakta:

Otoritas Beijing, ibukota Cina, memang pernah melonggarkan kebijakan pemakaian masker setelah kota itu berhasil menekan kasus Covid-19 pada April dan Agustus 2020 lalu. Namun, meski terdapat pelonggaran, seperti dikutip dari kantor berita Reuters, penduduk setempat tetap memilih menggunakan masker karena lebih aman dan mendapatkan tekanan sosial.

Dalam sebuah video yang memperlihatkan warga Cina pergi untuk mendapatkan vaksin misalnya, mereka tampak masih menggunakan masker. Video berjudul "China’s Covid-19 vaccination drive hits 1 billion mark" ini dipublikasikan oleh South China Morning Post (SCMP) pada 21 Juni 2021. Demikian juga dalam foto-foto yang dimuat oleh Voice of America (VoA) pada 3 Juni 2021, terlihat bahwa warga Beijing tetap menggunakan masker saat menjalani vaksinasi.

Sementara negara-negara di Eropa mulai mewajibkan pemakaian masker medis seiring dengan penyebaran varian baru virus Corona yang dianggap lebih cepat menular dan datangnya musim dingin. Pemerintah Prancis misalnya, dikutip dari CNN, mewajibkan warga memakai masker bedah FFP1 sekali pakai, respirator pelindung wajah FFP2 yang lebih protektif, atau masker kain yang memenuhi spesifikasi "Kategori 1" yang dapat menyaring lebih dari 90 persen partikel di seluruh tempat umum.

Keputusan Prancis itu mengikuti kebijakan pemerintah Jerman sebelumnya yang mengharuskan semua orang untuk memakai masker FFP1 atau FFP2 saat berada di transportasi umum, di tempat kerja, dan di toko-toko.

Sumber: Reuters, YouTube SCMP, VoA, CNN

Klaim 3: Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, dan Vietnam menolak vaksin

Fakta:

Lima negara tersebut telah menjalankan program vaksinasi Covid-19. Dikutip dari Asean Briefing, Malaysia telah menandatangani kesepakatan dengan Pfizer untuk 12,8 juta dosis vaksin Covid-19. Vaksin tersebut diberikan kepada masyarakat dalam dua tahap, di mana program vaksinasi dimulai pada kuartal 1 2021. Malaysia memiliki target untuk menyuntik antara 80-100 persen warganya.

Brunei Darussalam telah bergabung dengan skema Covax global dan berharap bisa mendapatkan vaksin Covid-19 pada kuartal 2021, setelah mendapatkan pasokan yang cukup untuk bagi 50 persen populasi. Filipina juga telah memulai program vaksinasinya per Juni 2021, dan berharap bisa memvaksinasi sekitar 25 juta warga (sekitar 25 persen dari populasinya) sepanjang tahun ini. Lebih dari 30 perusahaan lokal menandatangani perjanjian untuk membeli setidaknya 2,6 juta dosis vaksin AstraZeneca.

Thailand pun telah menandatangani kontrak senilai 2,38 miliar baht dengan AstraZeneca untuk vaksin Covid-19. Mereka menargetkan dosis tersebut akan mencakup 13 juta warga dari populasinya yang mencapai sekitar 69 juta orang. Sementara Vietnam telah menandatangani perjanjian dengan Medigen Vaccine, perusahaan vaksin yang berbasis di Taipei, Taiwan, untuk mengamankan pasokan 3-10 juta dosis vaksin Covid-19 pada 2021.

Sumber: Asean Briefing

Klaim 4: Rumah sakit adalah tempat genosida umat Islam

Fakta:

Kematian pasien Covid-19 di rumah sakit bukanlah genosida. Jumlah kematian saat ini meningkat seiring dengan melonjaknya jumlah pasien yang terinfeksi Covid-19. Dikutip dari CNBC Indonesia, kematian rentan dialami oleh pasien Covid-19, terutama yang memiliki gejala berat dan penyakit bawaan. Meningkatnya jumlah kasus Covid-19 ini pun menyebabkan keterisian tempat tidur (BOR) di rumah sakit melonjak.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hingga 26 Juni 2021, DKI Jakarta mencatatkan BOR paling tinggi, yakni 93 persen. Banten mencatatkan keterisian tertinggi berikutnya, yakni 91 persen, disusul dengan Jawa Barat sebesar 89 persen, Jawa Tengah sebesar 87 persen, dan Yogyakarta sebesar 86 persen.

Jumlah kasus Covid-19 naik berlipat-lipat salah satunya akibat virus Corona varian Delta. WHO menyebut varian ini sangat menular, termasuk jenis varian yang tercepat dan terkuat yang pernah ada. "(Varian Delta) menjadi lebih mematikan karena lebih efisien dalam caranya menularkan antar manusia. Dan pada akhirnya akan menemukan individu-individu yang rentan yang akan menjadi sakit parah, harus dirawat di rumah sakit, dan berpotensi meninggal," kata Direktur Eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan WHO, Mike Ryan.

Sumber: CNBC Indonesia, Tempo, Detik.com

Klaim 5: Melepas masker saat berbicara wajib karena, kalau tidak, akan menelan racun karbon dioksida atau CO2

Fakta:

Klaim ini pernah diverifikasi oleh Tempo pada 22 Januari 2021. Spesialis pengobatan kritis dari Hospital and Clinic University of Iowa, Gregory A. Schmidt, menuturkan bahwa menggunakan masker tidak akan mengganggu sirkulasi udara, baik kadar oksigen maupun kadar CO2 dalam tubuh. Oksigen dan CO2 berukuran sangat kecil sehingga mudah melewati celah-celah masker. Sedangkan droplet, atau cipratan air liur (yang menjadi medium penularan virus Corona), berukuran lebih besar dibandingkan oksigen dan CO2 sehingga tidak mudah menerobos masker.

Dokter spesialis paru Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Andika Chandra Putra, juga mengatakan bahwa pemakaian masker untuk mencegah penularan Covid-19 tidak akan menimbulkan hypoxia atau kondisi berkurangnya kadar oksigen dalam darah. Bahkan, penggunaan masker N95, masker dengan kerapatan tertinggi dibandingkan masker bedah dan kain, secara sering sekalipun tidak sampai dilaporkan mengubah fungsi paru-paru.

Sumber: Tempo

KESIMPULAN

Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, pesan berantai yang berjudul "Genosida Umat Islam Indonesia dengan Vaksin Covid-19" itu keliru. Lima klaim yang terdapat dalam pesan berantai itu tidak didukung dengan bukti-bukti yang ada.

TIM CEK FAKTA TEMPO

Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id