Keliru, Klaim Kasus Autoimun Meledak Pasca Vaksinasi Covid-19

Kamis, 3 Oktober 2024 18:09 WIB

Keliru, Klaim Kasus Autoimun Meledak Pasca Vaksinasi Covid-19

Sebuah akun di Facebook [arsip] mengunggah narasi tentang hubungan antara vaksinasi Covid-19 dengan penyakit autoimun. Pengunggah mengklaim bahwa semakin banyak ilmuwan yang melaporkan dalam penelitiannya terkait berbagai jenis penyakit autoimun dari yang paling ringan seperti dermatitis, hingga kelas Berat yang menimbulkan kerusakan organ, kelumpuhan, bahkan kematian.

Hal tersebut disebabkan oleh reaktivitas silang antara protein SARS-CoV-2 dari vaksin dan protein manusia yang menimbulkan kerusakan pada sel-sel organ dari level ringan hingga level berat.

 

Hingga artikel ini ditulis, unggahan tanggal 25 Juli 2024 tersebut sudah disukai 226 dan dibagikan 96 kali. Benarkah penyakit autoimun disebabkan oleh efek samping vaksin Covid-19?

PEMERIKSAAN KLAIM

Tim Cek Fakta Tempo memverifikasi klaim di atas dengan mewawancarai peneliti virologi dan imunologi David Virya Chen. Menurut David, klaim bahwa autoimun merupakan efek samping dari vaksinasi Covid-19 tidak akurat.  

Menurut dia, untuk mengevaluasi secara keseluruhan efektivitas vaksin, membutuhkan waktu lama. Namun sejauh ini, vaksin Covid-19 memiliki risiko sangat kecil. 

Dalam sistem regulatori obat maupun vaksin di seluruh dunia, kata dia, terdapat uji klinik masa keempat atau fase yang terakhir yakni uji klinik setelah obat atau vaksin tersebar di masyarakat. Efek samping apapun dari penggunaan obat atau vaksin tersebut, akan dilaporkan secara teoritik ke Badan POM.

“Selanjutnya, BPOM akan meninjau berkala apakah betul efek samping disebabkan oleh obat atau vaksin tersebut,” kata David, peneliti di Center for Infectious Disease Education and Research, Osaka University.

Dalam peninjauan tersebut, BPOM akan melibatkan ahli, meninjau pasien, tempat obat dijual dst. Jika ditemukan bahwa penyakit tertentu disebabkan oleh obat atau vaksin, maka BPOM akan mengambil tindakan seperti menarik obat atau vaksin. 

“Penanganan yang sama juga berlaku pada vaksin Covid. Semua pihak terkait masih terus mengamati apakah ada efek samping jangka Panjang, biasanya dalam kurun waktu 10 tahun,” kata dia.

Penyakit autoimun sendiri tidak bisa serta-merta dikaitkan dengan vaksin Covid-19, karena bisa terjadi karena perubahan  pola hidup manusia atau virus. Riset Jung dkk., (2024) di Korea yang terbit di Jurnal Nature, menunjukkan belum ada hubungan jangka panjang yang jelas antara vaksinasi COVID-19 berbasis mRNA dan perkembangan penyakit jaringan ikat autoimun (AI-CTD). 

Dalam studi kohort berbasis populasi nasional, peneliti melibatkan 9.258.803 individu, mencakup lebih dari 1 tahun observasi. Mereka kemudian menganalisis risiko AI-CTD dengan membuat stratifikasi demografi dan profil vaksinasi serta memperlakukan vaksinasi penguat sebagai kovariat yang bervariasi dari waktu ke waktu.

Riset itu menyimpulkan risiko dengan sebagian besar AI-CTD tidak terjadi peningkatan setelah vaksinasi mRNA, kecuali untuk jenis lupus eritematosus sistemik dengan risiko 1,16 kali lipat pada individu yang divaksinasi relatif terhadap kontrol. 

Hasil yang sebanding dilaporkan dalam analisis stratifikasi untuk usia, jenis kelamin, jenis vaksin mRNA, dan riwayat vaksinasi non-mRNA sebelumnya. Namun, vaksinasi penguat dikaitkan dengan peningkatan risiko beberapa AI-CTD termasuk alopecia areata, psoriasis, dan arthritis reumatoid. 

“Secara keseluruhan, riset tersebut menyimpulkan bahwa vaksinasi berbasis mRNA tidak dikaitkan dengan peningkatan risiko sebagian besar AI-CTD, meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan terkait potensi hubungannya dengan kondisi tertentu,” kata David mengutip hasil penelitian tersebut.

KESIMPULAN

Hasil verifikasi Tempo tentang klaim kasus autoimun meledak pasca vaksinasi Covid-19 adalah keliru. Tidak ditemukan hubungan kausalitas antara vaksinasi Covid-19 dengan penyakit autoimun.

TIM CEK FAKTA TEMPO 

 **Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected]