Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keliru, Virus SARS-CoV-2 Telah Dipatenkan Sejak 2015

Sabtu, 1 Juni 2024 12:01 WIB

Keliru, Virus SARS-CoV-2 Telah Dipatenkan Sejak 2015

Tangkapan layar sebuah jurnal penelitian berjudul “MSH3 Homology and Potential Recombination Link to SARS-CoV-2 Furin Cleavage Site” yang dihubungkan dengan paten virus corona sudah terjadi sejak 2015, beredar di Threads

Dalam postingan tersebut, si pengunggah mengklaim bahwa sejumlah peneliti yang mengecek genetics sequence virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, cocok 100 persen dengan sequence virus yang sudah dipatenkan oleh salah satu perusahaan vaksin, Moderna pada 2015.

Postingan yang diunggah pada 21 Mei 2024 itu telah mendapatkan respon 34 komentar dan 134 kali disukai. Lantas, benarkah virus SARS-CoV-2 dipatenkan pertama kali pada 2015?

PEMERIKSAAN FAKTA 

Tempo mula-mula menelusuri tangkapan layar jurnal penelitian yang diklaim merupakan upaya paten tes virus corona baru. Hasilnya,  jurnal yang ditulis Balamurali K. Ambati dkk yang terbit 21 Februari 2022 tersebut dapat diakses melalui tautan berikut “MSH3 Homology and Potential Recombination Link to SARS-CoV-2 Furin Cleavage Site”.  

Tempo meminta ahli epidemiologi dan peneliti Indonesia dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman untuk memahami hasil riset tersebut dalam bahasa yang lebih populer. Menurut dia, para peneliti dalam riset itu mengeksplorasi fitur spesifik dalam kode genetik virus penyebab COVID-19, yang dikenal sebagai SARS-CoV-2. Mereka membandingkannya dengan virus serupa yang ditemukan pada kelelawar, yaitu RaTG13.  

Temuan utama pada riset itu adalah SARS-CoV-2 dan virus kelelawar RaTG13 memiliki banyak perbedaan kecil dalam kode genetik mereka, tetapi ada satu perbedaan besar yang menonjol. Perbedaan ini adalah adanya 12-nukleotida tambahan dalam SARS-CoV-2, yang menghasilkan penambahan empat asam amino (PRRA) pada bagian virus yang disebut protein spike.

Tambahan 12-nukleotida ini menciptakan sesuatu yang disebut furin cleavage site (FCS). FCS penting karena membantu virus menginfeksi sel manusia lebih efektif. Fitur ini tidak ada pada virus kelelawar RaTG13 atau virus serupa lainnya, membuat SARS-CoV-2 unik.

Sebagian dari genom SARS-CoV-2, termasuk FCS, ditemukan cocok secara sempurna dengan urutan spesifik dari gen manusia MSH3, tetapi dalam bentuk terbalik. Kecocokan ini sepanjang 19 nukleotida dan 100% identik jika dibalik. Temuan ini sangat tidak biasa dan menunjukkan bahwa bagian dari genom virus ini mungkin berasal dari interaksi dengan materi genetik manusia.

Namun, alasan pasti untuk kecocokan ini tidak jelas. Salah satu kemungkinannya adalah hal ini terjadi secara kebetulan. Kemungkinan lain adalah bahwa ini mungkin telah dimasukkan ke dalam genom virus selama proses replikasi di sel yang terinfeksi, fenomena yang dikenal sebagai "copy choice recombination".

FCS membuat virus lebih mudah menginfeksi manusia dan mungkin hewan lain seperti musang. Memahami situs ini membantu dalam menciptakan versi virus yang dilemahkan untuk vaksin.

Kehadiran FCS juga dikaitkan dengan penyakit yang lebih parah pada model hewan tertentu, menunjukkan perannya dalam kemampuan virus menyebabkan penyakit serius. Sehingga, kehadiran FCS unik dalam SARS-CoV-2 adalah faktor penting dalam kemampuannya menginfeksi manusia dan menyebabkan COVID-19. Asal usul dan implikasi dari kecocokan genetik dengan gen manusia MSH3 memerlukan penyelidikan lebih lanjut untuk memahami bagaimana hal ini mempengaruhi perilaku dan penyebaran virus.

Dengan mempelajari detail genetik ini, para ilmuwan dapat lebih memahami virus ini dan mengembangkan perawatan dan vaksin yang lebih efektif untuk melawan pandemi.

Lalu benarkah SARS-CoV-2 berasal dari virus yang dipatenkan sejak 2015? Dikutip dari Tim Cek Fakta AFP, seseorang bernama Richard A. Rothschild diklaim pernah mengajukan paten untuk tes virus corona baru pada dan permohonan paten yang tidak terkait corona virus pada tahun 2015. Namun klaim itu ternyata merupakan informasi yang salah. Kantor Paten Eropa menyatakan permohonan paten yang diajukan tidak mengacu pada SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 sebelum tahun 2020. 

Pirbright Institute, sebuah pusat penelitian di Inggris seperti dikutip Reuters juga dikabarkan pernah mengajukan paten atas “virus corona” pada tahun 2015, namun informasi itu juga dinyatakan sebagai klaim yang palsu.  McGill University adalah universitas riset publik berbahasa Inggris yang berlokasi di Montreal, Quebec, Kanada bahkan mendapati klaim paten yang ajukan Pirbright Institute adalah salah karena virus yang diajukan sebenarnya merupakan virus yang menyebabkan bronkitis burung dan bukan SARS-CoV2. 

Hasil riset tersebut tidak menyatakan bahwa SARS-CoV-2 buatan dari virus yang telah ada sebelumnya. Ahli virologi dari Tiongkok Shi Zhengli  mengumumkan pada akhir Januari 2020 bahwa virus kelelawar yang diberi nama RaTG13 di laboratoriumnya memiliki 96,2% genom yang sama dengan SARS-CoV-2, yang merupakan persentase tertinggi dari semua virus yang diketahui.

Padahal, jika dituduh bahwa SARS-CoV-2 berasal dari virus yang telah ada sebelumnya, Robert F. Garry, ahli virologi di Fakultas Kedokteran Universitas Tulane, mengatakan kepada FactCheck, bahwa virus corona harus “setidaknya 99%” harus mirip dengan SARS-CoV-2 dan “mungkin” 99,9% serupa jika disebut berasal dari laboratorium. 

KESIMPULAN 

Hasil pemeriksaan fakta Tempo, klaim yang menyebutkan virus corona telah dipatenkan pada 2015 adalah keliru

Jurnal yang dijadikan dasar klaim diketahui merupakan jurnal yang menulis hasil penelitian terkait perbedaan mutasi titik antara SARS-CoV-2 dan kelelawar RaTG13 coronavirus. Jurnal itu tidak menyebutkan upaya paten terhadap virus Covid-19. Informasi terkait upaya paten virus Covid-19 bahkan merupakan informasi lawas yang pernah ramai beredar pada Oktober 2020 dan telah dinyatakan sebagai informasi yang keliru. 

TIM CEK FAKTA TEMPO

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id