Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keliru, Klaim tentang Jokowi Keturunan Cina dan Orang Tionghoa Akan Punya Dwi Kewarganegaraan

Rabu, 13 Maret 2024 06:14 WIB

Keliru, Klaim tentang Jokowi Keturunan Cina dan Orang Tionghoa Akan Punya Dwi Kewarganegaraan

Sebuah video beredar di WhatsApp, TikTok (arsip) dan akun Facebook ini, ini dan ini berisi klaim bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi adalah keturunan Cina dengan nama lengkap Herbertus Joko Widodo alias Oey Hong Liong.  

Video di TikTok memperlihatkan foto seorang pria mengangkat seorang anak. Narator video menjelaskan bahwa orang-orang Tionghoa di Indonesia akan ikut menjadi warga negara Indonesia (WNI), tapi juga tetap menjadi warga negara Cina dan tidak menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

Dikatakan juga bahwa Soekarno sebagai Presiden RI pertama, pernah menyetujui perjanjian dengan pemerintah negara Cina, bahwa orang Tionghoa di Indonesia memiliki dwi kewarganegaraan yakni Indonesia dan Cina.

Tempo akan memeriksa dua klaim ini:

(1) Apakah Presiden Jokowi keturunan Tionghoa? 

(2) Apakah Presiden Soekarno pernah menyetujui status dwi kewarganegaraan orang Tionghoa di Indonesia dan mengharuskan mereka punya dua nama?

PEMERIKSAAN FAKTA

Tempo memverifikasi unggahan itu menggunakan layanan reverse image search dari mesin pencari Google. Ditemukan foto yang sama dengan tampilan video tersebut, yakni yang menampakkan pria mengangkat seorang anak.

Berikut hasil penelusurannya:

Verifikasi Video

Video yang beredar memperlihatkan tulisan yang menyatakan Presiden Jokowi memiliki nama Tionghoa dan seorang pria mengangkat seorang anak. Foto pria dan anak tersebut sama dengan yang diunggah di website calon presiden di Pilpres 2024, Anies Baswedan.

Foto itu sesungguhnya menampilkan Anies saat masih kecil bersama kakeknya, Abdurrahman Baswedan atau AR Baswedan, seorang pahlawan nasional. Laman itu tidak menyebutkan Presiden Jokowi keturunan Tionghoa.

Selain itu, dilansir Tempo pada 24 Mei 2014, Jokowi yang saat itu merupakan calon presiden dalam Pilpres 2024, menyatakan namanya biasa ditulis sebagai Haji Joko Widodo dan bukan Herbertus Joko Widodo. 

Klaim tersebut telah berulang kali beredar. Cek Fakta Tempo pernah menulis bahwa menurut buku biografi Jokowi berjudul “Jokowi Menuju Cahaya” karya Alberthiene Endah yang diterbitkan pada 2018. Dalam buku itu ditulis bahwa Jokowi terlahir dengan nama Mulyono. Jokowi lahir pada Juni 1961 di Rumah Sakit Brayat Minulyo, Kota Surakarta, Jawa Tengah.

Namun, nama itu tidak lama digunakan. Karena berulang kali sakit, orang tua Jokowi mencarikan nama baru baginya. Dalam masyarakat Jawa, memang terdapat kepercayaan bahwa seorang anak yang sakit-sakitan perlu diganti namanya. Nama Mulyono pun diganti dengan Joko Widodo.

Dalam buku itu, Jokowi diceritakan menghabiskan masa kecilnya di sebuah rumah bilik di pinggir kali, tepatnya di daerah Srambatan, pinggiran Solo. Ibu Jokowi bernama Sujiatmi. Sedangkan bapaknya, Wijiatno Notomiarjo, adalah pedagang bambu dan kayu. Ia dan keluarganya berkali-kali pindah rumah, namun selalu di pinggir sungai.

Perjanjian Dwi Kewarganegaraan 1955

Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia pernah memiliki status dwi kewarganegaraan atau menjadi warga negara Indonesia (WNI) sekaligus warga negara Cina, sebagaimana diberitakan Antara.

Regulasi kewarganegaraan Cina saat itu menganut asas ius sanguinis yang berarti keturunan orang Tionghoa secara otomatis menjadi warga negara Cina, baik yang tinggal di dalam ataupun luar negeri.

Sementara Indonesia menerapkan asas ius soli, yang berarti orang yang lahir di Indonesia akan dianggap sebagai WNI. Namun, sesungguhnya kedua negara telah melakukan kesepakatan hingga keturunan Tionghoa di Indonesia kini memiliki hanya satu kewarganegaraan. 

Titik temu masalah itu ialah ditandatanganinya Perjanjian Indonesia-Cina tentang Pelepasan Dwi Kewarganegaraan Tahun 1955, oleh Menteri Luar Negeri RI Sunario dan Presiden Cina, Chou En-lai, di sela perhelatan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung, Jawa Barat, sebagaimana ditulis Historia.id.

Jurnal berjudul "Dwikenegaraan Etnis Tionghoa di Luar Tiongkok: Suatu Analisis terhadap Perspektif Pemerintah Tiongkok" yang ditulis Joanessa M.J.S. Seda dan tayang di jurnal kajian budaya Paradigma, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI), menjelaskan lebih detail terkait dwi kewarganegaraan yang pernah dimiliki orang Tionghoa di Indonesia.

Dari segi sejarah, Dinasti Qing yang memerintah Cina pada abad ke-19 mengalami kemunduran secara politik dan ekonomi. Mereka berusaha menarik bantuan dari berbagai pihak untuk bangkit, termasuk dari keturunan Tionghoa yang tersebar di luar negeri.

Mereka membuat aturan agar orang-orang Tionghoa di luar Cina tetap diakui sebagai warga negaranya secara legal. Mereka melakukan berbagai pendekatan agar orang Tionghoa di luar Cina mau mengirim uang pada keluarganya di Cina, menyumbang untuk pembangunan, serta berinvestasi di sana.

Setelah negara-negara di Asia Tenggara merdeka, langkah itu mendapat protes dari negara-negara yang sudah berdaulat tersebut. Keinginan untuk menjaga hubungan baik dengan negara-negara Asia Tenggara membuat Cina akhirnya bersedia melepas kewarganegaraan warga Tionghoa di luar negeri.

Sementara Perjanjian Pelepasan Dwi Kenegaraan 1955 di Bandung itu memberikan waktu dua tahun pada orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia untuk memilih salah satu kewarganegaraan. 

Perjanjian tersebut tidak mengesahkan keturunan Tionghoa di Indonesia memiliki dua kewarganegaraan, sebagaimana klaim dalam video yang beredar. Perjanjian justru mewajibkan mereka secara aktif memilih dan memproses kepemilikan satu kewarganegaraan.

Dua Nama Warga Tionghoa Indonesia

Catatan sejarah juga menyebutkan bahwa pergantian nama orang-orang Tionghoa di Indonesia menjadi nama yang dianggap ‘lebih Indonesia’ terjadi pada masa Orde Baru, bukan Orde Lama sebagaimana yang diklaim dalam video yang beredar.

Dilansir BBC, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 240 Tahun 1967 yang berisi orang Tionghoa yang telah berkewarganegaraan Indonesia harus mengikuti proses asimilasi agar membaur dengan WNI dari etnis lainnya.

Peraturan tersebut juga menganjurkan mengganti ‘nama-nama Cina’ menjadi nama yang dianggap lebih bernuansa Indonesia. WNI keturunan Tionghoa pun terpaksa mengganti nama mereka agar tak dianggap membangkang.

Peraturan itu menyebabkan banyak orang keturunan Tionghoa di Indonesia memiliki dua nama, yakni nama Tionghoa dan nama yang dianggap bernuansa Indonesia. Hingga semakin hari, nama-nama Tionghoa semakin ditinggalkan.

Sementara Tirto.id melaporkan Soeharto juga menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, yang membatasi kebudayaan dan peribadatan WNI keturunan Tionghoa. Sementara Soekarno saat menjabat Presiden RI sebelumnya, tidak menampakkan sikap menolak nama Cina untuk warga keturunan Tionghoa.

KESIMPULAN

Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang mengatakan Presiden Jokowi adalah keturunan Cina yang memiliki nama Herbertus Joko Widodo alias Oey Hong Liong adalah klaim keliru. Jokowi merupakan anak dari pasangan orang Jawa.

Selain itu, klaim yang mengatakan Perjanjian Indonesia-Cina tahun 1955 merupakan persetujuan adanya dwi kewarganegaraan adalah keliru. Sesungguhnya perjanjian itu ialah untuk melepas dwi kewarganegaraan orang Tionghoa di Indonesia agar hanya memiliki satu kewarganegaraan.

Ketiga, klaim yang mengatakan Pemerintah RI saat Soekarno menjabat mewajibkan orang-orang Tionghoa di Indonesia memiliki nama Cina dan nama Indonesia, juga keliru. Sebenarnya Presiden Soeharto yang menerbitkan aturan itu.

TIM CEK FAKTA TEMPO

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id