Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Benar, Klaim Mahfud MD Bahwa Food Estate Program Gagal

Minggu, 21 Januari 2024 22:04 WIB

Benar, Klaim Mahfud MD Bahwa Food Estate Program Gagal

Calon Wakil Presiden nomor urut 03, Mahfud MD, menyatakan bahwa program food estate atau lumbung pangan yang dikerjakan Kementerian Pertahanan RI, merupakan proyek gagal. Dia mengatakan program itu tidak membuahkan hasil dan berdampak pada kerusakan lingkungan dan menyebakan kerugian bagi negara.

“Tetapi saya tidak melihat pemerintah melakukan langkah-langkah untuk menjaga kelestarian lingkungan. Maka kami punya program petani, di laut jaya, nelayan sejahtera. Jangan seperti food estate yang gagal dan merusak lingkungan, yang bener aja, rugi dong kita,” katanya dalam Debat Cawapres Pilpres yang digelar KPU, Minggu 21 Januari 2024.

Namun, benarkah klaim Mahfud bahwa food estate adalah program yang gagal?

PEMERIKSAAN KLAIM

Investigasi Tempo yang terbit 9 Oktober 2021 menemukan sejumlah masalah yang mendukung kesimpulan bahwa pelaksanaan program food estate menunjukkan kegagalan. Kondisi itu paling kentara di lokasi pengerjaan program di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Setidaknya 600 hektare hutan digunduli pada November 2020. Lalu lahan itu ditanami singkong. Namun, setelah enam bulan, tinggi pohon singkong hanya sampai selutut orang dewasa.

Seorang petani di Desa Belanti Siam, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulau Pisang, Kalimantan Tengah, yang bernama Heriyanto, mengikuti program food estate untuk menanam padi di wilayahnya.

Sebelum mengikuti program itu, dia menghasilkan 5 sampai 6 ton gabah kering giling per hektare sekali panen. Namun, setelah mengikuti program food estate pemerintah, produktivitas sawahnya menjadi 700 kilogram gabah kering giling per hektare.

Berita dalam format video dari BBC, juga secara jelas menggambarkan gagal panen program food estate, setelah melakukan pembabatan ratusan hektare hutan tersebut. Berita video Tempo juga menyatakan proyek tersebut menyebabkan banjir di desa sekitar.

Dosen Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia, Masitoh Nur Rohma mengatakan bahwa food estate yang dilaksanakan mulai 2020 di Kalimantan Tengah dengan luas 30.000 ha dari bekas proyek lahan gambut dengan komoditas padi dinyatakan gagal.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan itu. Pertama, karena terjadi pemaksaan perubahan pola tanam yang mengakibatkan gagal panen serta hasil produksi yang tidak maksimal untuk periode selanjutnya.

Kedua, masih gagalnya implementasi kegiatan skema ekstensifikasi di kawasan pertanian yang tidak berjalan maksimal. Ketiga, pembukaan lahan yang dilakukan oleh pemerintah masih belum siap untuk ditanam karena masih banyak kayu dan akar yang tidak dibersihkan.

“Empat, masih banyak saluran air tidak dibuat untuk jalur irigasi pertanian. Lima, tidak melibatkan masyarakat terkait pembangunan food estate sehingga masih banyak informasi yang terlewat dan kurangnya partisipasi dari masyarakat,” kata Masitoh, Minggu 21 Januari 2024. 

Sementara program food estate yang dilaksanakan mulai 2021 di Kabupaten Gunung Mas, dengan luas 31.000 hektare berupa hutan produksi dengan komoditas singkong dan gandum, kata Masitoh, dinyatakan gagal juga dengan beberapa faktor.

Pertama, belum ada skema terkait pembebasan lahan kepemilikan masyarakat. Kedua, perencanaan program perkebunan singkong di Gunung Mas masih belum optimal. Ketiga, kurangnya informasi dan tidak ada kajian terkait lingkungan yang komprehensif. Dan empat, tidak ada koordinasi antara Kementerian Pertahanan, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura, dan Peternkan Provinsi Kalimantan Tengah.

Demikian juga program food estate yang dilaksanakan mulai 2021 di Humbang Hasundutan, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Pakpak Bharat, Sumatera Utara, dengan luas 30.000 hektare dalam bentuk lahan agrikultural kentang dengan komoditas bawang merah dan bawang putih, dinyatakan gagal.

Faktornya, pertama, kondisi aksesibilitas menuju kawasan food estate curam dan masih berbahaya, terutama saat musim hujan. Kedua, tidak melibatkan petani dalam proses pengemban gan food estate. Tiga, masih ada persoalan lahan milik warga.

“Empat, masih terdapat isu terkait adanya praktik mekanisme pertanian yang dilandasi investasi yang akan berdampak pada laju deforestasi,” kata Masitoh lagi.

Dosen Fakultas Ilmu dan Bisnis, Universitas Padjajaran, Viktor Primana, juga membenarkan bahwa program food estate gagal. Dia menyatakan beberapa perkebunan pangan skala besar yang didirikan oleh pemerintah Indonesia di bawah program food estate, dilaporkan telah ditinggalkan.

Dia menjelaskan investigasi lapangan pada tahun 2022 dan 2023 menemukan bahwa terdapat semak liar dan ekskavator yang ditinggalkan di lahan yang telah dibuka untuk singkong dan padi di provinsi Kalimantan Tengah. Para aktivis mengatakan kegagalan program ini sudah terlihat sejak awal, karena kurangnya penilaian dampak yang dilakukan sebelum memilih lokasi dan membuka hutan untuk tanaman yang tidak cocok dengan tanah.

“Program ini mencerminkan Mega Rice Project pada pertengahan tahun 1990-an, yang gagal meningkatkan hasil panen dan menyebabkan kerusakan luas pada lahan gambut kaya karbon,” kata Viktor, Minggu 21 Januari 2024.

KESIMPULAN

Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa klaim Mahfud MD yang menyatakan program food estate yang dilaksanakan Kementerian Pertahanan, merupakan proyek gagal, adalah benar.

Tinjauan di lapangan dan wawancara oleh berbagai pihak membuktikan proyek tersebut gagal, tidak membuahkan panen sebagaimana yang diharapkan, merusak hutan, serta menyebabkan bencana banjir.

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected]

Artikel ini adalah hasil kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen, Asosiasi Media Siber Indonesia, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Cekfakta.com bersama 19 media di Indonesia.