Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keliru, Menyetop Berita tentang Covid-19 dapat Membuat Pandemi Selesai

Rabu, 14 Juli 2021 11:28 WIB

Keliru, Menyetop Berita tentang Covid-19 dapat Membuat Pandemi Selesai

Pesan berantai yang mengajak warga untuk menyetop mengirim berita tentang Covid-19 melalui media sosial, beredar di aplikasi pesan Whatsapp, 13 Juli 2021. Pesan berantai ini beredar di tengah kondisi lonjakan jumlah pasien Covid-19 di Indonesia.

Berita tentang Covid-19 dianggap menurunkan imun sehingga warga mudah terpapar penyakit. Larangan mengunggah berita Covid-19 di medsos, diklaim dilakukan oleh sejumlah negara seperti Timor Leste, Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, Australia, termasuk Cina.

Berikut ini isi pesan berantai tersebut:

Supaya Covid tdk berkembang, kita STOP kirim berita ttg Covid. Seperti yg dilakukan oleh Timor Leste, Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, Australia, dan beberapa negara di Asia lainnya , termasuk Cina. Negara² tersebut melarang warga negaranya berkirim berita berita tentang Covid-19 melalui MEDSOS

MARI MULAI KITA TIRU DAN LAKUKAN STOP BERITA COVID. Yang wajib kita jaga adlh: IMAN-IMUN-AMIN dan patuhi Protokol kesehatan. Abaikan berita dan jangan sebarkan berita Covid yg bikin resah, semakin kita resah, semakin mudah terpapar penyakit, apapun penyakitnya. Kita galang persatuan melawan Covid dengan cara tersebut. Kasihanilah bagi yg imunnya lemah akan menambah, stress...itu salah satu sebab mudahnya terkena penyakit.

PEMERIKSAAN FAKTA

Menurut epidemiolog Iqbal Ridzi Fahdri Elyazar, keterbukaan data justru dibutuhkan dalam setiap penanganan pandemi atau perang melawan penularan penyakit. Data yang dimaksud adalah data yang menggambarkan situasi ‘perang’ yang sesungguhnya, seperti usaha pencarian orang terinfeksi, kemampuan rumah sakit melayani pasien, dan dampak terhadap keluarga dan masyarakat.

Selain itu, data tentang jumlah mereka yang sembuh juga sama pentingnya dengan data kematian terkait Covid-19. “Data di tingkat populasi dan wilayah ini perlu diberitahukan dan disebarkan supaya anggota masyarakat yang masih abai terhadap protokol kesehatan dan vaksinasi semakin teredukasi,” kata dia kepada Tempo, Selasa 13 Juli 2021.

Menurut Iqbal, hadirnya berita juga bisa menjadi penyemangat bagi warga lain atau orang terdekat yang sedang dirawat atau isolasi supaya cepat sembuh. Tapi berita semacam ini, sama pentingnya dengan pemberitaan untuk mendorong pemerintah daerah dan pemerintah pusat lebih bekerja keras dan saling berkolaborasi menangani pandemi. “Bersikap masa bodo, pura-pura buta, dan meninabobokan di masa perang ini justru membuat kenapa pandemi ini berlarut larut,” kata Iqbal yang juga bergabung sebagai kolaborator saintis Lapor Covid-19.

Iqbal menilai, ajakan menyetop berita agar Covid-19 berhenti, justru tidak tepat. Sebab karakter virus tidak terkait dengan pemberitaan media, maupun unggahan di sosial media. Virus menyebar dengan membutuhkan paparan dari orang ke orang kepada mereka yang rentan. Sehingga, hilangnya berita Covid tidak akan menghentikan penularan virus tersebut.

Klaim bahwa sejumlah negara menyetop unggahan berita Covid-19 ke media sosial, menurut Iqbal, tidak benar. Sebaliknya, media dan jurnalis di negara tersebut terus memberitakan tentang Covid supaya warga sadar akan bahaya penularan Covid-19. “Yang harus dilarang adalah hoaks dan usaha2 untuk menghalangi selesainya pandemi ini,” kata dia.

Hasil pencarian Tempo juga tidak menemukan kebijakan pemerintah Timor Leste, Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, Australia, dan Cina yang melarang warganya mengunggah berita terkait Covid-19 ke media sosial. Pelarangan secara khusus hanya terkait dengan pemuatan berita bohong (hoaks), meski peraturan semacam ini banyak dikritik karena membatasi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.

Misalnya Pemerintah Singapura yang menerbitkan Protection from Online Falsehoods and Manipulation Act atau undang-undang tentang kabar bohong. Demikian pula di Malaysia yang menerbitkan peraturan serupa per Januari 2021 dengan memberikan denda mencapai sekitar $ 24.000 dan $ 121.000.

KESIMPULAN

Dari pemeriksaan fakta di atas, Tempo menyimpulkan klaim bahwa menyetop berita tentang Covid-19 dapat membuat Covid-19 tidak berkembang adalah keliru. Penyebaran Covid-19 tidak terkait dengan pemberitaan. Selain itu, penanganan pandemi membutuhkan hadirnya pemberitaan yang akurat dan keterbukaan data untuk meningkatkan kesadaran publik dan mendorong pemerintah pusat maupun pemerintah daerah menangani pandemi lebih baik.

Tim cek Fakta Tempo