Keliru, Klaim Ini Video Aksi Melawan Arogansi Cina di Malaysia pada Maret 2021
Senin, 22 Maret 2021 14:37 WIB
Video yang diklaim sebagai video aksi melawan arogansi Cina di Kuala Lumpur, Malaysia, pada Maret 2021 beredar di media sosial. Dalam video itu, terlihat puluhan ribu orang memenuhi jalanan sebuah kota. Mereka mengenakan pakaian serba putih.
Terdengar pula suara seorang pria dalam video tersebut. Pria yang merupakan perekam dari video itu berkata, "Ini live nih. Ini memang betul-betul ada hikmah, isu yang berlaku sekarang ini telah menyatukan bangsa Melayu, bangsa Islam."
Pria itu juga menyebut beberapa nama wilayah dan bangunan dalam video tersebut, seperti Dataran Merdeka dan Masjid India. "Lihatlah, Dataran Merdeka penuh, di bawah LRT penuh, Masjid India penuh. Lihatlah, makin bertambah akan datang," ujar pria tersebut.
Di Facebook, akun ini membagikan video beserta narasi tersebut pada 19 Maret 2021. Akun itu menulis, "Kuala Lumpur pagi tadi, melawan arogansi Cina." Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah mendapatkan 145 reaksi dan 43 komentar serta dibagikan 92 kali.
Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait video yang diunggahnya.
PEMERIKSAAN FAKTA
Berdasarkan verifikasi Tim CekFakta Tempo, video tersebut bukan video aksi melawan arogansi Cina di Kuala Lumpur, Malaysia, pada Maret 2021. Video itu adalah video lama, yang memperlihatkan aksi warga Malaysia yang menolak ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) pada 8 Desember 2018.
Untuk memeriksa klaim tersebut, Tempo mula-mula mengambil gambar tangkapan layar dari video di atas. Lalu, gambar tersebut ditelusuri dengan reverse image tool Yandex. Hasilnya, ditemukan bahwa video itu telah beredar di YouTube sejak Desember 2018.
Kanal YouTube Ziffdev Broadcast pernah mengunggah video yang sama pada 8 Desember 2018 dengan judul "Himpunan Bantah ICERD dari Udara". Kanal YouTube Media Marhaen juga pernah mengunggah video tersebut pada 9 Desember 2018 dengan judul "Himpunan #Daulat812 Membantah Ratifikasi ICERD)".
Tempo kemudian menelusuri pemberitaan terkait demonstrasi di Malaysia yang menolak ratifikasi ICERD pada 2018 tersebut. Dilansir dari Channel News Asia, pada 8 Desember 2018, ribuan pendukung dua partai besar di Malaysia, United Malays National Organization (UMNO) dan Partai Islam Se-Malaysia (PAS), menggelar unjuk rasa anti-ICERD.
Unjuk rasa tersebut tetap dilanjutkan meskipun pemerintah telah mengumumkan bahwa mereka tidak lagi akan meratifikasi ICERD, sebuah konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengutuk diskriminasi dan menyerukan kepada negara-negara untuk membuat kebijakan yang menghapus diskriminasi rasial dalam segala bentuk.
Sebagian besar demonstran berkumpul di dua masjid, Masjid Jamek dan Masjid Nasional Malaysia, sejak pukul 06.00 waktu setempat. Masjid-masjid itu berjarak sekitar 2 kilometer dari Dataran Merdeka, lokasi resmi demonstrasi. Mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak dan istrinya, Rosmah Mansor, turut serta dalam unjuk rasa tersebut.
Menurut laporan Malaysia Kini, yang juga memuat foto udara dari lokasi unjuk rasa tersebut, diperkirakan puluhan ribu orang berkumpul di jalanan Kuala Lumpur pada 8 Desember 2018 untuk merayakan keputusan pemerintah tidak meratifikasi ICERD. Diselenggarakan oleh LSM Melayu-Muslim, aksi tersebut juga didukung oleh UMNO dan PAS. Mereka yang hadir akan berkumpul di tiga lokasi, yakni pusat perbelanjaan Sogo, Masjid Jamek, dan Masjid Negara, sebelum akhirnya menuju Dataran Merdeka.
Aksi tersebut dimulai pukul 14.00 dan berakhir pukul 18.00 waktu setempat. Polisi memperkirakan demonstran yang hadir dalam aksi itu mencapai 55 ribu orang. Kepala polisi Kuala Lumpur Mazlan Lazim mengatakan aksi itu berlangsung damai. Satu-satunya pelanggaran yang ditemukan adalah beberapa peserta aksi membawa anak-anak mereka, yang bertentangan dengan Undang-Undang Majelis Damai 2012.
Wakil Presiden PAS Tuan Ibrahim mengatakan aksi tersebut tidak digelar untuk mengutuk ras lain, tapi untuk membela hak-hak kaum Melayu dan Islam sebagai agama resmi. "Kami tidak berkumpul di sini karena kami anti-Cina atau anti-India. Kami di sini bukan untuk mengambil hak-hak orang Cina atau India. Kami membela Konstitusi Federal," katanya.
Dikutip dari Malaysia Kini, Malaysia adalah satu dari dua negara mayoritas muslim di dunia yang belum meratifikasi ICERD. Pada 23 November 2018, pemerintah akhirnya memutuskan untuk tidak meratifikasi ICERD setelah munculnya berbagai demonstrasi di Malaysia terkait konvensi tersebut. ICERD diprakarsai oleh PBB pada 1965 untuk menangani intoleransi rasial global. Tapi, di Malaysia, hal itu dianggap sebagai ancaman terhadap hak istimewa Bumiputera dan Islam.
Pada 28 September 2018, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad berpidato di depan Majelis Umum PBB. Ia berkata bahwa pemerintah baru Malaysia telah berjanji untuk meratifikasi semua instrumen inti PBB yang tersisa terkait dengan perlindungan hak asasi manusia. "Ini tidak akan mudah bagi kami karena Malaysia multietnis, multiagama, multikultural, dan multibahasa. Kami akan memberikan ruang dan waktu bagi semua untuk berunding dan memutuskan dengan bebas berdasarkan demokrasi," ujarnya.
Anggota parlemen Rembau Khairy Jamaluddin, saat memperdebatkan pidato Mahathir pada 15 Oktober 2018, menyuarakan keprihatinannya tentang dampak ICERD terhadap hak istimewa Bumiputera. Komentar Khairy ditanggapi oleh Utusan Malaysia, yang menyatakan bahwa ICERD akan mengancam posisi khusus orang Melayu dan Islam di negara tersebut. Yang terjadi selanjutnya adalah serangkaian protes yang menyatukan kekuatan konservatif, dan memuncak ketika UMNO dan PAS mengumumkan unjuk rasa besar melawan ICERD.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa video tersebut adalah video aksi melawan arogansi Cina di Kuala Lumpur, Malaysia, pada Maret 2021, keliru. Video itu merupakan video lama, yang memperlihatkan aksi warga Malaysia yang menolak ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) pada 8 Desember 2018.
TIM CEK FAKTA TEMPO
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke [email protected]