Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keliru, Anosmia Bukan Gejala Khas Virus dan Bisa Diobati dengan Mecobalamin

Senin, 1 Maret 2021 12:59 WIB

Keliru, Anosmia Bukan Gejala Khas Virus dan Bisa Diobati dengan Mecobalamin

Unggahan yang berisi klaim bahwa anosmia bukan gejala khas virus dan bisa diobati dengan mecobalamin beredar di Instagram pada 17 Februari 2021. Klaim itu dilengkapi dengan foto obat mecobalamin.

"Anosmia Bukan Gejala khas Virus. Memangnya dari dulu gak pernah ada yg merasakan gejala ini?? Jangan mau di takut2i otak dengkul! Minum aja Mecobalamin. 5 cap setiap 1 jam sampai diare ringan," demikian narasi di bagian awal unggahan tersebut.

Kemudian, unggahan itu menyinggung soal Covid-19. "Covid19 cuma kurang vitamin dosis tinggi dan mineral elektrolit. Tidak ada virus ganas! Obat penyebab bergejala berat dan kematian!"

Gambar tangkapan layar unggahan di Instagram yang berisi klaim keliru terkait anosmia dan obat mecobalamin.

PEMERIKSAAN FAKTA

Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mewawancarai dokter spesialis penyakit dalam, Sally Aman Nasution. Menurut Sally, para peneliti telah mengumpulkan data berbagai gejala Covid-19 selama pandemi terjadi dalam setahun terakhir. Lewat pengumpulan data ini, para peneliti menemukan bahwa Covid-19 memunculkan bermacam-macam gejala, tidak hanya pneumonia.

“Di awal pandemi, gejala yang diketahui adalah pneumonia, karena penderita mengalami gangguan paru-paru dan saluran pernapasan. Ternyata sekarang makin bermacam-macam, atau disebut penyakit seribu wajah. Ada yang demam, ada yang tidak. Ada yang batuk kering, ternyata tidak semua mengalami batuk. Termasuk diare, ternyata mereka yang positif juga ada yang diare,” kata Sally saat dihubungi pada 1 Maret 2021.

Menurut Sally, anosmia atau kehilangan penciuman juga menjadi salah satu gejala yang muncul pada mereka yang positif Covid-19. Di tengah pandemi seperti ini, kata dia, setiap orang yang mengalami anosmia harus waspada terinfeksi Covid-19, sebab setiap orang memiliki risiko yang sama.

“Sebelum pandemi, anosmia memang bisa terjadi karena penyebab lain. Tapi, karena saat ini pandemi, kita harus waspada,” ujarnya. Namun, menurut Sally, mecobalamin bukan obat untuk anosmia. Di dunia medis, mecobalamin lebih sering digunakan sebagai obat penyakit saraf tepi. “Jadi, tidak ada kaitannya dengan anosmia.”

Arsip berita Tempo pada 23 Januari 2021 juga melaporkan kehilangan kemampuan untuk mencium bau atau anosmia adalah salah satu gejala Covid-19. Untuk membantu mengembalikan indera penciuman, dokter spesialis paru Sylvia Sagita Siahaan menyarankan pasian untuk melakukan rehabilitasi penciuman.

"Yang paling baik rehabilitasi penciuman, misalnya mencium sesuatu seperti minyak kayu putih. Jadi, kita rangsang saraf lagi, saraf-sarafnya untuk bisa beregenerasi supaya anosmianya menjadi perbaikan," ujar Sylvia saat dihubungi pada 23 Januari 2021.

Peneliti anosmia sekaligus direktur rinologi di Massachusetts Eye and Ear, Eric Holbrook, juga mengatakan pasien dapat mencoba pelatihan aroma, yakni menemukan bau yang kuat dan menghirupnya sambil berfokus pada seperti apa aroma itu seharusnya. Pasien bisa mengumpulkan beberapa aroma yang kuat, seperti kayu manis, mint, jeruk, cengkih, dan wewangian mawar.

Menurut dokter spesialis penyakit menular di Universitas Northeast Ohio, Richard Watkins, anosmia terjadi sebagai efek samping virus yang berkembang, biak di hidung dan tenggorokan. Virus dapat menyebabkan peradangan dan pembengkakan di saluran hidung sehingga tersumbat, juga menurunkan kemampuan indera. Tapi, mengapa gejala ini tak kunjung hilang pada beberapa orang, belum sepenuhnya bisa dipahami para ahli.

"Reseptor virus telah ditemukan di lapisan khusus rongga hidung yang berisi saraf penciuman, yang pertama kali mendeteksi bau di udara. Meskipun reseptor ini belum ditemukan pada saraf itu sendiri, kerusakan di sekitarnya kemungkinan besar menyebabkan hilangnya bau," tutur Holbrook.

Anosmia biasanya akan membutuhkan waktu untuk hilang, bisa berbulan-bulan, dan umumnya berbeda-beda antar pasien. Para peneliti menemukan sekitar 15 persen pasien Covid-19 belum bisa memulihkan indera perasa dan penciuman 60 hari setelah terinfeksi, sementara hampir 5 persen berada dalam situasi yang sama hingga enam bulan kemudian.

Sylvia mengatakan para dokter yang menangani Covid-19 akan bekerja sama dengan spesialis THT dalam kasus anosmia. Penanganannya bisa tergantung derajat kerusakan saraf yang diakibatkan virus. "Kami bekerja sama dengan dokter THT karena saluran napas atas memang dipegang THT juga. Biasanya memang tergantung derajat kerusakan karena yang dirusak sarafnya," katanya.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa anosmia bukan gejala khas virus dan bisa diobati dengan mecobalamin, keliru. Anosmia adalah salah satu gejala Covid-19. Di tengah pandemi seperti ini, setiap orang yang mengalami anosmia harus waspada terinfeksi Covid-19. Selain itu, mecobalamin bukan obat untuk anosmia. Di dunia medis, mecobalamin lebih sering digunakan sebagai obat penyakit saraf tepi.

TIM CEK FAKTA TEMPO

Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id