Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

[Fakta atau Hoaks] Benarkah Cuitan Dandhy Dwi Laksono Hoaks dan Memicu Kerusuhan Wamena serta Jayapura?

Kamis, 3 Oktober 2019 14:34 WIB

[Fakta atau Hoaks] Benarkah Cuitan Dandhy Dwi Laksono Hoaks dan Memicu Kerusuhan Wamena serta Jayapura?

Narasi yang menuding bahwa kerusuhan Wamena dan Jayapura dipicu oleh cuitan aktivis, jurnalis, dan pendiri Watchdoc, Dandhy Dwi Laksono, beredar di media sosial sejak Sabtu-Minggu, 28-29 September 2019. Tuduhan itu muncul setelah akun Fritz Hariyadi di Facebook membuat tulisan yang berjudul “Debunk Twit Hoax Aktivis DDL tentang Jayapura dan Wamena”.

Tulisan itu diunggah oleh Fritz pada 28 September 2019. Tulisan Fritz itu dibuat untuk membantah cuitan Dandhy Laksono yang diunggah pada Senin, 23 September 2019, mengenai insiden di Jayapura dan Wamena yang terjadi di hari yang sama.

Unggahan Fritz itu pun viral dan banyak dibagikan oleh warganet, baik di Facebook maupun Twitter. Tulisan itu juga dipakai akun-akun lain di Twitter untuk menuduh cuitan Dandhy sebagai hoaks dan provokatif sehingga menyebabkan kerusuhan Wamena dan Jayapura.

Gambar tangkapan layar sebagian tulisan akun Fritz Hariyadi di Facebook (kiri) dan gambar tangkapan layar unggahan akun @MurtadhaOne di Twitter (kanan).

Akun @MurtadhaOne pada 29 September 2019, misalnya, menulis, “Twit hoax @Dandhy_Laksono udah dibantah oleh Fritz Haryadi, guru NU di Papua. Yang jadi korban masyarakat yang gak bersalah gegara twit hoax dan provokasi dari SJW-SJW macam Dandhy & VK. Mereka dianggap pahlawan oleh SJW-SJW lainnya padahal tangan mereka penuh darah warga yang tak berdosa.”

Narasi yang sama dilontarkan akun @03_nakula di Twitter pada 28 September 2019. Dia menulis, “Untuk aktivis HAM yg suka memprovokasi warga papua dengan menjual darah saudara sebangsamu. Sudah puas kalian!! Sudah penuh saldo kalian!! Setiap hembuan nafas kalian ada darah mereka!!”

Akun tersebut menyertai narasi itu dengan gambar tangkapan layar berita yang berjudul “32 Pendatang asal Bugis, Jawa dan Sumbar Tewas, Ini Fakta Kerusuhan di Wamena”. Dalam unggahan itu, akun ini juga menautkan akun Dandhy, pengacara HAM Veronica Koman, aktivis Tunggal Pawestri, dan jurnalis Febriana Firdaus.

Sementara cuitan Dandhy di akun Twitter-nya, @Dandhy_Laksono, yang dianggap sebagai penyebab kerusuhan Wamena dan Jayapura berisi dua foto yang memperlihatkan dua warga Papua yang sedang terluka.

Dandhy menulis:

JAYAPURA (foto 1)Mahasiswa Papua yang eksodus dari kampus-kampus di Indonesia, buka posko di Uncen. Aparat angkut mereka dari kampus ke Expo Waena. Rusuh. Ada yang tewas.

WAMENA (foto 2)Siswa SMA protes sikap rasis guru. Dihadapi aparat. Kota rusuh. Banyak yang luka tembak.

Artikel CekFakta ini akan memeriksa dua hal:

  • Benarkah cuitan Dandhy Dwi Laksono memicu kerusuhan Wamena dan Jayapura?
  • Benarkah isi cuitan Dandhy Dwi Laksono hoaks?

METODE

Untuk memeriksa fakta mengenai cuitan Dandhy Dwi Laksono, Tim CekFakta Tempo menggunakan metode yang membandingkan kronologi cuitan yang dibuat oleh Dandhy dengan kronologi insiden di Jayapura (Expo Waena) dan di Wamena (ibukota Kabupaten Jayawijaya) pada 23 September 2019.

Kronologi cuitan Dandhy Laksono diambil dari akun Twitternya, @Dandhy_Laksono, pada 23 September 2019. Sementara kronologi insiden di Jayapura (Expo Waena) dan di Wamena (ibukota Kabupaten Jayawijaya) dirangkum dari pemberitaan media massa yang kredibel.

Perbandingan kronologi ini penting untuk mengecek apakah benar cuitan Dandhy yang menjadi penyebab kerusuhan di Jayapura (Expo Waena) dan Wamena (ibukota Kabupaten Jayawijaya).

Sementara untuk memverifikasi isi cuitan Dandhy, Tempo juga membandingkannya dengan pemberitaan media massa yang kredibel. Tempo tidak hanya mengambil pernyataan sepihak dari pemerintah dan aparat keamanan, tapi juga membandingkannya dengan pernyataan mahasiswa, saksi, dan organisasi di Papua.

PEMERIKSAAN FAKTA

Benarkah unggahan Dandhy Dwi Laksono memicu kerusuhan Wamena dan Jayapura?

Untuk menjawab pertanyaan ini, Tim CekFakta Tempo memulainya dengan mengidentifikasi keterangan waktu cuitan Dandhy pada 23 September 2019 di Twitter.

Kronologi Cuitan Dandhy Laksono

  • Pukul 1.26 PM atau 13.26 WIB (15.26 WIT), Dandhy membuat utas yang berisi lima cuitan. Cuitan pertama ini berisi semacam rangkuman dari empat cuitan berikutnya tentang kerusuhan di Expo Waena, Jayapura, dan Wamena, Jayawijaya, pada 23 September 2019.
  • Pukul 1:44 PM atau 13.44 WIB (15.44 WIT), Dandhy membuat cuitan kedua dengan mengunggah dua foto korban kerusuhan di Jayapura dan Wamena pada hari itu. Dandhy menulis, “Peristiwa di Jayapura (foto 1) dan Wamena (foto 2) hari ini menunjukkan bahwa di Papua tampaknya hanya berlaku satu cara untuk mengatasi segala masalah, yaitu kekerasan. Di Papua risiko menyampaikan aspirasi bukan dipanggil rektor, tapi mati atau luka tembak. Sampai kapan?”
  • Pukul 1:55 PM atau 13.55 WIB (15.55 WIT), Dandhy mengunggah cuitan ketiga yang berisi tautan artikel dari media lokal Papua, Jubi.co.id, tentang penyebab kerusuhan di Wamena. Dandhy menulis, “Ini berita tentang apa yang terjadi di Wamena. Jika melihat foto/video beberapa bangunan di kota Wamena terbakar, anak SMA luka-luka tembak, menurut berita ini urutannya sbb: Kasus dugaan rasisme-demo-tembakan senjata-massa marah-pembakaran."
  • Pukul 2.00 PM atau 14.00 WIB (16.00 WIT), Dandhy membuat cuitan keempat dengan mengunggah tautan berita Jubi.co.id tentang polisi yang menghalangi jurnalis meliput pembukaan pos eksodus mahasiswa. Dandhy menulis, “Berita tentang apa yang terjadi di Jayapura (kampus Uncen dan taman budaya Expo Waena) sedang disusun, tapi tidak mudah mengumpulkan informasi karena akses peliputan untuk jurnalis juga tidak bebas.”
  • Pukul 2:24 PM atau 14.24 WIB (16.24 WIT), Dandhy membuat cuitan kelima dengan mengunggah tautan berita dari Jubi.co.id yang berisi keterangan Kepala Dinas Kesehatan Papua yang mengkonfirmasi adanya empat korban tewas pasca peristiwa pembubaran mahasiswa di Universitas Cendrawasih.

Gambar tangkapan layar cuitan Dandhy tentang kerusuhan Wamena dan Jayapura.

Setelah itu, Tempo merangkum kronologi Insiden di Jayapura (Expo Waena) berdasarkan sejumlah pemberitaan.

  • Pada Senin 23 September 2019, pukul 06.55 WIT (04.55 WIB), tercetus rencana pembukaan Posko Eksodus Solidaritas Mahasiswa Papua di halaman Auditorium Universitas Cendrawasih (Uncen), Jayapura. Saat itu, sudah banyak berkumpul aparat kepolisian dari Polsek Abepura. Keterangan ini diambil dari kronologi AJI Jayapura atas dilarangnya tiga jurnalis meliput pembukaan posko tersebut. Namun, polisi akhirnya melarang mahasiswa membangun posko di halaman Auditorium Uncen.
  • Pukul 10.15 WIT (08.15 WIB), mahasiswa diangkut menggunakan sekitar 20 truk dan bus ke posko umum di Museum (Taman Budaya) Expo Papua. Namun, ketika rombongan pertama sampai, halaman dalam Museum Expo sudah dipenuhi aparat kepolisian dari satuan Brimob. Mahasiswa pun protes karena lokasi itu akan dijadikan posko mahasiswa eksodus. Mereka meminta aparat Brimob keluar. Namun, aparat Brimob tetap bertahan. Adu mulut pun tak terhindarkan. Saat itu, di sekitar Museum Expo, berkumpul pula warga berpakaian sipil yang membawa senjata tajam. Lalu, ada sekitar delapan motor dengan pengendara yang juga berpakaian sipil. Ketika adu mulut antara mahasiswa dan polisi terjadi, seorang saksi mata melihat pengendara motor yang membawa besi turun dari kendaraannya dan memukul helm seorang anggota Brimob.
  • Pukul 11.41 WIT (09.41 WIB), pasukan gabungan Polri dan TNI di Expo Waena membubarkan paksa mahasiswa dan mengeluarkan tembakan serta gas air mata . Satu anggota TNI dan tiga warga sipil tewas dalam insiden itu. Polisi punya versi lain terkait ini. Menurut polisi, kerusuhan di Waena berawal ketika mahasiswa yang sedang diangkut minta diturunkan di jalan dekat sebuah pasar. Mereka kemudian menghajar empat prajurit TNI yang sedang makan di warung hingga mengakibatkan Prajurit Kepala Zulkifli mengalami luka bacok di kepala bagian belakang. Prajurit Kepala Zulkifli meninggal pukul 12.30 WIT di Rumah Sakit Bhayangkara Papua.
  • Pukul 16.04 WIT (14.04 WIB), Tabloid Jubi menerbitkan berita berisi wawancara dengan Kepala Dinas Kesehatan Papua yang mengkonfirmasi adanya empat korban tewas dalam insiden itu. Korban terdiri dari tiga mahasiswa/orang Papua dan satu anggota TNI. Situs Tempo.co juga memuat keterangan dari Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengenai tiga mahasiswa yang tewas itu. Menurut Dedi, ketiganya tewas karena terkena peluru karet.

Kronologi ini menunjukkan cuitan Dandhy Laksono di akun Twitter-nya dibuat selang 4 jam 25 menit setelah insiden di Expo Waena (Jayapura). Dengan demikian, tuduhan bahwa cuitan Dandhy memprovokasi atau menyebabkan insiden di Expo Waena (Jayapura) tidak terbukti. Isi cuitan Dandhy tentang adanya korban tewas dalam insiden itu pun terkonfirmasi dengan keterangan Kepala Dinas Kesehatan Papua.

Tempo kemudian merangkum kronologi Insiden di Wamena (ibukota Kabupaten Jayawijaya) berdasarkan sejumlah pemberitaan.

  • 17 September 2019, guru pengganti di SMA PGRI Wamena, Riris Pangabean, cekcok dengan salah satu murid. Penyebabnya, murid itu mengira Riris menyebut kata "kera". Padahal, menurut versi Riris, ia menyebut kata “keras”. Isu rasisme ini pun menjalar dengan cepat ke sekolah-sekolah lain.
  • 23 September 2019, 08.00 WIT (06.00 WIB), ratusan siswa SMA mogok sekolah dan turun ke jalan untuk memprotes isu rasisme itu. Namun, sejak pagi, Polri dan TNI sudah melepaskan tembakan ke udara berkali-kali. Hal ini membuat anak-anak SMA yang turun ke jalan semakin terpancing emosinya dan tidak dapat dikendalikan.
  • 08.30 WIT (06.30 WIB), para pelajar itu dikumpulkan di Kantor Bupati Jayawijaya. Mereka pun menuntut agar Riris Pangabean dipanggil untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Saat itu, polisi melepaskan gas air mata ke arah para pelajar. Setelah itu, massa dari kelompok lain mulai bergabung. Kerusuhan pun terjadi. Sejumlah bangunan, kantor pemerintahan, dan mobil dibakar. Massa juga mengeroyok beberapa warga serta melempari gedung pemerintahan dengan batu sembari membawa parang.
  • 10.30 WIT (08.30 WIB), Otoritas Bandara Sentani menghentikan sementara penerbangan ke Wamena.
  • 11.41 WIT (09.41 WIB), situs Tempo.co menerbitkan berita berisi wawancara dengan Ketua Majelis Rakyat Papua, Timotius Murib. Menurut Timotius, unjuk rasa di Wamena yang semula damai disusupi provokator sehingga mengakibatkan kerusuhan dan aksi anarkis.
  • 12.30 WIT (10.30 WIB), Kementerian Komunikasi dan Informatika kembali melakukan pembatasan layanan data di Wamena.
  • 21.27 WIT (19.27 WIB), Komandan Komando Distrik Militer 1702 Wamena Letnan Kolonel Infanteri Chandra Diyanto merilis jumlah warga sipil yang meninggal akibat akibat kerusuhan dan aksi anarkis itu, yakni 17 orang.

Kronologi ini juga menunjukkan cuitan Dandhy Laksono di akun Twitter-nya mengenai kerusuhan di Wamena (ibukota Kabupaten Jayawijaya) dibuat selang 7 jam 36 menit setelah terjadinya aksi anarkis. Kerusuhan Wamena terjadi sekitar pukul 08.30 WIT (06.30 WIB). Sementara cuitan pertama Dandhy dibuat pada pukul 15.26 WIT (13.26 WIB). Dengan demikian, tuduhan bahwa cuitan Dandhy memprovokasi insiden di Wamena juga tidak terbukti.

Apakah isi unggahan Dandhy Laksono hoaks?

Narasi 1: Mahasiswa Papua yang eksodus dari kampus-kampus di Indonesia, buka posko di Uncen. Aparat angkut mereka dari kampus ke Expo Waena. Rusuh. Ada yang tewas.

Berdasarkan kronologi yang dirangkum oleh Tempo sebelumnya, insiden di Expo Waena (Jayapura) memang bermula dari rencana mahasiswa eksodus yang hendak membuat posko penampungan di Uncen. Posko itu diperuntukkan bagi mahasiswa yang kembali ke Papua dari tempat studinya. Namun, keinginan mahasiswa itu ditolak oleh pihak rektorat dan mahasiswa Uncen karena dinilai bisa mengganggu proses belajar-mengajar. Rektorat pun memanggil polisi untuk membubarkan mahasiswa.

Namun, menurut Rektor Uncen, Apolo Safanpo, pembubaran mahasiswa di Uncen berlangsung damai. Kedua pihak sepakat agar mahasiswa eksodus diarahkan ke Expo Waena hingga terjadi kekerasan di sana (di luar kampus Uncen).

Ada dua versi penyebab insiden di Expo Waena. Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo, sesampainya di Taman Budaya Expo Waena, mahasiswa tiba-tiba menyerang aparat Polri dan TNI yang mengantar mereka. Dari penyerangan dadakan tersebut, satu anggota TNI tewas terkena bacokan di bagian kepala. Melihat situasi yang ricuh, petugas pun mengeluarkan tembakan untuk melumpuhkan para mahasiswa yang sangat anarkis.

Sementara menurut mahasiswa, insiden itu bermula saat mereka memprotes aparat Brimob yang sudah memenuhi halaman dalam Museum Expo, lokasi yang sebenarnya akan dijadikan posko mahasiswa eksodus. Mereka meminta aparat Brimob keluar. Namun, aparat Brimob tetap bertahan. Adu mulut pun tak terhindarkan.

Saat itu, di sekitar Museum Expo, berkumpul pula warga berpakaian sipil yang membawa senjata tajam. Lalu, ada sekitar delapan motor dengan pengendara yang juga berpakaian sipil. Ketika adu mulut antara mahasiswa dan polisi terjadi, seorang saksi mata melihat pengendara motor yang membawa besi turun dari kendaraannya dan memukul helm seorang anggota Brimob. Pasukan gabungan Polri dan TNI di Expo Waena pun membubarkan paksa mahasiswa dan mengeluarkan tembakan serta gas air mata.

Meskipun terdapat dua versi mengenai penyebab, faktanya memang benar terjadi kerusuhan di Expo Waena. Adanya korban yang tewas dalam insiden itu pun benar, yakni tiga mahasiswa yang terkena tembakan dan satu prajurit TNI.

Dengan demikian, narasi pertama Dandhy soal kejadian di Jayapura benar.

Narasi 2: Siswa SMA protes sikap rasis guru. Dihadapi aparat. Kota rusuh. Banyak yang luka tembak.

Kerusuhan di Wamena memang bermula dari isu rasisme yang dilakukan oleh seorang guru terhadap salah satu muridnya di SMA PGRI Wamena. Isu itu menjalar dengan cepat dan memantik aksi solidaritas dari para pelajar sekolah-sekolah lainnya pada 23 September 2019.

Menurut kesaksian warga, aksi pelajar itu mulanya berlangsung damai. Namun, polisi melepaskan gas air mata ke arah pelajar yang saat itu tengah berada di depan Kantor Bupati Jayawijaya.

Setelah itu, massa dari kelompok lain mulai bergabung. Kerusuhan pun terjadi. Sejumlah bangunan, kantor pemerintahan, dan mobil dibakar.

Pada hari pertama kerusuhan itu, Komandan Komando Distrik Militer 1702 Wamena Letnan Kolonel Infanteri Chandra Diyanto menyatakan ada 17 warga yang tewas. Menurut Chandra, belasan warga sipil itu meninggal akibat luka benda tajam dan menjadi korban kebakaran.

Tapi, menurut Pastor Santon Tekege di Wamena kepada media ABC, saat pelajar berunjuk rasa damai itulah aparat keamanan mengeluarkan gas air mata dan menembak mereka yang sedang berada di halaman Kantor Bupati Jayawijaya. Pastor Santon juga menyebut beberapa siswa mengalami luka tembak dari aparat. "Makanya, para pelajar bakar beberapa kantor dan kios dan ruko, termasuk Kantor Bupati Jayawijaya," ujarnya. Namun, dugaan penembakan ini dibantah oleh Polri.

Meskipun begitu, pada 23 September 2019, pengacara HAM untuk isu Papua, Veronica Koman, juga mengunggah empat foto pelajar yang diduga terkena peluru di akun Twitter-nya. Salah satu foto itu juga dimuat di situs Suarapapua.com edisi 24 September 2019.

Tempo juga mewawancarai pendiri dan penanggung jawab Jubi.co.id, Victor Mambor, untuk mencari informasi terkait foto-foto korban yang diunggah Dandhy Laksono.

Victor mengkonfirmasi bahwa foto pertama memang benar adalah foto korban insiden di Expo Waena (Jayapura). Sementara foto kedua adalah foto pelajar yang menjadi korban tembak di Wamena. “Hanya belum bisa diidentifikasi nama-nama dalam foto itu,” kata Victor saat dihubungi Tempo pada Senin, 30 September 2019.

Hal ini menunjukkan narasi kedua yang diunggah oleh Dandhy juga benar. Dengan demikian, tuduhan hoaks atas unggahan Dandhy tidak terbukti.

Pada 28 September 2019, akun Fritz Haryadi di Facebook memang membuat tulisan yang diklaim sebagai debunk atas cuitan Dandhy. Tulisan Fritz itu antara lain menyatakan:

  • Mahasiswa eksodus itu mendirikan posko dengan tulisan "Posko ULMWP". United Liberation Movement for West Papua bentukan Benny Wenda yang sekarang menikmati suaka politik di London.
  • Aparat bukan "angkut" mereka. Pilihan kata ini menimbulkan konotasi mereka ditangkap.
  • Setiba di Expo Waena, pendemo minta turun karena mau orasi lagi di situ. Permintaan dituruti. Aparat istirahat di pinggir jalan. Lalu pendemo menyerang aparat.
  • "Ada yang tewas". Yang tewas itu Praka Zulkifli Al-Karim, dari Yonif 751/Raiders. Almarhum dibacok dan dikeroyok pendemo sampai mati. Dengan tidak menyebut siapa yang tewas, pembuat twit membuka peluang konotasi bahwa yang tewas itu pendemo.
  • "Sikap rasis guru" itu hoax. Pada hari H memang belum diketahui hoax atau tidak, tapi dengan mengumumkan informasi setengah matang seperti itu jelas provokasi.
  • "Dihadapi aparat. Kota rusuh." Pilihan diksi ini mengirimkan pesan yang salah. Puluhan dokter minta dipulangkan karena trauma akibat Alm. dr. Soeto Marsetyo dibakar hidup-hidup.
  • "Banyak yang luka tembak". Kalau pembuat twit ini jujur, atau minimal tidak sekedar menjadi penerus gagu dari aliansi produsen hoax di Papua, maka semestinya ia ketik "Banyak warga sipil yang mati dibakar hidup-hidup oleh perusuh."

Hasil pemeriksaan Tempo menemukan ada sejumlah informasi yang tidak akurat pada tulisan Fritz itu.

- Terkait Posko ULMWP, awalnya, Fritz menyebut bahwa mahasiswa eksodus membuka posko dengan nama “Posko ULMWP”, sesuai nama yang tertera dalam kain besar yang digantung di pagar kampus Uncen, Abepura, Jayapura. Fritz pun menuding berdirinya posko itu terkait dengan Benny Wenda, pendiri ULMWP.

Faktanya, sehari setelah tulisan Fritz itu viral, Dandhy membantah adanya Posko ULMWP yang didirikan mahasiswa eksodus. Dandhy mengunggah sebuah foto saat mahasiswa memasang kain di pagar kampus Uncen. Dalam foto itu, tampak bahwa tulisan di kain itu berbunyi, “Posko Umum Pelajar dan Mahasiswa Se-Papua”, bukan “Posko ULMWP”.

Setelah Dandhy mengunggah fakta itu pada 29 September 2019, Fritz mengkoreksi tulisannya terkait Posko ULMWP itu. “Ternyata saya salah baca,” kata Fritz.

- Setiba di Expo Waena, pendemo minta turun karena mau orasi lagi di situ. Permintaan dituruti. Aparat istirahat di pinggir jalan. Lalu pendemo menyerang aparat.

Faktanya, menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo, sesampainya di Taman Budaya Expo Waena, mahasiswa tiba-tiba menyerang aparat Polri dan TNI yang mengantar mereka. Dari penyerangan dadakan tersebut, satu anggota TNI tewas terkena bacokan di bagian kepala. Melihat situasi yang ricuh, petugas pun mengeluarkan tembakan untuk melumpuhkan para mahasiswa yang sangat anarkis.

Sementara menurut mahasiswa, insiden itu bermula saat mereka memprotes aparat Brimob yang sudah memenuhi halaman dalam Museum Expo, lokasi yang sebenarnya akan dijadikan posko mahasiswa eksodus. Mereka meminta aparat Brimob keluar. Namun, aparat Brimob tetap bertahan. Adu mulut pun tak terhindarkan.

Saat itu, di sekitar Museum Expo, berkumpul pula warga berpakaian sipil yang membawa senjata tajam. Lalu, ada sekitar delapan motor dengan pengendara yang juga berpakaian sipil. Ketika adu mulut antara mahasiswa dan polisi terjadi, seorang saksi mata melihat pengendara motor yang membawa besi turun dari kendaraannya dan memukul helm seorang anggota Brimob. Pasukan gabungan Polri dan TNI di Expo Waena pun membubarkan paksa mahasiswa dan mengeluarkan tembakan serta gas air mata.

- Terkait korban tewas, Fritz menyebut korban tewas hanya berasal dari TNI, salah satu anggota Batalyon Infanteri 751 Raiders, yakni Prajurit Kepala Zulkifli Al-Karim. Ia tewas karena dibacok dan dikeroyok pendemo.

Faktanya, selain prajurit TNI, tiga mahasiswa juga tewas karena diduga terkena peluru karet. "Tapi harus diotopsi dulu. Tim DVI harus mengecek identitasnya, pembanding antemortem dan postmortem, didalami Tim DVI RS Bhayangkara Jayapura," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo saat dikonfirmasi pada 24 September 2019.

- Terkait puluhan dokter yang minta dipulangkan karena trauma akibat seorang dokter yang bernama Soeko Marsetyo dibakar hidup-hidup.

Faktanya, menurut Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Silvanus Sumule, Soeko meninggal bukan karena dibakar oleh massa dalam kerusuhan Wamena pada 23 September 20019. "Hasil otopsi yang dilakukan terhadap almarhum menunjukan adanya trauma benda tajam dan benda tumpul di kepala,” kata Sumule melalui telepon kepada Jubi.co.id pada 30 September 2019.

KESIMPULAN

Dari pemeriksaan fakta di atas, klaim yang menyebut cuitan Dandhy Dwi Laksono hoaks serta memicu kerusuhan Wamena dan Jayapura adalah keliru.

IKA NINGTYAS

Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cekfakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id