[Fakta atau Hoaks] Benarkah Yogyakarta Minta Referendum Pascapemilu 2019?
Kamis, 30 Mei 2019 14:10 WIB
Ketua umum Komite Peralihan Aceh (KPA) dan sekaligus ketua umum Partai Aceh (PA), Muzakir Manaf, baru-baru ini melontarkan wacana menggelar referendum di Aceh. Pilihannya, Aceh tetap menjadi bagian Indonesia atau lepas dan menjadi negara baru.
Wacana itu dilontarkan mantan panglima Gerekan Aceh Merdeka (GAM) itu, tak lama setelah KPU mengumumkan hasil rekapitulasi Pemilu 2019 yang menunjukkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kalah.
Di Aceh, Prabowo-Sandiaga memang menang telak 81 persen.
Setelah Muzakir Manaf melontarkan wacana itu, lalu beredar informasi lain di media sosial Facebook yang menyebutkan Sultan Yogyakarta juga minta referendum.
Informasi itu dibagikan akun Zunnurain Aisy Jol ke halaman Rocky Gerung pada 28 Mei 2019. Ia menulis narasi: “Aceh dan Yogyakarta akan referendum. Apa yang terjadi di negeri ini?”
Sebuah akun Facebook menyebarkan dua foto berita Yogyakarta menginginkan referendum. Kedua foto ini diambil pada November 2010.
Narasi itu dibagikan beserta dua foto. Pertama foto tangkapan layar dari media viva.co.id yang memperlihatkan Sri Sultan Hamengkubuwono X di atas podium dengan judul berita “Mengapa Sri Sultan Mengusulkan Referendum?”.
Foto kedua menampakkan aksi sejumlah warga memakai blangkon dan membentangkan spanduk yang bertuliskan: “Masyarakat Yogyakarta referendum”.
Unggahan ini dengan cepat menjadi viral dan telah dibagikan sebanyak 8,9 ribu kali di Facebook.
Artikel ini akan memverifikasi apakah permintaan referendum di Yogyakarta itu berkaitan dengan hasil Pemilu 2019 sebagaimana yang dilontarkan Muzakir Manaf di Aceh?
PEMERIKSAAN FAKTA
Hasil pemeriksaan Tempo menunjukkan bahwa berita berjudul “Mengapa Sri Sultan Mengusulkan Referendum?” dimuat oleh viva.co.id pada Jumat 1 Oktober 2010.
Pemberitaan itu mengenai usulan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk melakukan referendum bagi warga Yogyakarta. Usulan itu kemudian didukung oleh Paguyuban Perangkat Desa propinsi itu — yang bergabung dalam Parade Nusantara DIY.
Namun usulan referendum itu, bukan untuk memilih apakah Yogyakarta bergabung dengan Indonesia atau tidak. Tapi untuk menentukan apakah gubernur dan wakilnya dipilih langsung lewat proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), sebagaimana yang terjadi di daerah lain.
Opsi kedua, dengan cara penetapan sehingga Sultan otomatis menjadi gubernur dan Sri Pakualam otomatis jadi wakil. Penetapan seperti ini sudah berlaku sejak Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Penetapan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai gubernur dan Sri Pakualam VIII sebagai wakil gubernur itu sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang DIY. Repotnya, undang-undang itu hanya mengatur jabatan gubernur dan wakil gubernur saat dijabat oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Pakualam VIII, dan sama sekali tidak mengatur suksesinya.
Walhasil sesudah Sri Pakualam VIII wafat pada 1998, terjadi kekosongan penguasa di Yogyakarta. Pemerintah pusat, DPRD Yogyakarta dan Keraton berdebat sengit soal ini.
Atas desakan rakyat, pemerintah pusat kemudian menetapkan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai gubernur. Wakilnya belum ada, sebab suksesi di Pakualam saat itu belum selesai. Setelah Sri Pakualam IX naik tahta, dia kemudian ditetapkan sebagai wakil gubernur tahun 1999.
Tahun 2000, Majelis Permusyawaratan Perwakilan Rakyat (MPR), melakukan perubahan terhadap Undang-Undang 1945. Dalam perubahan itu, soal daerah istimewa dibahas dalam pasal 18B. Pasal itu menyebutkan bahwa keistimewaan suatu daerah akan diatur secara khusus dalam undang-undang.
Mengacu pada pasal 18B itu, tahun 2002 pemerintah DIY mengusulkan rancangan undang-undang keistimewaan Yogyakarta. Usulan itu dikembalikan ke pemerintah Yogya lantaran ada yang menolak pengangkatan gubernur lewat penetapan itu. Ketika masa jabatan Sri Sultan Hamengkubuwono berakhir tahun 2003, polemik kembali mencuat. Bagaimana memilih gubernur berikutnya.
Lalu muncul tiga usulan. Dipilih langsung oleh rakyat lewat Pilkada, dipilih oleh DPRD dan penetapan langsung sebagaimana yang berlangsung sebelumnya. Atas desakan rakyat, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian dilantik menjadi gubernur untuk masa jabatan 2003-2008.
Untuk kedua kalinya pada tahun 2006, pemerintah Yogyakarta mengajukan usul RUUK keistimewan Yogyakarta. Usulan itu kemudian mental lagi, karena sejumlah kalangan tidak setuju, terutama soal mekanisme penentuan pemerintah daerah itu.
Entah karena terkatung-katungnya nasib RUUK keistimewan itu, pada hari ulang tahunnya ke-61 tanggal 7 April 2007, Sri Sultan mengeluarkan pernyataan yang dianggap bersejarah oleh masyarakat Yogya. Setelah masa jabatannya selesai pada 2008, Sultan tak mau lagi menjadi gubernur.
Rakyat Yogya menolak dan bertanya soal niat Sultan itu. Sultan lalu menjelaskan sikapnya itu dalam acara Pisowanan Agung, 18 April 2007, yang dihadiri 40 ribu orang. Lagi-lagi atas desakan rakyat, pemerintah pusat kemudian melantik Sri Sultan sebagai gubernur hingga Oktober 2011.
Jelang 2011, RUUK soal Keistimewaan itu belum juga dibahas di DPR. Rancangan itu masih di tangan Departemen Dalam Negeri. Sejumlah kalangan menilai bahwa Sultan merasa pemerintah pusat tidak ikhlas dengan keistimewaan Yogyakarta itu.
Itu sebabnya Sultan mengusulkan agar sebelum pemerintah menyerahkan rancangan ke DPR, sebaiknya tanya kepada rakyat Yogya. Bertanya kepada rakyat itu, kata Sultan, sama artinya dengan referendum.
Sedangkan foto kedua diambil dari detik.com edisi 30 November 2010 pada berita yang berjudul “KIPER Siap Kawal Referendum di Yogyakarta”. Konteks foto tersebut adalah aksi sejumlah warga yang mendeklarasikan Komite Independen Pengawal Referendum (KIPER) di sekitar Alun-alun utara Yogyakarta.
Terbentuknya KIPER itu untuk mengawal dilaksanakannya referendum di Yogyakarta sebagaimana usulan dari Sri Sultan. KIPER sendiri menginginkan proses pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tetap melalui proses penetapan, bukan pemilihan langsung. KIPER menilai saat ini Sultan dan Paku Alam tetap jadi duet terbaik untuk memimpin pemerintahan DIY.
KESIMPULAN
Dari pemeriksaan fakta di atas, bahwa usulan referendum oleh Sultan Yogyakarta itu terjadi pada 2010. Konteksnya adalah terkait dengan kekosongan aturan mengenai suksesi gubernur dan wakil gubernur DIY. Sehingga tidak terkait dengan hasil Pemilu 2019.
Dengan demikian narasi yang dibangun di oleh akun Zunnurain Aisy Jol adalah sesat.
IKA NINGTYAS