Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sebagian Benar, Klaim Megawati soal Indonesia Anut Sistem Presidensial sehingga Tak Ada Istilah Koalisi Maupun Oposisi

Jumat, 28 Juni 2024 16:30 WIB

Sebagian Benar, Klaim Megawati soal Indonesia Anut Sistem Presidensial sehingga Tak Ada Istilah Koalisi Maupun Oposisi

Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri menyatakan dalam pidato politiknya bahwa tidak ada istilah koalisi dan oposisi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Maka menurut Ketua Umum PDI Perjuangan itu, PDIP berhak menjalin kerja sama politik dengan partai lainnya karena Indonesia menganut sistem presidensial, bukan parlementer.

“Karena saudara-saudara sekalian, anak-anakku tersayang, harus di-stressing bahwa banyak sekali mereka yang salah karena dalam sistem ketatanegaraan kita, boleh tanya pada Pak Mahfud MD. Sistem kita adalah presidential system, jadi bukan parlementer. Jadi, sebetulnya kita ini tidak ada koalisi lalu oposisi,” ujarnya saat membuka Rakernas PDI-P di Beach City International Stadium Ancol, Jakarta, 24 Mei 2024.

Benarkah pernyataan Megawati itu?

PEMERIKSAAN KLAIM

Dosen Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, membenarkan pernyataan Megawati bahwa Indonesia saat ini menganut sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem presidensial, kata dia, memang tidak ada istilah koalisi maupun oposisi.

Namun faktanya, dalam konteks Indonesia, pelaksanaan sistem presidensial cenderung setengah hati. “Akibatnya, terdapat nuansa sistem parlementer yang mengakibatkan munculnya istilah koalisi maupun oposisi,” ujarnya.

Definisi sistem presidensial adalah bentuk pemerintahan demokratis ketika kepala pemerintahan dipilih secara langsung memimpin otoritas kekuasaan eksekutif yang berbeda dari kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif. Sistem ini ditandai dengan pemisahan kekuasaan antar-otoritas.

Sistem presidensial murni memang tidak mengenal istilah koalisi dan oposisi. Dalam sistem presidensial yang berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan seperti di Amerika Serikat (AS), presiden sebagai otoritas eksekutif yang terpilih melalui pemilihan umum (pemilu) langsung, tidak bertanggung jawab secara politik kepada lembaga legislatif.

Sementara itu, dalam sistem parlementer yang berkembang secara bertahap di Eropa Barat, lembaga legislatif memandatkan kekuasaan eksekutif kepada perdana menteri. “Perdana menteri bertanggung jawab kepada mayoritas legislatif atas kelangsungan kekuasaan politiknya,” jelasnya.

Jika merujuk pada definisi di atas, dalam sistem presidensial, pemegang kekuasaan legislatif tak bisa menjatuhkan pemegang kekuasaan eksekutif. Kemudian, presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara mempunyai hak prerogatif untuk mengangkat menteri sebagai pembantu dalam menjalankan roda pemerintahan tanpa adanya intervensi dari lembaga legislatif/parlemen.

Selain itu, dalam pemilu, rakyat memilih presiden untuk melaksanakan pemerintahan dan memilih anggota legislatif untuk mengontrol presiden. Dengan demikian, makna oposisi sebenarnya disematkan kepada anggota legislatif yang berfungsi menjadi pengawas dari presiden.

Artinya, partai politik apapun, baik pengusung presiden terpilih maupun bukan, sepanjang mereka duduk di kursi DPR, bertugas sebagai oposisi dari presiden. Tugas DPR tersebut sebenarnya termuat dalam UUD 1945 Pasal 20A ayat (1) yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Kompromi mengaburkan sistem Presidensial

Alfath menyoroti sistem ketatanegaraan Indonesia yang lambat laun memunculkan kompromi akibat kombinasi sistem presidensial dan multipartai. Ini akibat siapa saja yang menjabat sebagai presiden akan terbelenggu keharusan berkompromi dengan partai-partai di parlemen. “Tetapi kompromi tersebut bersifat rapuh dan cair karena ketiadaan common platform (kesamaan visi misi),” ujarnya.

Alhasil, pertimbangan merangkul semua partai politik dalam kabinet dan menempatkan mereka dalam kotak “koalisi” membuat sistem presidensial kita menjadi kabur dan lebih cenderung kepada sistem parlementer.

Perlu dipahami, sebagian besar negara demokrasi yang stabil di dunia saat ini memang memiliki bentuk pemerintahan parlementer. Hanya beberapa negara di Amerika Latin yang menganut sistem presidensial namun tetap dapat menjaga kesinambungan demokrasinya.

Untuk itu, sistem presidensial Indonesia perlu ditata kembali–dari yang setengah hati menjadi sepenuh hati. Ini memungkinkan terciptanya hubungan yang bersifat independen nan setara antara eksekutif dan legislatif. 

“Dengan begitu, pemerintah benar-benar dapat menjadi rekan kerja DPR dalam proses legislasi dan pengawasan kekuasaan,” tegas Alfath. 

KESIMPULAN

Pernyataan Megawati bahwa tidak ada istilah koalisi dan oposisi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yang berupa presidensial bukan parlementer, adalah sebagian benar.

Sistem presidensial murni memang tidak mengenal istilah koalisi dan oposisi. Dalam sistem presidensial, pemegang kekuasaan legislatif tak bisa menjatuhkan pemegang kekuasaan eksekutif.

Namun, dalam pemilu, rakyat memilih presiden untuk melaksanakan pemerintahan dan memilih anggota legislatif untuk mengontrol presiden. Dengan demikian, makna oposisi sebenarnya disematkan kepada anggota legislatif yang berfungsi menjadi pengawas dari presiden.

Artinya, partai politik apapun termasuk PDIP, sepanjang tidak duduk di kursi DPR, bertugas sebagai oposisi dari presiden. Tugas DPR tersebut sebenarnya termuat dalam UUD 1945 Pasal 20A ayat (1) yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan.

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI)