Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sebagian Benar, Klaim tentang Dana Pendidikan Negara-negara Nordik Lewat Pajak Tinggi

Selasa, 25 Juni 2024 21:15 WIB

Sebagian Benar, Klaim tentang Dana Pendidikan Negara-negara Nordik Lewat Pajak Tinggi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menanggapi permintaan publik yang sering muncul terkait dana pendidikan, seperti fasilitas pendidikan hingga kuliah gratis seperti di negara-negara Nordik atau Eropa Utara. Baru-baru ini, perbincangan publik menghangat akibat biaya kuliah mahal.

Menurutnya, negara-negara Eropa Utara, atau biasa disebut negara Nordik, dapat memberikan kuliah gratis karena pajaknya 70%.

“Aku pernah teman di Bank Dunia, dia dari Finlandia. Saya tanya, how much tax you pay? Oh, around 70%. Jadi kalau kamu dapet (US$)100.000, kamu cuma dapet US$30.000? Iya, tutur dia,” ujar Sri Mulyani dalam seminar nasional Jesuit Indonesia, di Jakarta, Kamis (30/5/2024), sebagaimana dilansir Kompas.com.

Benarkah pernyataan Sri Mulyani soal pajak tinggi di negara-negara Nordik sehingga biaya kuliah bisa terjangkau?

PEMERIKSAAN KLAIM

Dosen Universitas Paramadina, Benni Yusriza Hasbiyalloh, menilai pernyataan Sri Mulyani itu pada umumnya akurat tetapi berlebihan. Secara umum, memang tingginya tarif pajak di negara-negara Nordik untuk mendanai layanan sosial mereka yang luas, termasuk pendidikan gratis.

“Di negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia, tarif pajak penghasilan pribadi teratas memang tinggi, tetapi biasanya berkisar antara 38% hingga 56%, tidak mencapai 65-70% seperti yang disebutkan,” ujarnya. 

Benni merujuk data Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang mencatat pajak marginal negara-negara Skandinavia itu. Misalnya, Denmark memiliki tarif pajak marginal teratas sekitar 55,5% dan Swedia 52,2%. Sedangkan Finlandia berada di ranking 19 negara OECD dalam sistem perpajakan dan memiliki PPh sebesar 51,4%, jauh di atas rata-rata OECD sebesar 42,5% pada tahun 2023.

Negara-negara ini, kata Benni, memang mendanai negara kesejahteraan komprehensif mereka, termasuk pendidikan tinggi gratis, melalui tarif pajak tinggi ini yang digabungkan dengan kontribusi signifikan dari pajak pertambahan nilai (PPN) dan kontribusi jaminan sosial. Rata-rata PPN untuk negara-negara Nordik adalah 25%, dan kontribusi yang beragam sesuai dengan di kota mana pekerja menetap. 

Alumnus Universitas Lund, Swedia itu menggambarkan bagaimana pengenaan pajak di Swedia. Jika seseorang bekerja di sana, pekerja yang mendapatkan pendapatan di bawah ambang batas SEK 598.500 akan dikenakan pajak penghasilan berkisar antara 29-35%, sesuai dengan tempat tinggal dari pekerja. “Apabila melebihi ambang batas, akan dikenakan tambahan 20% pajak penghasilan yang ditarik ke negara,” jelasnya. 

Begitu pula dengan potongan lain seperti potongan gereja jika seseorang menganut agama Kristen maupun Katolik, dan potongan pemakanan dengan jumlah yang bervariasi di setiap kota. “Beban pajak keseluruhan di negara-negara ini memang besar, dan memungkinkan mereka untuk menawarkan layanan publik yang luas, menciptakan tingkat kepercayaan sosial dan efisiensi institusional yang tinggi,” ujar Benni.

Sementara itu peneliti Think Policy, Alexander Michael Tjahjadi, pernyataan Sri Mulyani tersebut benar jika dilihat dari sisi pajak progresif, bukan rasio dari pajaknya sendiri.

Negara-negara Eropa Utara memang mendanai kesejahteraan sosial, termasuk pendidikan tinggi gratis, melalui tarif pajak tinggi yang digabungkan dengan kontribusi signifikan dari pajak pertambahan nilai (PPn) dan kontribusi jaminan sosial. Rata-rata PPn untuk negara-negara Nordik adalah 25%, dan kontribusi yang beragam sesuai dengan kota tempat pekerja menetap.

Apalagi, tarif pajak di Eropa Utara cukup besar dan kebanyakan negara mendapatkan pendapatan dari PPh. “Sedangkan di Indonesia, terlalu banyak sektor informal yang tidak masuk dalam pemasukan negara berupa pajak,” katanya.

Di sisi lain, pajak pendapatan bukan satu-satunya bagian dari struktur pajak yang ada. Terdapat beragam sumber pembiayaan negara yang lain. PPh hanya mencakup 29% dari penerimaan utama Finlandia. Salah satu sumber lainnya adalah PPn yang mencakup 33,7%.

Finlandia juga memiliki rasio pajak sebesar 43% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB), sedangkan Indonesia hanya 10,9% terhadap PDB. Finlandia juga memiliki proporsi pendapatan 30% terhadap pendapatan seluruh pajak, sedangkan Indonesia hanya 9%.

“Artinya, beban pajak keseluruhan di negara-negara Eropa Utara memang besar. Ini memungkinkan mereka untuk menawarkan layanan publik yang luas, menciptakan tingkat kepercayaan sosial dan efisiensi institusional yang tinggi,” jelasnya.

Namun Michael menegaskan bahwa kita perlu lebih jeli dalam menilai argumen dari Sri Mulyani, terutama mengenai pajak. “Memang sistem pajak negara yang lebih maju tidak bisa dibandingkan dengan yang masih memiliki sektor informal yang besar, seperti Indonesia,” pungkasnya.

KESIMPULAN

Pernyataan Sri Mulyani soal pajak tinggi di negara-negara Nordik sehingga biaya kuliah bisa terjangkau, adalah sebagian benar.

Pajak pendapatan bukan satu-satunya bagian dari struktur pajak mereka, tetapi ada beragam sumber pembiayaan negara yang lain. Contohnya Finlandia, PPh hanya mencakup 29% dari penerimaan utama Finlandia. Salah satu sumber lainnya adalah PPn yang mencakup 33,7%.

Berbeda dengan Indonesia yang hanya 10,9% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB), rasio pajak Finlandia sebesar 43% terhadap PDB. Finlandia juga memiliki proporsi pendapatan 30% terhadap pendapatan seluruh pajak, sedangkan Indonesia hanya 9%.

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected]

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI)