Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

[Fakta atau Hoaks] Benarkah Syarat Menjadi Presiden Harus Memenangkan Suara di 17 Provinsi?

Jumat, 26 April 2019 07:11 WIB

[Fakta atau Hoaks] Benarkah Syarat Menjadi Presiden Harus Memenangkan Suara di 17 Provinsi?

Narasi yang menyebutkan bahwa pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin tidak bisa menjadi presiden meski meraih 51 persen suara atas Prabowo-Sandi beredar di media sosial. Narasi ini beredar di WhatsApp dan Facebook, sejak 20 April 2019.

Informasi bahwa Joko Widodo-Ma'ruf Amin tidak mungkin memenangi Pilpres 2019 berdasarkan UUD 1945 Pasal 6 ayat (3) beredar di media sosial dan pesan singkat.

Di Whatsapp, narasi ini beredar berupa teks artikel pernyataan dari Dedy Mclaren. Tidak diketahui jelas siapa Dedy Mclaren tersebut. Sedangkan di Facebook, narasi beredar berupa video yang salah satunya dibagikan oleh akun Baihaqi Rahmadani.

Dalam video berdurasi hampir 9 menit itu, narasi awal yang dibangun mirip dengan artikel yang tersebar di Whatsapp dengan mengutip pernyataan Dedy Mclaren. Bahwa untuk bisa dilantik sebagai presiden dan wakil presiden, selain meraup 51 persen lebih, Jokowi-Ma’ruf Amin mesti memenuhi syarat yang lain yakni memenangkan suara di 1/2 jumlah provinsi atau 17 provinsi. Selanjutnya di 17 provinsi yang kalah harus mendapatkan minimal 20 persen suara. Argumen itu merujuk pada pasal 6A ayat 3 UUD 1945.

Sedangkan menurut quick count, Jokowi hanya menang di 14 provinsi dan ada beberapa daerah yang memperoleh di bawah 20 persen, seperti menurut Indo Barometer di Aceh, Sumatera Barat. Ini berbeda dengan hasil Jokowi dalam Pilpres 2014 yang menang di 22 provinsi.

 

PEMERIKSAAN FAKTA

Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menjelaskan sumber pesan tersebut adalah Pasal 159 Undang-Undang 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. "Pada 2014, kami telah mengajukan gugatan atas pasal ini dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan," kata Titi saat dihubungi Tempo, Ahad, 21 April 2019.

Titi mengatakan saat ini aturan penetapan presiden terpilih mengikuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Terhadap UUD 1945. Putusan MK Nomor 52/2014 sudah diakomodir dalam Pasal 3 Ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019.

"Pasal itu berbunyi Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih," ujar Titi. "Jadi pesan berantai tersebut tidak benar.”

Dalam pembacaan sidang putusan pada 3 Juli 2014, Ketua MK waktu itu Hamdan Zoelva menyampaikan majelis hakim mengabulkan uji materi itu. 

“Mengabulkan untuk seluruhnya Pasal 159 ayat (1) bertentangan sepanjang tidak dimaknai dan tidak berlaku untuk hanya terdiri dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden,” kata Hamdan Zoelva saat membacakan amar putusan.

MK membatalkan adanya penafsiran perolehan suara sebanyak 20 persen di setengah provinsi yang ada di Indonesia untuk menentukan pemenang pemilu presiden. Artinya, penetapan pemenang pemilu presiden hanya ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak.

Dalam pendapat MK yang dibacakan hakim konsitusi Muhammad Alim, sebaran suara sebanyak 20 persen di setengah provinsi di Indonesia dalam Pasal 159 itu berlaku jika ada lebih dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Namun, jika hanya ada dua pasangan, tidak perlu pemilu dua putaran.

Hakim MK I Dewa Gede Palguna mengatakan bahwa Putusan MK Nomor 50/2014 tetap berlaku dan harus dijalankan. "Sepanjang MK belum mengubah pendiriannya dan sepanjang penalaran norma undang-undangnya tidak berubah atau diubah oleh pembentuk undang-undang," ujar Palguna saat dihubungi, Ahad, 21 April 2019.

Selengkapnya unduh: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Terhadap UUD 1945

 

KESIMPULAN

Dari fakta-fakta di atas bisa disimpulkan bahwa narasi pasangan calon tidak bisa dilantik menjadi presiden dan wakil presiden karena perolehan suaranya tidak merata di 17 provinsi dan kurang dari 20 persen adalah keliru.

 

IKA NINGTYAS