Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keliru, Jong China Tidak Bergabung dalam Kongres Pemuda yang Melahirkan Sumpah Pemuda

Senin, 8 November 2021 10:35 WIB

Keliru, Jong China Tidak Bergabung dalam Kongres Pemuda yang Melahirkan Sumpah Pemuda

Narasi yang mengklaim bahwa Jong Cina tidak mau bergabung sejak Kongres Pemuda 1926, 1927 dan 1928, beredar di media sosial saat peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2021. 

Klaim itu diunggah dalam sebuah flyer digital berjudul “Fakta Sejarah yang Coba untuk Dikaburkan”, bersama tiga flyer lain yang membandingkan peran etnis Tionghoa dan etnis Arab dalam sejarah lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober. 

Dalam flyer itu disebut bahwa Cina tidak akan mengakui bangsa Indonesia sebagai bangsa atau negaranya, karena Jong China tidak mau bergabung dalam Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda 1928. “Mereka menyatakan dirinya bukan bagian bangsa ini, malah bergabung dengan kompeni.”

Tempo mendapatkan unggahan itu disebarkan di Twitter dan Pinterest

Tangkapan layar unggahan klaim Jong Cina tidak bergabung dalam Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda

PEMERIKSAAN FAKTA

Tim Cek Fakta Tempo mewawancarai sejarawan Ravando Lie dan menggunakan referensi terbuka lainnya untuk memverifikasi klaim tersebut. Hasilnya, etnis Tionghoa memiliki peranan dan berkontribusi di masa pergerakan Indonesia, terutama dalam Kongres Pemuda yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober. 

Klaim 1 tentang organisasi Jong China 

Menurut Ravando, etnis Tionghoa tidak pernah mendirikan organisasi pemuda bernama Jong China dalam masa pergerakan Indonesia kala itu. Dalam sejumlah arsip, kata dia, memang ada istilah Jong Chinese Bewerking. Namun istilah itu bukan sebuah organisasi seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond atau organisasi pemuda berlatar etnis lainnya yang berdiri tahun 1920an. Istilah tersebut, kata Ravando, lebih merujuk pada spirit gerakan kaum muda Tionghoa pasca Revolusi Tiongkok 1911. Spirit itu seiring pula dengan munculnya sekolah-sekolah Tionghoa yang tersebar di banyak daerah, yang kemudian memunculkan semangat nasionalisme di kalangan muda Tionghoa. 

Klaim 2 tentang peranan etnis Tionghoa dalam Sumpah Pemuda

Sejarawan Ravando Lie menjelaskan, bahwa komunitas Tionghoa di Indonesia tidak bisa dilihat secara homogen. Sebab mereka terbagi dalam beberapa golongan dengan ideologi masing-masing dan arah politik yang berbeda. Akan tetapi hal ini tidak hanya terjadi di komunitas Tionghoa saja, tapi juga terjadi di banyak kelompok lainnya, termasuk di kalangan bumiputera. 

“Tapi kalau dilihat lebih detail lagi pada sejarah Tionghoa di Indonesia, ada banyak sekali mereka yang bersimpati pada perjuangan Indonesia merdeka,” kata dia. 

Ravando menyebutkan sedikitnya ada 4 hal bagaimana etnis Tionghoa punya peran dalam Sumpah Pemuda 1928:

a. Rumah tempat lahirnya Sumpah Pemuda

Menurut Ravando, rumah yang digunakan sebagai tempat Sumpah Pemuda 1928 adalah milik Sie Kong Liang, seorang pria berlatar Tionghoa. Rumah tersebut memang sering digunakan oleh sejumlah pemuda progresif kala itu untuk berdiskusi dan berkumpul sebagai bagian mewujudkan Indonesia merdeka. Kelak rumah tersebut ditetapkan menjadi Museum Sumpah Pemuda. 

“Kong Liang sendiri senang rumahnya dipakai berkumpul para pemuda yang juga aktivis,” kata Ravando, kandidat Doktor Sejarah dari Universitas Melbourne, Australia. 

Sebelum menjadi tempat lahirnya Sumpah Pemuda, rumah Kong Liang menjadi rumah indekos sejumlah tokoh pergerakan nasional seperti Muhammad Yamin, Abu Hanifah dan Amir Syarifudin. 

Dalam situs Museum Sumpah Pemuda di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI juga dijelaskan, museum tersebut adalah rumah tinggal milik Sie Kong Liang yang didirikan pada permulaan abad ke-20. Sejak 1908, rumah itu disewa pelajar Stovia (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) dan RS (Rechtsschool) sebagai tempat tinggal dan belajar. Saat itu dikenal dengan nama Commensalen Huis. Mahasiswa yang pernah tinggal adalah Muhammad Yamin, Amir Sjarifoedin, Soerjadi (Surabaya), Soerjadi (Jakarta), Assaat, Abu Hanifah, Abas, Hidajat, Ferdinand Lumban Tobing, Soenarko, Koentjoro Poerbopranoto, Mohammad Amir, Roesmali, Mohammad Tamzil, Soemanang, Samboedjo Arif, Mokoginta, Hassan, dan Katjasungkana.

Sejak tahun 1927, rumah tersebut digunakan oleh berbagai organisasi pergerakan pemuda untuk melakukan kegiatan pergerakan. Bung Karno dan tokoh-tokoh Algemeene Studie Club Bandung sering hadir untuk membicarakan format perjuangan dengan para penghuni rumah tersebut. Di gedung ini pernah diselenggarakan kongres Sekar Roekoen, Pemuda Indonesia, PPPI. Gedung ini juga menjadi sekretariat PPPI dan sekretariat majalah Indonesia Raja yang dikeluarkan PPPI. Mengingat digunakan berbagai organisasi, maka sejak tahun 1927 rumah yang juga disebut Gedung Kramat 106 diberi nama Indonesische Clubhuis atau Clubgebouw (gedung pertemuan).

b. Empat pemuda Tionghoa terlibat Sumpah Pemuda

Selain Sie Kong Liang, ada empat pemuda keturunan Tionghoa lain yang menghadiri Sumpah Pemuda. Mengutip Sejarawan Didi Kwartanada di situs historia.id, empat Tionghoa yang hadir di Kongres Pemuda II yakni Kwee Thiam Hong anggota Jong Sumatranen Bond yang mengajak tiga sahabatnya anggota kepanduan: Oey Kay Siang, Liauw Tjoan Hok, Tjio Djien Kwie. 

Sebagai anggota kepanduan, kata Didi, selain mengajarkan keterampilan di luar ruangan, mereka biasanya mengajarkan semangat nasionalisme dan patriotisme. 

Sejarawan Ravando Lie membenarkan adanya empat pemuda etnis Tionghoa yang hadir saat Kongres Pemuda 2 tersebut. “Keempat sosok ini tidak banyak tercatat dalam sejarah, tapi mereka punya peranan besar sebagai anggota kepanduan.”

c. Lagu Indonesia Raya terbit pertama kali di koran Sin Po

Koran Sin Po pertama kali diterbitkan sebagai surat kabar mingguan berbahasa Tionghoa-Melayu oleh pemuda Tionghoa Peranakan di Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1910 dan menjadi surat kabar harian pada tahun 1912. Koran Sin Po merupakan bagian penting dari sejarah Indonesia karena sebelumnya sudah banyak diberitakan sebagai koran pertama yang menggunakan kata Indonesia untuk menggantikan "Hindia Olanda" kawasan yang dulunya dijajah Belanda, dan kemudian merdeka di tahun 1945.

Koran Sin Po juga merupakan surat kabar pertama yang, pada 10 November 1928, menyiarkan lagu Indonesia gubahan Wage Rudolf Supratman, ketika media lain tidak berani memuat lagu yang kemudian menjadi lagu kebangsaan Indonesia tersebut. 

Tampilan Koran Sin Po saat menerbitkan lagu Indonesia Raya untuk pertama kalinya. Sumber: Arsip digital Universitas Monash Australia

Sejarawan Ravando Lie, menjelaskan, setelah ditolak oleh beberapa media, WR. Supratman memutuskan menemui pemilik Koran Sin Po. Lagu Indonesia akhirnya berhasil diterbitkan setelah pemilik Sin Po saat itu tergugah dengan lirik dan musik yang dimainkan WR Supratman di hadapannya. 

“Koran Sin Po menganggap perjuangan kaum Tionghoa dan bumiputera itu beriringan, karena sama-sama sebagai bangsa yang terjajah dan tertindas,” kata dia. Selain itu, Sin Po juga kerap membantu Soekarno untuk menerbitkan selebaran propaganda melawan pemerintah Kolonial. 

d. Sosok Yo Kim Tjan

Yo Kim Tjan osok etnis Tionghoa berikutnya yang berperan mendistribusikan lagu Indonesia raya dalam piringan hitam ke berbagai pihak. Menurut Sejarawan Ravando, Kim Tjan adalah pemilik orkestra Populair di mana WR Supratman bekerja sebagai biola paruh waktu di sana. Yo Kim Tjan menyarankan Supratman merekam lagu Indonesia Raya dalam dua versi. Versi pertama aslinya dibawakan oleh supratman, sedangkan versi kedua dalam format keroncong. Lagu tersebut kemudian direkam dalam piringan hitam.

Namun rencana tersebut terendus intelijen pemerintah Kolonial dan menyita sejumlah piringan hitam yang belum sempat didistribusikan. Anak Yo Kim Tjan kemudian berupaya menyelamatkan piringan hitam yang tersisa dan dibawa mengelilingi berbagai tempat hingga Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaan pada 1945.   

KESIMPULAN

Dari pemeriksaan fakta di atas, narasi yang mengklaim bahwa Jong Cina tidak mau bergabung dalam Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda adalah keliru. Sejumlah fakta sejarah justru menunjukkan sebaliknya, sejumlah orang keturunan Tionghoa, justru memiliki peran penting di masa pergerakan Indonesia dan Sumpah Pemuda.

Tim Cek Fakta Tempo