Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

[Fakta atau Hoax] Benarkah Indonesia Mengutamakan Penanganan Perubahan iklim?

Rabu, 5 Desember 2018 16:06 WIB

[Fakta atau Hoax] Benarkah Indonesia Mengutamakan Penanganan Perubahan iklim?

Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla menyatakan komitmennya untuk mengutamakan penanganan perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan.

“Karena itu pembangunan berkelanjutan dan mitigasi dampak perubahan iklim telah diarusutamakan di dalam strategi pembangunan Indonesia,” kata Wapres dalam KTT G20, di Costa Salguera Center, Buenos Aires, Argentina, pada Sabtu, (1/12), yang dikutip dari laman http://www.wapresri.go.id.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (kiri) disambut oleh Presiden Argentina Mauricio Macri saat menghadiri KTT para pemimpin G20 di Buenos Aires, Argentina, Jumat, 30 November 2018. Pertemuan KTT G20 akan berlangsung pada 30 November dan 1 Desember 2018. REUTERS/Marcos Brindicci

Terkait perubahan iklim, JK mengatakan bahwa sebagai negara kepulaian terbesar di dunia, perubahan iklim sangat terasa dampaknya di Indonesia. Hal itu diperparah dengan mekanisme perdagangan karbon yang belum berjalan efektif.

"Indonesia prihatin dengan fakta bahwa mekanisme dan harga carbon trade masih jauh dari harapan yang dapat secara efektif memberikan insentif bagi reforestasi dan konservasi hutan," ucap JK.

Ia juga menyerukan agar negara-negara G-20 dapat bersama-sama menangani isu tersebut.

Dari pernyataan itu, benarkah Indonesia telah menjalankan aksi nyata untuk mengatasi perubahan iklim?

Cek Fakta

Satu pekan menjelang berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Negara-negara ekonomi 20 (G-20) di Argentina, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan “Brown to Green Report 2018” yang berlangsung di Jakarta, Rabu, 21 November 2018.

Brown to Green Report 2018 adalah laporan tahunan yang dikeluarkan Climate Transparency initiative, sebuah kemitraan internasional dari 14 organisasi dan para ahli di bidang perubahan iklim dan energi di negara-negara G-20. Brown to Green Report berisi tentang penilaian kinerja negara-negara G-20 dalam melakukan transisi menuju ekonomi rendah karbon dalam mencapai target Kepakatan Paris dan menjaga temperatur bumi tidak lebih dari 2°C dan diusahakan hingga 1,5°C.

Dengan menggunakan 80 indikator, Brown to Green Report 2018 menyajikan data, analisis serta fakta terlengkap mengenai perkembangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dekarbonisasi, kebijakan perubahan iklim serta pembiayaan untuk aksi perubahan iklim. Laporan 2018 ini juga menambahkan kajian mengenai kerentanan terhadap perubahan iklim dan transisi yang adil.

Laporan tahun 2018 ini menjelaskan, hampir sebagian besar negara-negara G-20 menunjukan penurunan kinerja dalam mencapai target Kesepakatan Paris. Tingkat emisi tahun ini mengalami kenaikan karena semakin besarnya penggunaan bahan bakar fosil terutama di sektor ketenagalistrikan dan transportasi. Padahal sejak tahun 2014 hingga 2016, emisi di negara negara G20 telah mengalami penurunan meskipun terjadi sangat lambat.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam sambutan pembukaanya, mengatakan, emisi gas rumah kaca di Indonesia cenderung mengalami peningkatan yang disumbang dari sektor ketenagalistrikan, industri dan transportasi. Kontribusi nasional Indonesia sebesar 29% juga dinilai belum cukup memadai untuk mencapai target 1,5°C, bahkan cenderung mengarah pada peningkatan suhu yang lebih hanggat antara 3-4°C.

“Salah satu aspek yang membuat Indonesia tertinggal dari negara G-20 lainnya karena belum adanya target kapan Indonesia akan mengalami puncak emisi, dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai target tersebut.” jelas Fabby dikutip dari laman IESR, 22 November 2018.

Kinerja Indonesia dinilai menurun, karena semakin besarnya ketergantungan pada bahan bakar fosil, khususnya batu bara.  Subsidi untuk batu bara semakin meningkat. Namun di sisi yang lain, subsidi atau dukungan pendanaan untuk pengembangan energi terbarukan belum menunjukan perkembangan yang signifikan.

Sedangkan emisi di sektor lahan dinilai mengalami sedikit perbaikan dengan menurunnya tingkat deforestasi hingga 60 persen pada 2017. Keberhasilan ini merupakan hasil dari kebijakan moratorium lahan gambut yang diterapkan pemerintah setahun sebelumnya. Untuk meningkatkan kinerja di sektor lahan, Indonesia perlu menyiapkan kebijakan terkait dengan forestasi atau menggantikan kawasan hutan yang hilang.

Berikut fakta-fakta terkait evaluasi kinerja Indonesia dalam penanganan perubahan iklim:

1. Target batasan kenaikan suhu

Emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia meningkat hingga hampir tiga kali lipat antara tahun 1990 dan 2015 (+196%), dan laju peningkatannya diperkirakan akan semakin bertambah hingga tahun 2030. Saat ini, emisi GRK dari sektor kehutanan dan energi menyumbang porsi yang dominan pada keseluruhan emisi GRK Indonesia.

Emisi GRK Indonesia diperkirakan akan meningkat hingga 1,573 dan 1,751 MtCO2e pada 2030 (di luar sektor kehutanan). Proyeksi emisi ini tidak sejalan dengan target Kesepakatan Paris, sebaliknya emisi gas rumah kaca meningkat menuju kenaikan suhu antara 3°C dan 4°C.

Sektor-sektor yang menggunakan energi merupakan penyumbang terbesar emisi CO2 dari total emisi GRK nasional. Indonesia mencatat peningkatan emisi CO2 sebesar 18 persen sepanjang 2012-2017, yang disebabkan karena meningkatnya emisi dari pembangkitan listrik, sektor industri, dan sektor transportasi.

Kebijakan sektoral Indonesia dianggap masih tidak konsisten dengan target Kesepakatan Paris, terutama berkaitan dengan penggunaan energi batu bara, efisiensi energi di bidang industri, dan deforestasi.

2. Evaluasi Kebijakan Iklim

Penilaian ini mengevaluasi sejumlah kebijakan yang menjadi prasyarat penting dalam langkah transformasi jangka panjang yang diharuskan untuk memenuhi batasan 1,5°C.

a) Di sektor pembangkit listrik, Indonesia berencana untuk meningkatkan porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi primer menjadi 31 persen pada 2050. Pemerintah menawarkan feed-in tariff untuk berbagai teknologi terbarukan, tetapi angka ini didasarkan pada rata-rata biaya pembangkitan listrik (termasuk subsidi energi batu bara), sehingga membuat proyek-proyek energi terbarukan tanpa subsidi menjadi tidak ekonomis di beberapa wilayah.

Pemerintah merencanakan untuk meningkatkan kapasitas pembangkit listrik sebesar 56 GW untuk kebutuhan listrik beberapa dekade ke depan, dan 26,8 GW dari kebutuhan tersebut dipenuhi dari pembangkit berbahan bakar batu bara. Pemerintah sama sekali belum mempunyai rencana untuk keluar dari ketergantungan pada batu bara (coal phase-out).

b) Di sektor transportasi, sejak 2018, kendaraan berbahan bakar bensin harus mematuhi standar EURO 4 sedangkan untuk diesel, standar EURO 2 sebelumnya masih berlaku sampai 2021. Namun Indonesia tidak ada target untuk menghapuskan LDV (Light Duty Vehicles) berbahan bakar fosil.

c) Pada bangunan, program dan standar bangunan hijau (green building) sudah ada, namun tidak ada strategi nasional untuk mempromosikan bangunan rendah emisi.

d) Di bidang industri, Standar Sistem Manajemen Energi kini telah diberlakukan bagi beragam industri, seperti tekstil dan garmen, bubur kertas dan kertas, kimia, makanan dan minuman, pupuk, dan keramik. Beberapa perusahaan telah memiliki sertifikasi ISO 50001. Sejumlah manajer ahli dan auditor energi nasional juga telah disertifikasi.

e) Di sektor kehutanan, saat ini, belum ada target nasional yang diterapkan untuk meraih nol deforestasi. Meskipun pada 2011 diberlakukan moratorium terhadap penebangan di daerah yang tak terganggu (undisturbed areas) yang berlaku hingga November 2019, Indonesia masih menghadapi begitu tingginya tingkat deforestasi, yang sebagian besar didorong oleh industri bubur kertas dan kelapa sawit.

Menanggapi permasalahan tersebut, saat ini pemerintah menawarkan skema dukungan untuk reboisasi dan membentuk lembaga yang ditugasi untuk mengelola pendanaan kegiatan REDD+, serta telah membekukan perizinan perkebunan kelapa sawit baru hingga 2021.

3. Capaian dekarbonisasi

Bahan bakar “nol-karbon“ adalah nuklir, air (hidro), dan energi baru terbarukan. Persentase penggunaan bahan bakar “nol-karbon“ di Indonesia (terutama energi baru terbarukan) meningkat dari 11 persen menjadi 13 persen (2012-2017), mendekati rata-rata G-20.

Energi baru terbarukan dalam laporan ini tidak memasukkan sumber energi terbarukan tidak berkelanjutan seperti PLTA skala besar. Persentase penggunaan energi baru terbarukan di Indonesia sebesar 13 persen berada di atas rata-rata G-20 (5 persen). Penggunaan energi baru terbarukan ini meningkat 25 persen (2012-2017), terutama dari pembangkit listrik tenaga panas bumi.

Intensitas karbon dari sektor energi Indonesia meningkat sebesar 4 persen (2012-2017), namun tetap di bawah rata-rata negara G-20 karena tingginya kontribusi energi panas bumi.

4. Kebijakan dan regulasi keuangan

Melalui kebijakan dan regulasi, pemerintah berupaya untuk mengatasi sejumlah tantangan dengan memobilisasi pendanaan hijau (green finance); termasuk persepsi risiko, kurangnya pengembalian laba atas investasi, serta kesenjangan kapasitas dan informasi.

Perbaikan kebijakan fiskal dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan sumber daya publik secara langsung. Secara kritis, kebijakan ini mampu mengalihkan keputusan investasi dan mendorong konsumen untuk menerapkan gaya hidup rendah karbon serta ketahanan dalam menghadapi perubahan iklim dengan menunjukkan eksternalitas dalam harga.

a). Subsidi bahan bakar fosil

Pada 2016, Indonesia menyediakan dana sebesar US$8,8 miliar sebagai subsidi bahan bakar fosil (angka tersebut terus berfluktuasi dari US$7,0-25,8 miliar sejak tahun 2007). Sejak 2007 hingga 2016, angka subsidi tercatat lebih besar (US$0,006) dibandingkan rata-rata negara G-20 (US$0,003) per unit PDB.

Pada umumnya, subsidi di Indonesia menyasar sektor konsumsi (96 persen), melalui dukungan anggaran langsung dan pembebasan pajak. Angka subsidi terbesar dapat ditemukan dalam bentuk kompensasi tahunan yang diberikan bagi Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk melaksanakan penjualan listrik (yang didominasi oleh bahan bakar fosil) di bawah harga pasar (US$4,2 miliar pada tahun 2016).

b) Pendapatan karbon

Indonesia tidak memiliki skema pajak karbon nasional, perdagangan emisi nasional ataupun rencana penggunaan skema serupa di masa depan. Meskipun demikian, sebesar 16 persen emisi domestik yang dihasilkan oleh penggunaan energi akan dikenakan pajak lainnya.

c) Pembiayaan publik

Pemerintah mengarahkan investasi melalui lembaga-lembaga keuangan termasuk melalui bank-bank pembangunan, baik di dalam maupun di luar negeri, dan bank investasi hijau (green invesment bank). Negara-negara maju yang tergabung dalam G-20 juga memiliki kewajiban untuk memberikan pembiayaan baik bagi negara berkembang maupun sumber publik, yang juga menjadi aspek penting dari kewajiban-kewajiban ini sesuai yang ditetapkan oleh UNFCCC.

Kesimpulan

Berdasarkan cek fakta di atas bahwa klaim Pemerintah Indonesia dalam KTT G-20 tidak terbukti.

 

IKA NINGTYAS