Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

[Fakta atau Hoaks] Benarkah Indomie Dilarang di Taiwan?

Senin, 28 Oktober 2019 12:05 WIB

[Fakta atau Hoaks] Benarkah Indomie Dilarang di Taiwan?

Informasi yang menyebut bahwa produk mi instan Indomie dilarang di Taiwan beredar di media sosial. Salah satu akun yang membagikan informasi itu adalah akun Mo Moy Saifuddin di Facebook. Dalam unggahannya pada 21 Oktober 2019 itu, akun tersebut menyebut bahwa Indomie ditarik dari toko-toko di Taiwan karena terdeteksi mengandung bahan pengawet kosmetik.

Akun Mo Moy Saifuddin menulis, "Ini adalah Siaran Berita Malam sebuah TV di Taiwan. Menyampaikan berita, bahwa Indomie Indonesia terdeteksi mengandung bahan pengawet yang dipakai untuk kosmetik. Juga bahan lain yang akan merusak maag dan hati, serta sudah diperintah diturunkan dari rak penjualan di semua toko di seluruh kota yang ada menjual Indomie."

Unggahan itu dilengkapi dengan video berdurasi 2 menit 4 detik yang diawali dengan narasi berbahasa Mandarin oleh seorang presenter wanita. Ia melaporkan bahwa petugas kesehatan setempat menarik sejumlah produk Indomie dari salah satu supermarket di Taiwan. Hingga berita ini ditulis, unggahan itu telah dibagikan hingga 3,2 ribu kali.

Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang menyebut bahwa Indomie ditarik dari peredaran di Taiwan.

PEMERIKSAAN FAKTA

Tim CekFakta Tempo menggunakan dua cara untuk mencari video asli yang berisi pelarangan Indomie di Taiwan tersebut. Pertama, Tempo menggunakan YouTube Data Viewer untuk mengekstraksi video yang diunggah akun Mo Moy Saifuddin dalam sejumlah gambar. Gambar-gambar tersebut kemudian dimasukkan ke dalam reverse image tools untuk mendapatkan video asli yang dimaksud.

Melalui cara ini, Tempo terhubung dengan kanal Rico Lie di YouTube yang mengunggah video tersebut pada 11 Oktober 2010. Ia memberi video itu judul "Indomie Recall-Indofood Noodles recall in Taiwan". Namun, video yang telah ditonton hingga 3.795 kali tersebut tidak memuat keterangan stasiun televisi Taiwan yang mempublikasikan berita itu.

Tempo pun memasukkan kata kunci “Indomie Recall in Taiwan 2010” ke mesin pencari Google. Hasilnya, Tempo menemukan tautan video tersebut diunggah oleh salah satu akun di forum yang bernama Cari. Dari tautan itu, Tempo terhubung dengan kanal PTS (Public Television Service) Taiwan di YouTube yang mempublikasikan video pelarangan Indomie di Taiwan tersebut pada 9 Oktober 2010.

Gambar tangkapan layar video berita di kanal PTS Taiwan di YouTube.

Video itu berisi berita bahwa, saat melakukan inspeksi di sejumlah toko di Xinzhuang dan Banqiao, Biro Kesehatan Taipei menemukan kecap pada produk mi instan Indonesia, Indomie, mengandung bahan pengawet yang dibuat khusus untuk kosmetik, metil paraben. Selain itu, dalam ladanya, ditemukan asam benzoat.

Menurut berita itu, metil paraben sangat korosif. Karena itu, di Taiwan, bahan pengawet tersebut tidak diizinkan dipakai dalam makanan dan hanya boleh digunakan dalam kosmetik. Apabila dikonsumsi, metil paraben dapat menyebabkan sakit perut dan kerusakan fungsi hati.

Dalam inspeksi itu, Biro Kesehatan Taipei menyita 2.080 paket dari 15 varian rasa Indomie yang kemudian dikirimkan ke Departemen Kesehatan untuk diperiksa lebih lanjut. Sejak Januari hingga Oktober 2010, mie instan Indonesia yang sudah diimpor ke Taiwan mencapai lebih dari 1.000 ton.

Tempo pernah memuat berita tentang penarikan Indomie di Taiwan tersebut pada 11 Oktober 2010 dengan judul "Mengandung Pengawet Terlarang, Indomie Ditarik di Taiwan". Menurut berita ini, pemerintah Taiwan menarik Indomie dari peredaran karena ditemukan dua bahan pengawet terlarang di dalamnya, yakni methyl p-hydroxybenzoate dan benzoic acid. Di Taiwan, bahan pengawet itu hanya diperbolehkan untuk kosmetik.

Selain di Taiwan, bahan pengawet tersebut juga dilarang digunakan untuk makanan di Kanada dan Eropa. Jika dikonsumsi, bahan pengawet tersebut bisa menyebabkan orang yang memakannya muntah. Bahkan, jika dimakan dalam jangka waktu yang lama atau dalam jumlah yang banyak, bahan pengawet itu bisa menyebabkan metabolic acidosis, sebuah kondisi akibat terlalu banyak mengkonsumsi asam.

Saat itu, produsen Indomie, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) menyatakan bahwa produk-produknya telah sesuai dengan petunjuk global yang dibuat CODEX Alimentarius Commission, badan standar makanan internasional. "Kami sedang mengkaji situasi di Taiwan terkait beberapa laporan tersebut dan akan mengambil langkah yang diperlukan untuk melindungi konsumen kami di negara itu dan negara lainnya," ujar Direktur ICBP Taufik Wiraatmadja.

Sementara terkait Indomie di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan bahwa mi instan yang terdaftar di Indonesia aman untuk dikonsumsi. Di Indonesia, tulis BPOM, penggunaan bahan tambahan pangan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan tentang Bahan Tambahan Makanan. Salah satu bahan tambahan pangan yang diatur adalah nipagin atau methyl p-hydroxybenzoate yang berfungsi sebagai pengawet dengan batas maksimum penggunaan.

Lalu, apakah saat ini Taiwan masih melarang Indomie?

Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) Taipei memastikan bahwa tidak ada lagi larangan Indomie di Taiwan pada 2019. "Sejauh ini, tidak ada larangan terhadap Indomie setelah dikonfirmasi ke pihak distributor Indomie di Taiwan," kata Kepala KDEI Taipei Didi Sumedi seperti dilaporkan Antara di Beijing, Tiongkok, pada Jumat, 25 Oktober 2019.

Indomie memang mudah dijumpai di pasar internasional, terutama Cina, Hong Kong, dan Taiwan. Pada bagian luar kemasan Indomie yang beredar di ketiga negara tersebut, terdapat label pengesahan dari otoritas setempat.

Mi Instan dan Kesehatan

Meski telah dinyatakan aman, jika terlalu sering dikonsumsi, mi instan akan berdampak buruk bagi kesehatan. Dalam laporan di Journal of Nutrition, konsumsi mi instan bisa mengakibatkan masalah jantung, terutama pada perempuan. Laporan itu berisi hasil penelitian terhadap 10.700 perempuan berusia 19-64 tahun di Korea Selatan, negara dengan konsumsi mi instan tertinggi di dunia.

Menurut laporan itu, perempuan yang banyak mengkonsumsi mi instan akan mengalami sindrom metabolisme, termasuk risiko obesitas, tekanan darah tinggi, kolesterol, dan gula darah tinggi, serta peningkatan risiko penyakit jantung dan diabetes. “Perempuan yang mengkonsumsi mi instan setidaknya dua kali seminggu memiliki risiko 68 persen lebih tinggi mengalami masalah metabolisme."

Tingginya kandungan sodium pada mi instan dianggap sebagai penyebab utama masalah kesehatan yang timbul. Dalam penelitiannya, Braden Kuo dari Rumah Sakit Umum Massachussets di Universitas Harvard, Amerika Serikat, menyelidiki proses penghancuran mi di dalam lambung. Kuo menggunakan kamera mini untuk memantau proses tersebut. Hasilnya, mi sangat sulit dicerna karena kandungan bahan pengawetnya tinggi.

Namun, menurut Frank Hu, profesor nutrisi Harvard University, para penggemar mi atau ramen instan tidak perlu khawatir tidak bisa menikmati makanan kesukaannya itu karena alasan kesehatan. Dia memberi izin para penggemar mi untuk menyantap makanan favorit mereka, asalkan dalam jumlah yang wajar. “Satu atau dua kali sebulan tak masalah, tapi kalau sering memakannya dalam seminggu, itu yang masalah,” katanya.

KESIMPULAN

Pemeriksaan fakta di atas menunjukkan bahwa narasi tentang Indomie dilarang di Taiwan yang diunggah akun Mo Moy Saifuddin sebagian benar. Video yang melengkapi narasi itu benar merupakan video dari stasiun televisi Taiwan tentang penarikan Indomie. Namun, penarikan itu terjadi pada 2010. Saat ini, Indomie sudah tidak dilarang di Taiwan. Selain itu, meskipun mi instan telah dinyatakan aman, sejumlah peneliti menganjurkan agar mi instan tidak terlalu sering dikonsumsi karena akan berdampak buruk bagi kesehatan.

IKA NINGTYAS

Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cekfakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id