Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

[Fakta atau Hoax] Benarkah Ada Salju atau Embun Es di Kawasan Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah ?

Sabtu, 7 Juli 2018 08:19 WIB

Share the Facts
1
1
7
Tempo rating logo Tempo Penilaian:
Benar
[Fakta atau Hoax] Benarkah Ada Salju atau Embun Es di Kawasan Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah ?
Jumat, 6 Juli, 2018

Kondisi di Dieng, Wonosobo sekarang, mulai membeku. Pernyataan itu dan tiga video yang memuat pemandangan embun menjadi es di sebuah perkebunan di Dieng, menjadi viral di media sosial sejak Jumat pagi, 6 Juli 2018.

Cuplikan video dan foto-foto fenomena bun upas (embun es) di kawasan Dieng, Wonosobo yang beredar pada 6 Juli 2018. Humas Dieng Culture Festival

Video berdurasi tak lebih dari 15 detik itu dibagikan melalui Insta Story akun Dieng Culture Festival, @festivaldieng.

Video pertama merekam hamparan tanaman yang dipenuhi kristal embun. “Musim kemarau telah tiba, sebagian wilayah Dieng sudah membeku,” demikian ditulis akun @festivaldieng.

Cuplikan video dan foto-foto fenomena bun upas (embun es) di kawasan Dieng, Wonosobo yang beredar pada 6 Juli 2018. Humas Dieng Culture Festival

Video kedua menampilkan bunga-bunga es yang telah dikepal seseorang. Kemudian, di video terakhir, perekam menunjukkan es yang menempel di lembaran plastik penutup tanaman. Es itu berbentuk lembaran pipih. Perekam mencoba mengangkatnya dan menunjukkan bahwa fenomena es di Dieng nyata.

Tempo menelpon staf humas Dieng Culture Festival, Aprilianto pada Jumat siang, 6 Juli.

“Benar, video itu diunggah oleh teman kami pagi tadi pukul 06.30 saat mau ke ladang,” ujarnya.

Dieng di Pagi Hari

Warga lokal, kata Aprilianto, menyebut hal itu sebagai fenomena bun upas yang terjadi tiap tahun. Bun upas berarti embun beracun. Namun bukan berarti mengandung zat yang membahayakan.

“Dinamai racun karena bagi tanaman itu bisa mematikan,” katanya.

Bun upas terjadi tiap musim kemarau, mulai Juli hingga Oktober. Saat itu, suhu di Dieng bisa mencapai minus 4 derajat Celsius. “Paling ekstrem minus 4 (derajat Celsius) di Candi Arjuna. Kalau di perkampungan biasanya minus 2 derajat (Celsius),” ucapnya.

Di wilayah Dieng, yang rata-rata berada di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl), suhu terendah dapat dirasakan pada dinihari hingga pagi. Sedangkan bun upas biasanya dapat dilihat saat pagi buta hingga pukul 07.00.

Cuplikan foto-foto fenomena bun upas (embun es) di kawasan Dieng, Wonosobo yang beredar pada 6 Juli 2018. Humas Dieng Culture Festival

Fenomena ini menjadi daya tarik sendiri bagi wisatawan, khususnya saat perhelatan Dieng Culture Festival, yang rutin diselenggarakan tiap Agustus. “Biasanya peserta Dieng Culture Festival datang sekalian ingin melihat embun jadi es,” tutur April.

Namun fenomena tersebut membawa bencana bagi petani kentang di pegunungan Dieng. Pada 2013, sekitar 20 hektare lahan kentang mengalami gagal panen. Seluruh bagian tanaman yang semula menghijau, langsung mati seperti terkena air panas.

Menurut Kepala Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Slamet Budiono, suhu di dalam ruangan bisa mencapai empat derajat Celcius. Sementara di luar ruangan bisa menembus nol derajat Celcius. Akibatnya, tanaman kentang tertutup kristal salju. “Kerugian akibat embun upas itu mencapai ratusan juta,” kata Slamet Budiono pada 14 Agustus 2013.

Sekitar 200 hektare lahan kentang di dataran tinggi Dieng mati akibat embun upas yang terjadi saat puncak musim kemarau, 14 Agustus 2015. TEMPO/Aris Andrianto

Setahun berikutnya, sekitar 50 hektare lahan kentang rusak akibat bun upas. “Biasanya hanya tiga hari masa puncaknya. Itu ditandai dengan tanaman yang mengering seperti terbakar. Biasanya kalau sudah seperti itu, sudah tidak bisa ditanam lagi," kata Wakil Bupati Banjarnegara Jawa Tengah, Hadi Supeno pada 1 September 2014.

Hadi mengemukakan, areal yang biasanya terkena bun upas berada pada dataran di ketinggian sekitar 2.093 meter. Pemerintah tidak mampu menangani persoalan itu, lantaran bun upas adalah fenomena alam yang susah diprediksi.

Hadi berharap warga beralih dari menanam kentang ke tanaman carica yang menjadi ciri khas obyek wisata Dieng. Menurutnya, tanaman kentang selama ini membuat tanah menjadi tandus karena sifatnya yang tidak bisa di tumpang sari dengan tanaman lain. Pemerintah, katanya, kesulitan mengajak petani untuk mengganti tanaman kentang dengan tanaman lain yang tahan terhadap bun upas.

Ternyata fenomena bun upas juga terdapat Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Jawa Timur. Pada Oktober 2014, bunga edelweis di atas lahan 2 hektare di Taman Konservasi, Desa Ranupane, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang rusak.

Petani merawat tanaman di lahan pertaniannya di Ranu Pane, Lumajang, Jawa Timur, 4 Agustus 2017. ANTARA/Zabur Karuru

Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Wilayah II di Kabupaten Lumajang, Achmad Susjoto meminta kepada pendaki Gunung Semeru untuk mewaspadai bun upas. Dia menghimbau kepada pendaki yang akan memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus untuk membekali diri dengan perlengkapan yang standar, seperti pakaian dan jaket yang layak untuk menahan hawa dingin.

Achmad mengatakan fenomena embun upas sudah lumrah di Kabupaten Lumajang. “Biasanya terjadi menjelang musim kemarau dan ketika kemarau datang," kata Achmad kepada Tempo pada 14 Agustus 2014. Pengaruh embun upas ini bagi tumbuhan juga menakutkan. "Sayuran petani langsung mati kalau terkena embun upas," katanya.

FRANCISCA CHRISTY ROSANA | ARIS ANDRIANTO | DAVID PRIYASIDHARTA | UWD

Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cekfakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id