[Fakta atau Hoaks] Benarkah Jokowi Meminta Masyarakat Pakai Mata Uang Yuan Tiongkok?
Jumat, 14 Juni 2019 17:02 WIB
Halaman Kampretopolitico di Facebook membagikan narasi pada 4 Juni 2019 bahwa Presiden RI Joko Widodo meminta masyarakat menggunakan mata uang Tiongkok, Yuan.
Sebuah akun Facebook membagikan potongan video Joko Widodo berpidato tentang penggunaan mata uang yuan sebagai alat tukar.
“Pegimane, Bong? Rupiah ente kagak bakal laku! Negara ente digadai ke China komunis! Belain deh tu junjungan ente! Anak cucu ente bakal jadi kacung China!”
Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang benar, narasi itu menjadi: “Bagaimana, Bong? Rupiah kalian tidak akan laku. Negara kalian dijual ke China komunis. Bela saja junjungan kalian. Anak cucu kalian akan jadi pesuruh orang China!”
Bong adalah kependekan dari cebong, sebutan pendukung Prabowo Subianto kepada para pendukung Joko Widodo.
Narasi di halaman Kampretopolitico itu dilengkapi dengan video pidato Jokowi yang ditayangkan oleh Berita Satu TV. Namun tak ada keterangan kapan Berita Satu TV mempublikasikan video berdurasi 1 menit 23 detik itu.
Hingga 11 Juni 2019, unggahan itu telah dibagikan ulang 3,6 ribu kali dan mendapat komentar 1,2 ribu dari warganet.
PEMERIKSAAN FAKTA
Tempo mencari video asli dalam channel resmi Berita Satu TV di Youtube yang beralamat di https://www.youtube.com/user/BeritaSatu.
Video asli yang berjudul Presiden Pertimbangkan Mata Uang Yuan Jadi Acuan Baru sebenarnya dipublikasikan pada 6 Desember 2016. Video tersebut diambil saat Jokowi menjadi pembicara kunci dalam Sarasehan 100 Ekonom yang digelar Indef, di Jakarta, Selasa 6 Desember 2016.
Pada video asli, durasinya lebih panjang yakni 2 menit 5 detik.
Sedangkan video yang diunggah halaman Kampretopolitico lebih pendek, karena memotong detik ke-18 hingga menit pertama. Sehingga, konteks berita atas pernyataan Jokowi menjadi hilang. Konteks yang dihilangkan itu menjelaskan isi berita yang dibacakan oleh presenter Kevin Egan.
Berita itu awalnya dibuka dengan lead: Presiden Jokowi menyatakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat tidak bisa lagi dijadikan tolak ukur perekonomian Indonesia. Ia meminta masyarakat menggunakan mata uang mitra dagang seperti Yuan Renminbi, Tiongkok.
Berikutnya Kevin Egan membacakan isi berita. Pada bagian inilah yang dihilangkan dalam video yang diunggah di halaman Kampretopolitico:
Presiden Jokowi menilai setelah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat, mata uang berbagai negara, termasuk Indonesia, mengalami pelemahan terhadap dollar Amerika Serikat. Namun hal itu tidak perlu menjadi kekhawatiran besar sebab ekspor Indonesia ke Amerika tidak terlalu signifikan, hanya mencapai 10 persen. Sedangkan ke negara-negara lain lebih besar seperti ke Tiongkok sebesar 15 persen, Eropa 11 persen, dan Jepang yang mencapai 10,4 persen. Jokowi mengatakan, bila Tiongkok negara tujuan ekspor terbesar, maka Renminbi menjadi tolok ukur perekonomian Indonesia yang paling tepat.
Setelah penjelasan isi berita itu, segmen berikutnya adalah pernyataan langsung Jokowi dalam sebuah acara. Dalam pidato itu, Jokowi mengatakan, bahwa kurs yang relevan adalah rupiah melawan mitra dagang, utamanya mitra dagang terbesar Indonesia.
“Kalau mitra dagang kita Tiongkok yang besar, ya kursnya Renminbi yang relevan. Mestinya gitu. Kalau mitra dagang kita Jepang, ya kursnya rupiah-yen,” kata Jokowi.
KONTEKS BERITA
Dengan membaca utuh berita itu, konteks sebenarnya dari pernyataan Jokowi adalah bukan menganjurkan penduduk Indonesia memakai mata uang Yuan Tiongkok. Konteks sebenarnya adalah bagaimana masyarakat juga mengukur nilai tukar rupiah dengan mata uang selain dollar Amerika. Seperti dengan Yuan Renminbi, Tiongkok atau dengan Yen, Jepang, berdasarkan angka ekspor terbesar Indonesia dengan kedua negara itu dibandingkan dengan Amerika Serikat.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) sempat memburuk di awal perdagangan tahun 2016 mendekati level Rp14.000/USD. Namun akhirnya menguat hingga akhir 2016. Bank Indonesia (BI) mencatat nilai tukar rupiah menguat 2,32% selama 2016 terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Tirta Segara, mengatakan tekanan terberat terhadap rupiah datang ketika Donald Trump menjadi Presiden AS. Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian dan menimbulkan gejolak pada pasar keuangan. Meskipun tekanan tersebut cukup cepat mereda.
"Setelah mengalami tekanan pasca pengumuman Pemilu Presiden AS, nilai tukar rupiah menguat di bulan Desember seiring dengan aliran modal yang kembali masuk. Secara point to point, rupiah terapresiasi 0,59% (mtm) menjadi Rp 13.473/US$," paparnya.
Di samping itu juga ada aliran dana yang masuk pasca penerbitan Surat Utang Negara (SUN) oleh pemerintah. Tirta menuturkan, BI akan tetap waspadai berbagai risiko ke depan. Terutama yang bersumber dari eksternal.
KESIMPULAN
Video yang dibagikan oleh halaman Kampretopolitico di Facebook adalah video hasil suntingan yang menghilangkan isi berita yang utuh. Video suntingan itu kemudian diberi narasi yang salah. Apalagi pidato dalam video itu terjadi pada 2016, sehingga Tempo menyimpulkan unggahan tersebut seluruhnya tidak akurat.
IKA NINGTYAS