Belum Ada Bukti, Video yang Diklaim Seorang Anak yang Sembuh dari Efek Samping Vaksin Covid-19 Setelah Didetoksifikasi

Sabtu, 22 Juni 2024 10:04 WIB

Belum Ada Bukti, Video yang Diklaim Seorang Anak yang Sembuh dari Efek Samping Vaksin Covid-19 Setelah Didetoksifikasi

Sebuah video beredar di Facebook [Arsip] yang diklaim sebagai proses detoksifikasi menyembuhkan seorang anak laki-laki yang mengalami sejumlah efek samping vaksin Covid-19. 

Video itu memperlihatkan seorang anak laki-laki dengan kelainan pada kulit yang tampak memutih dan pecah-pecah. Kelainan itu tak hanya terjadi di wajah, namun juga pada badan, tangan dan kakinya. Setelah menjalani detoksifikasi, diklaim anak dalam video tersebut sembuh.

Namun, benarkah video itu memperlihatkan anak laki-laki yang terkena efek samping vaksin Covid-19 dan berhasil didetoksifikasi?

PEMERIKSAAN FAKTA

Tempo memverifikasi video itu dengan membandingkan foto anak laki-laki tersebut, yang diklaim saat mengalami efek samping vaksin Covid-19 dan saat sembuh setelah menjalani detoksifikasi.

Namun, secara visual kedua foto memperlihatkan ciri fisik anak laki-laki yang berbeda. Misalnya anak laki-laki dalam gambar di samping kanan dan kiri memperlihatkan dia berambut lurus, sementara dalam gambar tengah keriting atau ikal.

Ketua Yayasan Korban Vaksin/Imunisasi alias Yayasan Peduli Al Farizqi Bandung, Seliawati Rahardjo, mengatakan anak laki-laki tersebut bernama Ajis yang menerima vaksin dosis pertama tanggal 24 September 2021.

Namun dia tak menjawab jenis vaksin apa yang diterima Ajis. Dia juga mengatakan kondisi fisik sempat berubah drastis setelah Ajis menjalani detoksifikasi. 

Sementara Pakar Penyakit Anak Universitas Airlangga (Unair) Dr Dominicus Husada dr DTM&H, MCTM(TP) SpA(K), menjelaskan bahwa pemeriksaan kesehatan dan diagnosa untuk mengetahui penyakit anak tersebut membutuhkan pemeriksaan medis lebih lanjut. 

“Secara umum vaksin Covid-19 tidak berkaitan dengan penyakit kulit. Untuk memastikan anak tersebut perlu diperiksa lebih lanjut oleh dokter kulit. Ada cukup banyak penyakit kulit yang bisa memberikan gambaran (gejala) seperti itu,” kata Dominicus melalui pesan, Selasa, 18 Juni 2024.

Selain itu, pemeriksaan fakta oleh Tempo sebelumnya telah menyimpulkan bahwa narasi detoksifikasi pada orang yang telah divaksin Covid-19 tidak berbasis studi ilmiah. Menurut epidemiolog dan peneliti Indonesia dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman.

Dia mengatakan tidak ada istilah detoksifikasi vaksin dalam medis maupun kajian ilmiah. Konsep detoksifikasi  kerap diedarkan oleh kalangan anti-vaksin atau penganut teori konspirasi. “Itu sama sekali tidak benar dan tidak ada rujukan ilmiahnya,” kata Dicky kepada Tempo melalui pesan suara, Kamis, 23 Mei 2024.

Dia mengatakan, milyaran orang di seluruh dunia telah divaksinasi Covid-19 dan tetap mampu berkegiatan secara normal. Hal ini menunjukkan pembuatan vaksin tidak bertujuan untuk menyakiti atau membunuh umat manusia.

Efek samping vaksin, kata dia, dialami oleh sejumlah orang namun kejadian tersebut sangat jarang. Vaksinasi Covid-19 tetap memberikan manfaat yang lebih besar untuk melawan pandemi Covid-19.

“Ini yang membuktikan bahwa vaksin bekerja efektif dan aman. Jadi detoks vaksin itu tidak ada. Ketika itu ada yang mengklaim (mengaku bisa melakukannya), itu cenderung berbahaya karena memakai bahan-bahan yang iritatif,” kata Dicky. 

Vaksin Covid-19 dan Sakit Kulit

Lebih lanjut Pakar Penyakit Anak dari Universitas Airlangga, Dominicus menjelaskan bahwa pada umumnya vaksin Covid-19 tidak berkaitan dengan penyakit kulit. Sehingga klaim bahwa vaksin Covd-19 menyebabkan perubahan pada kulit, membutuhkan pemeriksaan medis yang cukup untuk mengetahui kondisi sesungguhnya.

Penerima vaksin Covid-19 baik di luar negeri maupun di Indonesia memang dilaporkan mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) pada kulitnya. Salah satunya pria asal Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut), Rahma Dani, sebagaimana diberitakan Detik.com.

Saat screening sebelum vaksinasi, Dani sudah mengatakan terdapat dua benjolan yang sering memunculkan rasa gatal di tubuhnya. Setelah tiga hari vaksinasi, benjolan itu semakin besar dan muncul luka-luka di tubuhnya.

Luka yang ada di tubuhnya mirip luka bakar dan terasa panas serta gatal. Anggota Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan Covid-19 Provinsi Sumut, Restuti Hidayani Saragih, menyatakan bahwa kejadian tersebut termasuk KIPI.

Di Kanada hal serupa juga terjadi pada pria bernama Muhammad Tisir Otahbachi (29), seperti dilaporkan CBC, 9 Januari 2023. Namun, sayangnya kasus KIPI di kedua negara, Indonesia dan Kanada, sama-sama tak tertangani dengan baik oleh pemerintah.

Dilansir Tempo, sejumlah korban KIPI di Indonesia telah berusaha menghubungi Komnas KIPI untuk mencari kepastian kondisi kesehatan dan meminta pertanggungjawaban. Namun, investigasi kasusnya berbelit dan pemerintah belum memiliki aturan terkait kompensasinya.

Dokter spesialis kulit dan kelamin, dr. Wang Suryany, Sp. KK mengatakan efek vaksin pada kulit kemungkinan merupakan Bullous Drug Eruption, atau reaksi alergi obat yang menimbulkan timbul ruam-ruam merah dan terbentuk bulla atau gelembung berisi cairan, sebagaimana diberitakan Kompas.com.

Bisa juga efek yang demikian termasuk KIPI. Namun, perlu pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter kulit untuk memastikannya. Ia menjelaskan bila efek tersebut termasuk Bullous Drug Eruption, maka akan dapat diobati sampai sembuh seratus persen.

KESIMPULAN

Verifikasi Tempo menyimpulkan narasi yang menyatakan video yang beredar memperlihatkan anak laki-laki yang mengalami KIPI vaksin Covid-19 dan kemudian berhasil didetoksifikasi adalah klaim yang belum ada bukti.

Sakit anak tersebut karena KIPI vaksin Covid-19 atau bukan masih belum ada bukti untuk menyimpulkannya. Namun istilah detoksifikasi vaksin tak ada di bidang medis, karena vaksin yang disuntikkan bukanlah racun, melainkan membantu membentuk kekebalan tubuh terhadap virus.

TIM CEK FAKTA TEMPO

** Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected]