Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keliru, Klaim soal Pendidikan Tinggi adalah Tersier dan Tidak Wajib

Jumat, 14 Juni 2024 23:38 WIB

Keliru, Klaim soal Pendidikan Tinggi adalah Tersier dan Tidak Wajib

Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Prof. Tjitjik Tjahjandarie menyebutkan bahwa pendidikan tinggi bukanlah wajib belajar sehingga pemerintah memerlukan bantuan dari masyarakat dalam bentuk dana. 

“Tetapi dari sisi yang lain, kita bisa melihat bahwa pendidikan ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar. Maka pendanaan pemerintah lebih difokuskan untuk membantu program pendidikan wajib belajar sembilan tahun. Pemerintah masih memerlukan bantuan dana untuk bergotong royong memajukan Indonesia melalui penghasilan sumber daya manusia unggul dari perguruan tinggi. Mau tidak mau diperlukan peran serta masyarakat," ujarnya di Kantor Kemendikbud Ristek, Jakarta Selatan, pada 15 Mei 2024.

Benarkah klaim pejabat Kemendikbudristek soal pendidikan tinggi tidak wajib bagi masyarakat?

PEMERIKSAAN KLAIM

Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi, Universitas Negeri Yogyakarta, Nur Azizah mengingatkan perbedaan kata tersier yang disebutkan Prof. Tjitjik yang mengikuti kata “pendidikan” dengan kata tersier yang mengikuti kata “kebutuhan”. Ia menilai, istilah tertiary education memiliki makna yang berbeda dengan tertiary needs (kebutuhan tersier).

Kata ‘tertiary’ pada ‘education’ bermakna education at the college or university level (pendidikan pada tingkat perguruan tinggi atau universitas), sedangkan ‘tertiary needs’ bermakna fulfilling luxury goods with the aim of fulfilling personal pleasure (pemenuhan barang mewah dengan tujuan memenuhi kesenangan pribadi).

“Dalam hierarki pendidikan di Indonesia, pendidikan tinggi memang merupakan jenjang paling tinggi. Tapi pendidikan tersier tidak sama artinya dengan pendidikan mewah. Sebaliknya, kebutuhan tersier tidak bisa dikaitkan dengan pendidikan tinggi,” ujar Nur.

Sementara itu, Dosen Ilmu Pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Parepare, Andi Hasdiansyah menyoroti istilah Prof Tjitjik bahwa pendidikan tinggi adalah tertiary education, tidak pas. “Sampai saat ini, tidak ada aturan terkait status pendidikan tinggi sebagai tertiary education,” tegasnya. 

Bahkan, Abdul Fikri Faqih, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia adalah kebutuhan publik. Alasannya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus hadir dan harus banyak.

Andi menegaskan, meletakkan pendidikan tinggi dalam posisi tersier adalah salah kaprah mengingat bahwa salah satu tujuan negara ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. “Jika negara hanya bertanggung jawab hingga 13 tahun (setara SD sampai SMP), maka bagaimana kita menghadapi tantangan dan perubahan ke depan?” tanyanya.

Dilansir Tempo, pernyataan Prof Tjitjik soal pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier semakin menegaskan pemerintah lepas tangan dalam soal pembiayaan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) pun menilai, jangankan pendidikan tinggi yang tersier. Pembiayaan pendidikan dasar dan menengah juga masih belum optimal. Buktinya, pembiayaan pendidikan dasar dan menengah hanya dilakukan dengan skema bantuan (BOS), bukan pembiayaan penuh. Akibatnya, ditemukan jumlah anak tidak sekolah (ATS) yang masih menggunung.

Koordinator Nasional, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, faktor utama penyebab ATS soal ekonomi atau kemampuan untuk membayar biaya sekolah. Berdasarkan data BPS 2023, ATS masih ditemukan di tiap jenjang, dengan rincian SD (0,67 persen), SMP (6,93 persen), dan SMA/SMK (21,61 persen). 

Sedangkan di perguruan tinggi, berdasarkan data BPS pada Maret 2023, hanya ada 10,15 persen penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang sudah menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Akses yang masih sangat kecil ini karena biaya yang mahal. Ini akan semakin memperparah situasi jika pemerintah menganggap pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier.

KESIMPULAN

Pernyataan Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Prof. Tjitjik Tjahjandarie bahwa pendidikan tinggi merupakan tertiary education dan bukan wajib belajar sehingga pemerintah memerlukan bantuan dari masyarakat dalam bentuk dana, adalah keliru.

Istilah tertiary education memiliki makna yang berbeda dengan tertiary needs (kebutuhan tersier). Meletakkan pendidikan tinggi dalam posisi tersier adalah salah kaprah mengingat bahwa salah satu tujuan negara ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Faktanya, berdasarkan data BPS pada Maret 2023, hanya ada 10,15 persen penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang sudah menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Akses yang masih sangat kecil ini dikarenakan biaya yang mahal.

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI)