Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

[Fakta atau Hoax] Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais menyebut 74 persen tanah di Indonesia dikuasai segelintir orang.

Jumat, 30 Maret 2018 12:43 WIB

[Fakta atau Hoax] Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais menyebut 74 persen tanah di Indonesia dikuasai segelintir orang.

Pernyataan Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais disampaikan pada diskusi 'Bandung Informal Meeting' yang digelar di Hotel Savoy Homman, Jalan Asia Afrika, Bandung, Minggu 18 Maret 2018.

Menurut ekonom Drajad Wibowo, yang juga mantan Wakil Ketua Umum PAN, pernyataan Amien berasal dari riset yang dilakukan Megawati Institute, lembaga riset yang berafiliasi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada Desember 2017. 

Hasil riset itu menunjukkan bahwa 40 orang terkaya di Indonesia menguasai aset yang setara dengan hampir 600 ribu kali lipat aset yang dimiliki oleh rata-rata orang biasa. Analisa itu menggunakan konsep Material Power Index (MPI) yang dikembangkan oleh ekonom Jeffrey Winters (2013).

Selain itu, riset Megawati Institute juga menunjukkan perkembangan Rasio Gini Lahan atau ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia pada 1973 sampai 2013. Pada 2003, rasio gini mencapai angka tertinggi yakni 0,72 dan turun sedikit pada 2013 dengan rasio 0,68. "Dari data ini terlihat ketimpangan lahan tertinggi terjadi pada 2003," kata Drajad. Menurut Drajad, rasio gini itu bisa diterjemahkan sebagai 1 persen penduduk Indonesia menguasai 74 persen lahan.

REFERENSI: Riset Megawati Institute soal Oligarki Ekonomi di Indonesia 

Riset lain yang menunjukkan ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia diadakan oleh Oxfam dan International NGO Forum on Indonesia Development atau INFID. Laporan tentang ketimpangan di Indonesia itu diterbitkan pada Kamis, 23 Februari 2017, berjudul “Menuju Indonesia yang Lebih Setara”.

Menurut Oxfam dan INFID, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup stabil dan proporsi masyarakat yang hidup dalam kemiskinan ekstrem telah berkurang hingga di kisaran 8 persen. Namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu belum diimbangi pendapatan yang lebih merata.

"Dalam 20 tahun terakhir, kesenjangan antara kaum superkaya dan penduduk lainnya di Indonesia tumbuh lebih cepat dibanding di negara-negara lain di Asia Tenggara,” ujar Direktur INFID Sugeng Bahagijo.

Selain itu, dalam laporan disebutkan bahwa Indonesia memiliki tingkat ketimpangan yang terburuk keenam di dunia. Kekayaan empat orang terkaya di Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. 

Reaksi pemerintah atas laporan Oxfam dan INFID bisa dibaca di sini. 

REFERENSI: Riset Oxfam soal ketimpangan sosial ekonomi di Indonesia. 

Soal ketimpangan penguasaan lahan, Oxfam mengutip laporan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia pada 2015 yang menyebutkan telah terjadi konsentrasi kepemilikan lahan di tangan sekelompok korporasi besar di Indonesia.

Rata-rata petani kecil hanya menguasai seperempat hektar lahan, yang hampir tak mampu memenuhi kebutuhan pangan untuk kebutuhan keluarga mereka sendiri. Sebaliknya, ada sebanyak 25 grup perusahaan kelapa sawit yang menguasai lahan seluas 5,1 juta hektare atau hampir setengah Pulau Jawa yang luasnya 128.297 kilometer persegi.

Dari 5,1 juta hektare (51.000 kilometer persegi), sebanyak 3,1 juta hektare telah ditanami sawit dan sisanya belum ditanami. Luas perkebunan sawit di Indonesia saat ini sekitar 10 juta hektare.

“Kelompok perusahaan itu dikendalikan 29 taipan yang perusahaan induknya terdaftar di bursa efek, baik di Indonesia dan luar negeri,” kata Direktur Program Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Rahmawati Retno Winarni, Jumat, 13 Februari 2015.

Penelitian yang dilakukan sejak tahun lalu itu mendapatkan data bahwa kekayaan total mereka pada 2013 sebesar US$ 71,5 miliar atau Rp 922,3 triliun. Angka konservatif ini diperoleh dari kajian yang dibuat Forbes dan Jakarta Globe. Sebagian besar kekayaan tersebut didapat dari bisnis perkebunan sawit, dan beberapa bisnis lainnya.

Tentu saja, ketimpangan pendapatan dan penguasaan sumber daya ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Banyak studi yang menunjukkan fenomena serupa di negara lain. Tingginya ketimpangan sosial ekonomi di berbagai negara ini menjadi sorotan terkait dengan ratifikasi rencana pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/ SDG) 2030 oleh Perserikatan Bangsa Bangsa. 

Oxfam Internasional menilai saat ini terjadi pemusatan kekayaan di dunia. Ada 50 persen sumber daya alam yang dikuasai oleh kelompok orang kaya yang jumlahnya hanya 1 persen dari sekitar 8,5 miliar jumlah penduduk dunia.

Riset independen lain dari Tenggara Strategics, lembaga penelitian bisnis dan investasi yang dikembangkan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Harian The Jakarta Post dan Universitas Prasetiya Mulya menemukan hal serupa. Riset lembaga ini tahun lalu menemukan bahwa hanya ada 530 pemegang konsesi lahan yang menguasai 36 juta hektar tanah di seluruh Indonesia. 

Riset lain menunjukkan bagaimana ketimpangan penguasaan lahan bisa berakibat pada kesenjangan tingkat ekonomi masyarakat. Beberapa peneliti menemukan bahwa distribusi kepemilikan lahan yang timpang akan menghambat kinerja lembaga yang bisa mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia seperti sekolah dan lembaga pendidikan lain. Akibatnya, kesenjangan sosial ekonomi akan terus menerus terjadi. 

Presiden Joko Widodo menyadari kondisi ini dan berencana membagikan 9 juta hektare lahan dalam proyek reformasi agraria sampai 2019.

Program tersebut terbagi dalam dua kegiatan, yaitu legalisasi dan redistribusi aset yang masing-masing ditargetkan 4,5 juga hektare sampai 2019. Legalisasi aset berupa penerbitan sertifikat tanah secara gratis atas tanah yang dikuasai masyarakat serta legalisasi lahan-lahan transmigrasi di luar kawasan hutan. Sedangkan redistribusi berupa pembagian tanah telantar milik perusahaan atau bekas hak guna usaha, atau hak penguasaan hutan yang sudah habis kepada masyarakat.

Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Djalil, legalisasi tanah direalisasikan lewat kebijakan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang didanai dari anggaran Program Operasi Nasional Agraria (Prona). Agenda Prona ini ada sejak 1981, yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. 

Sofyan mengatakan sasaran penerbitan sertifikat tanah adalah masyarakat kecil dengan luas lahan 50 meter persegi sampai 10 hektare. “Sebelum Jokowi memimpin, pengurusan sertifikat tanah ini bisa memakan waktu tahunan,” katanya.

Jalannya program ini memang agak tersendat. Kantor Staf Kepresidenan mencatat, per 31 Desember 2017 realisasi legislasi aset baru 6,4 juta bidang tanah dengan luas 2 juta hektare, dan redistribusi aset baru 949 ribu hektare. Selain itu, data Kementerian Lingkungan Hidup per 31 Desember 2017 menunjukkan realisasi perhutanan sosial baru satu juta hektare dari target 12,7 juta hektare.  

1. Legalisasi AsetMenerbitkan sertifikat atas tanah yang dikuasai masyarakat dan lahan transmigrasi.

Target: 4,5 juta hektareRealisasi: 6.403.759 bidang seluas 2.013.526 hektare.

2. Redistribusi AsetMembagikan tanah terlantar, serta bekas hak guna usaha dan hak penguasaan hutan yang habis, kepada masyarakat.

Target: 4,5 juta hektare.Realisasi: 949.849 hektare

3. Perhutanan SosialPemberian izin pengelolaan kawasan hutan kepada masyarakat sekitar hutan selama 35 tahun yang bisa diperpanjang 35 tahun lagi.

Target : 12,7 juta hektareRealisasi: 1.058.232 hektare[Sumber: Majalah Tempo edisi 2 April 2018] 

Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cekfakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id