Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keliru, Klaim bahwa Pemberantasan Demam Berdarah Menggunakan Metode Wolbachia adalah Rekayasa Genetika

Kamis, 30 November 2023 12:08 WIB

Keliru, Klaim bahwa Pemberantasan Demam Berdarah Menggunakan Metode Wolbachia adalah Rekayasa Genetika

Sebuah video beredar di WhatsApp, Twitter X dan Facebook [arsip], memperlihatkan mantan Menteri Kesehatan RI, Siti Fadilah Supari, yang memaparkan program pengendalian demam berdarah dengue (DBD) dengan metode Wolbachia. Dia mengklaim bahwa pengendalian DBD dengan metode Wolbachia termasuk praktik rekayasa genetika. 

Siti juga mengatakan dirinya tak tahu apa dampak jangka panjang penerapan metode tersebut. “Ibu apa sudah tahu efek jangka panjangnya? Saya jawab belum. Karena setiap penelitian dengan nyenggol-nyenggol gen, nyenggol-nyenggol genetik, itu (dampak) error-nya tidak bisa kita ketahui sekarang juga,” demikian potongan kalimat Siti.

Namun, benarkah pengendalian DBD menggunakan metode Wolbachia termasuk praktik rekayasa genetika?

PEMERIKSAAN FAKTA

Sejumlah negara telah menyatakan metode Wolbachia aman. Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC) mengatakan bahwa nyamuk dengan Wolbachia tidak dimodifikasi secara genetis. Selain itu, bakteri Wolbachia tidak dapat membuat manusia atau hewan (misalnya ikan, burung, dan hewan peliharaan) sakit.

Situs World Mosquito Program (WMP), yang menjadi rujukan pemberantasan DBD dengan metode Wolbachia, menyatakan bahwa metode tersebut tidak mengubah genetika nyamuk, sehingga tidak termasuk rekayasa genetika.

Risiko dari penerapan metode itu telah tiga kali diperiksa oleh pemeriksa independen. Hasilnya risiko yang ada layak diabaikan, dengan kata lain metode tersebut tidak berbahaya pada manusia, hewan dan lingkungan. Selain itu, penerapan metode tersebut di berbagai negara terus dipantau.

Reuters menjelaskan, ada upaya pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dengan metode rekayasa genetika yang dikembang sebuah perusahaan bioteknologi Oxitec. Nyamuk yang mereka hasilkan telah dilepas di Brasil, Kepulauan Cayman, dan Panama.

Mereka membuat nyamuk Aedes aegypti jantan yang mengurangi kemampuan perkembangbiakan populasi. Metode itu berbeda dengan Wolbachia yang bertujuan memberantas virus dalam tubuh nyamuk, tanpa mempengaruhi tingkat perkembangbiakannya.

Sebuah penelitian “A Review: Wolbachia-Based Population Replacement for Mosquito Control Shares Common Points with Genetically Modified Control Approaches” yang diterbitkan Patogens, 22 Mei 2020 berisi tinjauan tentang pelaksanaan metode Wolbachia.

Jurnal itu membandingkan hasil penerapan metode Wolbachia yang alami dengan cara lainnya. Misalnya metode wolbachia dianggap lebih baik dari pemakaian insektisida yang bisa meningkatkan resistensi serangga terhadap insektisida itu sendiri.

Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa metode Wolbachia lebih baik dari rekayasa genetika dalam memberantas penyakit-penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Lantaran metode Wolbachia lebih alami dan ramah lingkungan. Jurnal menyarankan agar penerapan metode Wolbachia terus dipantau dengan cermat.

Dilansir dari publikasi Kemenkes, Peneliti UGM Profesor Adi Utarini menyatakan metode Wolbachia tidak termasuk rekayasa genetika. Profesor Uut, panggilannya, telah terlibat dalam penerapan metode Wolbachia di Yogyakarta sejak 2011, bersama WMP.

Metode tersebut menggunakan bakteri Wolbachia yang memang telah ada di sekitar 50 persen jenis serangga di dunia, termasuk nyamuk. Wolbachia terbukti mampu menekan virus DBD dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti, tanpa merugikan inangnya.

Aedes aegypti yang bisa menularkan virus DBD, Chikungunya, dan Zika, secara alami tidak memiliki bakteri Wolbachia. Metode ini memasukkan bakteri itu pada telur nyamuk Aedes aegypti, yang kemudian dibagikan kepada masyarakat dalam wadah ember. 

Bakteri Wolbachia akan bekerja dengan sendirinya menelan virus dalam tubuh nyamuk, sehingga mengurangi bahaya bagi manusia. Nyamuk itu juga akan berkembang biak menghasilkan nyamuk baru yang telah memiliki Wolbachia.

“Bakteri Wolbachia maupun nyamuk sebagai inangnya bukanlah organisme hasil dari modifikasi genetik yang dilakukan di laboratorium. Secara materi genetik, baik dari nyamuk maupun bakteri Wolbachia yang digunakan (dalam metode ini), identik dengan organisme yang ditemukan di alam,” kata Profesor Uut.

Cara Kerja Wolbachia

Dilansir laman resmi UGM, Founder dan Direktur WMP Global, Professor Scott O’Neill menemukan metode Wolbachia pada 2008, setelah ribuan kali percobaan. Dia mengambil bakteri Wolbachia dari lalat buah dan memasukkannya ke telur nyamuk Aedes aegypti.

Cara yang sama telah diterapkan di Indonesia, Australia, dan Singapura, yang kemudian terus diadopsi negara-negara lain, sebagaimana dilaporkan Tempo. Pada umumnya, program itu dilakukan dengan melepaskan nyamuk Aedes aegypti yang telah memiliki bakteri Wolbachia ke pemukiman warga.

Bakteri tersebut akan menghambat perkembangan DBD dalam tubuh nyamuk. Sehingga, ketika nyamuk tersebut menggigit manusia, tidak akan menularkan DBD. Wolbachia itu juga akan otomatis masuk ke dalam tubuh nyamuk-nyamuk turunannya.

KESIMPULAN

Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang mengatakan pemberantasan demam berdarah menggunakan metode Wolbachia merupakan rekayasa genetika adalah keliru.

Metode itu dilakukan dengan cara menyuntikkan bakteri Wolbachia ke telur nyamuk Aedes aegypti. Sementara rekayasa genetika adalah memotong dua atau lebih DNA untuk digabungkan dan dimasukkan ke tubuh inangnya.

TIM CEK FAKTA TEMPO

** Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id