Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keliru, Pemberantasan Demam Berdarah Dengue dengan Metode Wolbachia adalah Upaya Genosida

Rabu, 22 November 2023 22:44 WIB

Keliru, Pemberantasan Demam Berdarah Dengue dengan Metode Wolbachia adalah Upaya Genosida

Sebuah video beredar di WhatsApp dan Facebook [arsip] yang disertai klaim bahwa program pemberantasan demam berdarah dengue (DBD) dengan metode Wolbachia adalah upaya genosida. Narasi itu disertai video yang menampilkan seorang pria yang disebut bernama Prof Richard Claproth. 

Pria itu mengatakan pengendalian demam berdarah dengan metode Wolbachia di Bali adalah bagian dari upaya depopulasi manusia. Dia mengklaim program tersebut akan menimbulkan berbagai penyakit, sementara vaksinnya baru akan tersedia tahun 2025, sehingga banyak orang akan menjadi korban.

Sementara narasi yang beredar di WhatsApp berbunyi sebagai berikut: “Negara Sedang Genting, Kita Punya Waktu Hingga 1 Desember. Sebarkan Agar Rakyat Menolak Nyamuk² Import yg di Sebarkan Di Negri Kita. TNI & POLRI yg pro rakyat wajib mengambil langkah2 gerak cepat menangkap / menembak mati semua yg terlibat dlm program genocide ini, tanpa pandang bulu.”

Benarkah program pengendalian nyamuk dengan metode Wolbachia merupakan upaya genosida?

PEMERIKSAAN FAKTA

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menjelaskan Wolbachia adalah bakteri simbiosis yang terjadi secara alami pada banyak serangga. Meskipun Wolbachia tidak ditemukan secara alami pada aedes aegypti, namun telah berhasil ditransfer ke dalam jenis nyamuk tersebut dan terbukti mengurangi penularan berbagai virus termasuk demam berdarah, Zika, chikungunya, dan demam kuning. 

Sejumlah negara telah menyatakan metode Wolbachia aman. Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC) mengatakan bahwa nyamuk dengan Wolbachia tidak dimodifikasi secara genetis. Selain itu, bakteri Wolbachia tidak dapat membuat manusia atau hewan (misalnya ikan, burung, hewan peliharaan) sakit.

Lalu bagaimana nyamuk dengan bakteri Wolbachia dapat mengendalikan nyamuk Aedes aegypti? 

Prinsipnya, hanya nyamuk Aedes aegypti betina yang menggigit karena mereka membutuhkan makanan berupa darah untuk menghasilkan telur. Sementara nyamuk jantan tidak menggigit. Mereka memakan nektar dari bunga.

Para peneliti mengintroduksi Wolbachia ke telur nyamuk Aedes aegypti. Ketika nyamuk Aedes aegypti yang mengandung Wolbachia kawin dengan nyamuk betina liar yang tidak mengandung Wolbachia, maka telur yang dihasilkan tidak akan menetas.

Intervensi yang dilakukan lebih luas adalah dengan melepaskan nyamuk jantan yang mengandung Wolbachia secara teratur ke suatu area untuk mengendalikan nyamuk.

Dengan pelepasan itu, nyamuk jantan ber-Wolbachia akan kawin dengan nyamuk betina liar, sehingga telurnya tidak dapat menetas. Dalam jangka berikutnya, jumlah nyamuk Aedes aegypti akan berkurang.

Di Amerika Serikat, intervensi dengan Wolbachia dilakukan di Texas dan California. Komunitas di sana telah melepaskan nyamuk ber-Wolbachia melaporkan adanya penurunan jumlah nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ber-Wolbachia juga telah berhasil digunakan di Singapura, Thailand, Meksiko, dan Australia. Puerto Riko melepaskan nyamuk dengan Wolbachia di Ponce.

Pengalaman di Indonesia

Dilansir dari laman Universitas Gadjah Mada (UGM), penerapan metode Wolbachia untuk memberantas DBD telah dilakukan di sejumlah lokasi permukiman warga di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sejak tahun 2011.

Proyek penelitian itu bernama World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta, yang dilaksanakan atas kolaborasi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Monash University Australia dan Yayasan Tahija Jakarta.

Pelaksanaannya melalui beberapa tahap, yakni fase kelayakan dan keamanan (2011-2012), fase pelepasan skala terbatas (2013-2015), fase pelepasan skala luas (2016-2020), dan fase implementasi (2021-2022).

Peneliti Pusat Kedokteran Tropis UGM yang juga terlibat dalam WMP Yogyakarta, Riris Andono Ahmad, mengatakan Kemenristekdikti dan Balitbangkes dari Kemenkes telah membentuk tim independen untuk menganalisis risiko program itu. Tim beranggotakan 20 orang dari berbagai kepakaran.

Hasil analisis tersebut mengatakan bahwa penerapan metode Wolbachia memiliki tingkat risiko yang rendah terhadap manusia. Bakteri Wolbachia juga tidak menular ke manusia, maupun menyebabkan sakit.

“Kesimpulan mereka bahwa pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia masuk pada risiko sangat rendah, di mana dalam 30 tahun ke depan, peluang peningkatan bahaya dapat diabaikan (karena risikonya rendah),” kata Riris.

Program tersebut telah dilaksanakan bertahap selama 12 tahun dan dinyatakan tidak berbahaya. Analisa risiko oleh tim independen lintas kepakaran menyimpulkan bahwa metode tersebut memiliki tingkat risiko sangat rendah dan tidak perlu dikhawatirkan sampai 30 tahun mendatang.

Dilansir Tempo, 17 November 2023, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan penggunaan metode Wolbachia untuk menekan kasus DBD tidak berpotensi menimbulkan penyakit baru.

"Wolbachia tidak menimbulkan penyakit baru yang berbahaya bagi kesehatan, sudah ada penelitian dan kajian risiko," kata Nadia.

Pelaksanaan program WMP di Yogyakarta selama 12 tahun tidak dilaporkan berbahaya atau menelan korban. Selain itu, jumlah penduduk faktual di provinsi DIY tempat pelaksanaan program itu, sejak tahun 2010 sampai 2019 terus bertambah, seperti yang dilansir Pemerintah Provinsi DIY

KESIMPULAN

Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa klaim yang mengatakan program pemberantasan DBD menggunakan metode Wolbachia merupakan upaya genosida adalah keliru.

Program tersebut menargetkan pemberantasan virus DBD dan mengurangi serangan penyakit pada masyarakat. Program telah dijalankan sejak 2011 di Yogyakarta dan berhasil mengurangi kasus DBD, serta terbukti tidak menimbulkan bahaya dan penyakit baru.

TIM CEK FAKTA TEMPO

** Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id