Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menyesatkan, Klaim bahwa LGBT adalah Penyakit Menular

Kamis, 24 Agustus 2023 14:06 WIB

Menyesatkan, Klaim bahwa LGBT adalah Penyakit Menular

Sejumlah unggahan di Facebook memuat klaim bahwa LGBT adalah penyakit menular, seperti dalam tautan ini, ini dan ini. Salah satu akun misalnya menulis, “LGBT itu penyimpangan, penyakit menular”. Sementara akun lainnya membagikan klaim, “Perilaku LGBT ini selain berbahaya bagi diri mereka sendiri selain dosa pastinya yaitu terjangkiti penyakit yang mematikan dan menular. Juga berbahaya bagi kehidupan kita bermasyarakat.”

Akun lainnya juga mengatakan, “LGBT sudah ada dimana-mana. Ia penyakit dan menular. Maka berobat dan berdoalah untuk mendapat petunjuk Tuhan. Ihhh...ngeri!.”

Benarkah LGBT adalah penyakit? Dalam artikel ini, Cek Fakta Tempo akan memverifikasi klaim LGBT sebagai penyakit menular berdasarkan tinjauan sains atau ilmu pengetahuan. 

PEMERIKSAAN FAKTA 

Hasil penelusuran Tempo dari sumber kredibel, LGBT sudah tidak lagi dianggap dan diklasifikasi sebagai penyakit mental atau gangguan jiwa.  Lembaga kesehatan dunia (WHO) pada musyawarah Majelis Kesehatan Dunia yang ke-43 tahun 1990 telah menghapus LGBT dalam daftar klasifikasi penyakit atau tidak lagi dimasukan dalam daftar International Classification of Diseases (ICD). 

Hal tersebut dilakukan lantaran WHO memandang secara eksplisit bahwa LGBT merupakan “orientasi seksual” yang dengan sendirinya tidak dianggap sebagai gangguan mental.

Jauh sebelum WHO, American Psychiatric Association (APA) dalam laporannya yang berjudul Appropriate Therapeutic Responses to Sexual Orientation mengatakan orientasi lesbian, gay, dan biseksual bukanlah gangguan atau penyakit mental. 

Pada pertengahan tahun 1970-an, berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang muncul, homoseksualitas bukanlah gangguan penyakit mental melainkan sebuah orientasi seksualitas seseorang. Penelitian tidak menemukan adanya hubungan yang melekat antara orientasi seksual dan psikopatologi. 

Perilaku heteroseksual dan perilaku homoseksual adalah aspek normal dari seksualitas manusia, menurut riset tersebut. Direktur Asosiasi Psikologi Amerika, Saul M Levin, seperti dikutip dari BBC Indonesia, mengkategorikan homoseksualitas sebagai masalah kejiwaan merupakan pelabelan yang salah dan telah dibantah oleh sejumlah bukti-bukti ilmiah. Orientasi seksual selain memiliki komponen biologis yang kuat, hal itu juga bisa dipengaruhi interaksi genetik, hormon, dan faktor-faktor lingkungan. 

“Singkatnya, tidak ada bukti saintifik bahwa orientasi seksual merupakan gangguan mental. Karena itu, upaya untuk mengubah orientasi seksual seseorang melalui ‘terapi konversi’ bisa membahayakan,” tulis artikel tersebut.

Dilansir dari dandc.eu situs berita yang berbasis di Jerman, ada sejumlah bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa menjadi LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseksual) sepenuhnya merupakan kehidupan normal dan sehat. Literatur klinis menunjukkan bahwa ketertarikan, perasaan, dan perilaku seksual dan romantis sesama jenis itu bukanlah merupakan gangguan mental, melainkan merupakan variasi seksualitas manusia. 

Jack Drescher dalam jurnalnya yang berjudul Out of DSM: Depathologizing Homosexuality menyatakan argumen ilmiah yang menjadi dasar penghapusan LGBT dalam daftar klasifikasi penyakit adalah setelah membandingkan teori-teori yang bersaing, teori-teori yang mem patologi homoseksualitas dan teori-teori yang memandangnya normal. kajian dari teori itu mendapati tidak ada bukti ilmiah orientasi seksualitas dikatakan sebagai gangguan mental.  

Di Indonesia sendiri, menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) juga tidak menganggap orientasi seksual termasuk homoseksual ke dalam kelainan atau gangguan jiwa. Dikutip dari Kompas 18 September 2021, Dokter spesialis kedokteran jiwa dr. Dharmawan A. Purnama, Sp.KJ menjelaskan, ada alasan ilmiah kenapa para ahli sepakat mencoret homoseksual sebagai kelainan atau gangguan jiwa.

Menurut Dharmawan, syarat suatu fenomena dianggap sebagai kelainan atau gangguan jiwa ditandai dengan adanya penderitaan (distress) dan ketidakmampuan (disability). “Orientasi seksual termasuk homoseksual bukan gangguan kepribadian atau mental. Gangguan psikologis dan perilaku itu syaratnya mesti ada distress dan disability,” kata dia, saat diwawancarai Kompas.com. 

Seorang yang menjadi homoseksual dapat dipengaruhi oleh perkembangan bagian otak bernama hipotalamus sejak dalam kandungan. “Penyebabnya bisa berasal dari perkembangan di hipotalamus. Jadi, di hipotalamus itu ada bagian yang mengatur seksual, termasuk orientasi seksual,” jelas dia. Selain itu, saat masih dalam kandungan kondisi hormon pada janin juga turut mempengaruhi orientasi seksual.

Homoseksual bisa jadi disebut gangguan kesehatan mental, apabila seseorang merasa tidak nyaman dengan orientasi seksualnya. Dalam dunia kesehatan mental, kondisi ini disebut dengan homoseksual egodistonik. Pada kondisi ini, adanya konflik batin yang kerap menyebabkan kegelisahan, stres hingga gangguan kecemasan.

KESIMPULAN

Hasil pemeriksaan Tempo, klaim yang mengatakan LGBT merupakan  penyakit yang dapat menular adalah menyesatkan

Badan kesehatan Dunia (WHO) sendiri sudah menghapus LGBT dalam daftar klasifikasi penyakit atau tidak lagi dimasukan dalam daftar International Classification of Diseases (ICD). Beberapa kajian ilmiah terhadap kajian dari beberapa teori justru mendapati tidak ada bukti ilmiah orientasi seksualitas dikatakan sebagai gangguan mental.

TIM CEK FAKTA TEMPO

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id