Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

[Fakta atau Hoaks] Benarkah Rakyat Selandia Baru Membakar Gereja Pascateror Terhadap Umat Muslim?

Senin, 25 Maret 2019 13:38 WIB

[Fakta atau Hoaks] Benarkah Rakyat Selandia Baru Membakar Gereja Pascateror Terhadap Umat Muslim?

Sebuah video yang dinarasikan sebagai peristiwa pembakaran gereja di Selandia Baru menjadi viral di Facebook. Video itu dibagikan oleh akun Umi Pipik Dian Irawati pada 17 Maret 2019. 

Akun Umi Pipik Dian Irawati pada 17 Maret 2019 menguhnggah video yang diklaim sebagai peristiwa pembakaran gereja di Selandia Baru.

Dalam video berdurasi 30 detik itu, tampak sekelompok massa merusak dan membakar gereja. Tampak asap hitam membumbung, orang-orang yang menghancurkan bagian gereja, disertai beberapa kali pekikan “Allahu Akbar”.

Akun tersebut memberikan narasi bahwa gereja yang dibakar itu adalah Gereja St. John di Selandia Baru. Gereja itu dibakar oleh rakyat Selandia Baru yang marah pascapenembakan 50 muslim di Christchurch, Selandia Baru. 

“Rakyat New Zealand marah atas pembantaian terhadap muslim yang dilakukan oleh oknum teroris Kristian,” tulis Umi Pipik di berandanya.

Benarkah peristiwa ini?

 

PEMERIKSAAN FAKTA

Dari penelusuran Tempo, peristiwa pembakaran gereja itu bukan terjadi di Selandia Baru, melainkan pada salah satu gereja Koptik di Mesir pada Agustus 2013. 

Video tersebut pernah dipublikasikan di harian Inggris, Dailymail, pada 31 Agustus 2013. Pembakaran gereja tersebut dilakukan oleh pendukung mantan Presiden Mohammed Morsi. 

Time menulis, bahwa ada lebih dari 60 gereja yang diserang dalam gelombang balas dendam terhadap orang-orang Kristen setelah militer membubarkan dua kamp yang menewaskan ratusan pendukung Presiden terguling, Mohammed Morsi. 

Umat Kristen Mesir, yang berjumlah 10% dari negara berpenduduk mayoritas Muslim, telah terperangkap dalam konflik politik dan menjadi kambing hitam karena mendukung pemecatan Presiden Mohamed Morsi dari Ikhwanul Muslimin.

Selama ini, banyak orang Kristen di Mesir, terutama di pedesaan selatan, menganggap bahwa serangan terhadap gereja adalah bagian dari sejarah panjang diskriminasi dan kekerasan sektarian di Mesir.

Michael Hanna, peneliti di lembaga penelitian Century Foundation di New York City, menjelaskan bahwa orang-orang Koptik kurang terwakili di seluruh ruang publik Mesir. Orang Kristen menghadapi pembatasan yang diberlakukan oleh negara atas hak untuk membangun dan memelihara gereja, peraturan yang tidak dihadapi umat Islam ketika membangun masjid. 

 

MEMILIH CARA DAMAI

Di Selandia Baru, tidak ada aksi balas dendam dengan membakar gereja seperti yang dinarasikan oleh akun di Facebook. Sebaliknya, ribuan orang berkumpul di kota-kota di Selandia Baru pada Ahad, 24 Maret 2019, untuk memprotes rasisme dan 50 korban meninggal warga Muslim akibat serangan teror di Christchurch. 

Sekitar 15 ribu warga lintas agama dan etnis menggelar acara perenungan di lapangan Hagley Park, yang berlokasi di dekat masjid Al Noor, yang menjadi sasaran aksi penembakan massal Brenton Harrison Tarrant, 28 tahun, yang diduga pendukung kelompok supremasi kulit putih. 

Acara peringatan ini menjadi kesempatan lagi untuk menunjukkan bahwa bangsa Selandia Baru merupakan bangsa yang penyayang, inklusif dan beragam.

"Kita melindungi nilai-nilai ini,” kata Ardern dalam pernyataan yang dirilis kantor Perdana Menteri, seperti dilansir Reuters pada Ahad, 24 Maret 2019.

Banyak warga perempuan non-Muslim datang ke acara ini sambil mengenakan hijab atau kerudung sebagai penghormatan kepada komunitas Muslim di Kota Christchurch, yang telah digelar sebelumnya.

Ardern mengatakan layanan peringatan nasional ini akan digelar para 29 Maret 2019 untuk menghormati para korban, yang mayoritas adalah imigran dan pengungsi. Mereka berasal dari berbagai negara seperti Indonesia, Malaysia, Bangladesh, India, Pakistan, Turki, Yordania, dan Somalia. 

Sebelumnya pada hari yang sama, sekitar 1.000 orang berparade mengecam rasisme di ibu kota Auckland. Mereka membawa spanduk dan plakat dengan tulisan ‘Nyawa para Migran berharga’ dan ‘Pengungsi di terima di sini’.

Saat ini, warga Muslim hanya berjumlah sekitar 1 persen dari total populasi Selandia Baru yaitu sekitar 4.8 juta jiwa. 

 

KESIMPULAN

Narasi yang menyatakan bahwa kemarahan rakyat Selandia Baru dengan membakar gereja adalah keliru.

 

Ika Ningtyas