Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keliru, Terjadi Penyebaran Penyakit Baru di Kodi NTT Lewat Ikan Tembang dan Tongkol

Selasa, 5 Januari 2021 20:13 WIB

Keliru, Terjadi Penyebaran Penyakit Baru di Kodi NTT Lewat Ikan Tembang dan Tongkol

Gambar tangkapan layar sebuah status di aplikasi pesan WhatsApp yang berisi foto dua pria yang terbaring di sebuah ruang perawatan beredar di Facebook. Gambar ini dibagikan bersama klaim bahwa telah terjadi penyebaran penyakit baru lewat konsumsi ikan, terutama ikan tembang dan tongkol.

"Ksia tau smua para keluarga kitaaa... Jgn beli ikan dluuu soalnya ad penyebaran penyakit yg mengandung mkanan ikannn....terkhususnya ikan tongkol dan tembangggg... Pkox smau ikannnnn. Smogaaa di sampaikann di kluarga kita smuaaaaa," demikian narasi yang tertulis dalam gambar tersebut.

Salah satu akun yang membagikan gambar tangkapan layar itu adalah akun Nona Radja, tepatnya pada 4 Januari 2021. Akun ini pun menulis, "Untuk keselamatan n kebaikan kita. Kita stop beli ikan dulu. Karena Ada pexakit Baru sekarang." Hingga artikel ini dimuat, unggahan tersebut telah dibagikan lebih dari 4.100 kali.

Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Nona Radja yang memuat klaim keliru terkait peristiwa keracunan ikan di Kodi, NTT.

PEMERIKSAAN FAKTA

Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo mula-mula memasukkan kata kunci "keracunan ikan tembang" di mesin pencari gambar Google. Hasilnya, ditemukan sebuah petunjuk dari video yang diunggah oleh kanal YouTube Anselrufus Channel pada 5 Januari 2021 terkait warga Kodi, Sumba Barat Daya (SBD), Nusa Tenggara Timur, yang keracunan ikan.

Dalam video ini, tepatnya pada menit 5:28, terlihat seorang pria yang mengenakan jaket merah dengan tulisan berwarna putih. Pria tersebut sama dengan yang terlihat dalam foto yang terdapat dalam gambar tangkapan layar di atas. Baik dalam video ini maupun dalam foto di atas, pria itu sedang menemani pria yang sedang terbaring, yang mengenakan kaos coklat-kuning.

Foto dalam gambar tangkapan layar yang diunggah oleh akun Facebook Nona Radja (kiri) dan gambar tangkapan layar salah satu cuplikan dalam video milik kanal YouTube Anselrufus Channel (kanan).

Berbekal petunjuk ini, Tempo menelusuri pemberitaan tentang warga Kodi yang keracunan ikan. Menurut berita Kumparan.com yang berjudul "Keracunan Ikan, 1 Warga SBD Tewas, 12 Kritis", pada 4 Januari 2021, memang terdapat belasan warga Dusun Homba Karamboyo, Kodi Balaghar, yang keracunan ikan tembang. Akibat peristiwa ini, satu warga, yakni Hona Rehi, 60 tahun, meninggal dan 12 warga lainnya kritis. Mereka dirawat di Puskesmas Kodi Bangedo.

Kepala Polsek Kodi Bangedo, Ajun Komisaris Agus Supriyanto, membenarkan peristiwa itu. Awalnya, seorang warga bernama Hendrikus Ndara Milla membeli 40 ikan seharga Rp 20 ribu dari pedagang yang bernama Hendrikus Hona Kandi. Ikan ini juga dibagikan kepada anggota keluarga di kampung yang sama.

Kemudian, ikan tersebut dimasak oleh Paulina Capa, kerabat dekat Hona Rehi. Keduanya pun menyantap ikan itu. "Setelah makan, korban sempat ke kebun, namun pulang sekitar pukul 13.30. Saat itulah, Hona Rehi muntah-muntah dan lemas," ujar Agus.

Melihat hal itu, kerabat korban memberinya air minum. Namun, nyawa Hona Rehi tak tertolong sebelum dilarikan ke rumah sakit. "Tepat pukul 19.00, korban meninggal di rumahnya,” kata Agus. Ia pun mengimbau warga agar lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi ikan yang mereka beli.

Peristiwa tersebut juga diberitakan oleh Pos Kupang pada 5 Januari 2021 dengan judul "Di Sumba Barat Daya - NTT, Satu Warga Tewas Saat Konsumsi Ikan, 12 Warga Lainya Dirawat, TRAGIS". Menurut berita ini, belasan warga lain yang mengkonsumsi ikan yang sama mengalami pusing dan lemas.

Keracunan Ikan

Kasus keracunan ikan pernah terjadi beberapa kali sebelumnya. Pada 3 Januari 2020 misalnya, dilansir dari Kompas.com, sebanyak 350 warga Jember keracunan setelah menyantap sajian ikan tongkol di malam Tahun Baru 2020. Para korban mengalami gejala keracunan antara lain mual, muntah, pusing, wajah memerah dan bengkak, bahkan pingsan.

Plt Kepala Dinas Perikanan Jember Murtadlo mengatakan keracunan ikan tongkol dipicu oleh proses penyimpanan yang tidak benar. Akibatnya, kandungan histamin pada ikan meningkat. Ikan itu diduga disimpan di atas suhu 6 derajat Celcius dengan durasi melebihi batas aman. Padahal, daya tahan ikan ini di tempat terbuka hanya empat jam selang didapat nelayan dari laut.

Dilansir dari American Academy of Allergy Asthma and Immunology, keracunan histamin (scombrotoxin fish poisoning) merupakan salah satu jenis keracunan makanan. Beberapa jenis ikan secara alami memiliki zat kimia bernama histidin dan berkadar tinggi, di antaranya tongkol, makarel, sarden (salah satu spesiesnya adalah ikan tembang), tuna, teri, haring, dan lain-lain.

Asam amino esensial di beberapa ikan dapat berubah menjadi histamin saat terkontaminasi bakteri. Bakteri tersebut adalah bagian dari mikroflora alami kulit, insang, dan usus ikan yang baru ditangkap. Menurut laman resmi Centre for Food Safety Hong Kong, tingginya kandungan histamin dalam ikan dan produk ikan tergantung jenis ikan, kontrol suhu, dan waktu.

Pembentukan histamin dapat terjadi di sepanjang rantai pasokan ikan dan produk ikan, mulai dari ikan yang baru ditangkap nelayan, dibawa berlayar sampai ke pelabuhan, dijajakan pedagang, sampai ke dapur. Dari hasil penelitian, keracunan histamin terdeteksi di sampel ikan yang dibiarkan di suhu ruangan selama 24 jam. Namun, histamin tidak terdeteksi saat sampel ikan disimpan di suhu 2 derajat Celcius sepanjang 7 hari.

Berdasarkan arsip berita Tempo, pakar pangan Universitas Jember Nurhayati menuturkan keracunan ikan bisa terjadi karena beberapa hal, yakni bahan baku, histamin, dan toksin atau racun. Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember itu menjelaskan, terkait bahan baku, hasil tangkapan yang tidak segera disimpan pada suhu rendah (ruang pendingin es) menyebabkan kerusakan fisiologis dan mikrobiologis pada ikan.

Seiring dengan kerusakan fisiologis rigor mortis jaringan ikan, disarankan untuk segera menyimpan ikan segar pada ruang pendingin seperti kulkas maupun freezer, karena jika tidak disimpan di kondisi dingin atau beku, bakteri kontaminan dapat tumbuh berkembang cepat. "Rata-rata masa ganda bakteri adalah 20-30 menit, yaitu dari satu jadi dua, dua jadi empat, empat jadi 16, dan seterusnya," katanya.

Selain itu, keracunan juga bisa disebabkan oleh histamin, senyawa yang dihasilkan oleh aktivitas mikroba, terutama bakteri yang tumbuh setelah lebih dari 5 jam ikan ditangkap. "Histamin dihasilkan dari perombakan asam amino histidin oleh enzim mikroba menjadi histamin. Senyawa itu yang akan menimbulkan alergi pada tubuh manusia sesaat setelah mengonsumsi produk ikan tongkol, seperti gatal-gatal di sekujur kulit," katanya.

Jika alergi terjadi pada pembuluh darah di jaringan kulit maka dampaknya akan gatal-gatal. Akan tetapi, jika alergi menyerang pembuluh darah daerah organ dalam, terutama jantung, maka akan menyebabkan serangan jantung yang berakibat fatal, yakni kematian mendadak.

"Keracunan ikan juga dapat disebabkan oleh toksin atau senyawa racun. Keberadaan racun bisa disebabkan perairan yang tercemar oleh logam berat, seperti timbal maupun merkuri dan lain sebagainya akibat aktivitas manusia, seperti industri yang membuang limbah cairnya ke laut," ujarnya.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa telah terjadi penyebaran penyakit baru di Kodi, Sumba Barat Daya, NTT lewat konsumsi ikan, terutama ikan tembang dan tongkol, keliru. Foto yang digunakan untuk menyebarkan klaim itu merupakan foto yang menunjukkan warga Kodi yang keracunan ikan tembang pada 4 Januari 2021. Di Indonesia, kasus keracunan ikan pernah terjadi beberapa kali sebelumnya. Peristiwa itu pun tidak terkait dengan penyebaran penyakit baru.

ZAINAL ISHAQ

Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id