Keliru: ASEAN Memprediksi Indonesia Bangkrut Pada 2030 karena Utang
Selasa, 5 Agustus 2025 17:30 WIB

SEBUAH konten beredar di X [arsip], Threads, dan Instagram dengan klaim ASEAN memprediksi Indonesia bangkrut pada tahun 2030 seperti Sri Lanka akibat utang.
Unggahan itu menampilkan pria berkacamata dan mengenakan jas hitam, duduk di depan latar tulisan AMRO. Selain logo updatenusantara.com, terdapat tulisan di atas foto: ASEAN Ingatkan RI Bisa Runtuh 2030 Akibat Utang Membengkak, Nasib Bisa Serupa Sri Lanka!
Hingga artikel ini dibuat, konten itu sudah dilihat 3.613 kali, disukai 200 pengguna, dan dibagikan ulang sebanyak 83 kali. Namun benarkah lembaga ASEAN menyatakan Indonesia bisa bangkrut pada 2030 akibat utang seperti Sri Lanka?
PEMERIKSAAN FAKTA
Tempo memverifikasi konten dengan klaim kebangkrutan Indonesia itu menggunakan pencarian gambar terbalik, menelusuri pemberitaan kredibel dan wawancara pakar ekonomi. Hasilnya, ASEAN tidak pernah mempublikasikan pernyataan bahwa Indonesia akan bangkrut karena utang pada 2030.
Pria berkacamata dalam foto itu adalah Dong He, Kepala Ekonom di ASEAN+3 Macroeconomic Research Office atau disingkat AMRO. Saat itu, ia hadir dalam konferensi pers bertajuk ASEAN+3 Regional Economic Outlook - July 2025 Update.
Video konferensi pers tersebut, ditayangkan ulang di YouTube 23 Juli 2025 bersama Kepala Kelompok dan Kepala Ekonom AMRO, Allen Ng.
AMRO adalah sebuah lembaga riset regional yang didirikan oleh negara-negara anggota ASEAN ditambah Cina, Jepang, dan Korea Selatan pada 2011 oleh para menteri keuangan masing-masing negara. Lembaga ini bertugas mengawasi ekonomi makro regional, memantau dan menganalisis perkembangan ekonomi dan keuangan di kawasan ASEAN+3. Tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan kawasan serta mendukung kerja sama keuangan regional.
Dalam konferensi pers sepanjang 48 menit itu, ekonom AMRO tidak menyebutkan mengenai utang Indonesia. Satu-satunya pertanyaan mengenai Indonesia yang muncul dari jurnalis ialah soal dampak kesepakatan penurunan tarif dengan AS dari 32 persen ke 19 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pada menit ke-30:20 hingga 33:23, Dong He menjawab bahwa konsultasi AMRO baru-baru ini dengan Indonesia menunjukkan bahwa perekonomian benar-benar berjalan sangat baik karena didorong oleh permintaan domestik.
AMRO juga membantah narasi tersebut melalui klarifikasi resmi yang diunggah di situsnya. Mereka menyatakan bahwa dalam Laporan Konsultasi Tahunan AMRO 2025, pihaknya tidak membuat pernyataan semacam “Indonesia bisa kolaps pada tahun 2030” atau membandingkannya dengan krisis utang Sri Lanka pada tahun 2022.
“Meskipun kami memperkirakan bahwa rasio utang pemerintah dapat meningkat secara bertahap hingga sekitar 42 persen pada tahun 2029 apabila tren fiskal saat ini terus berlanjut, kami tidak memproyeksikan akan terjadinya kolaps maupun mengindikasikan akan adanya krisis di Indonesia,” tulis keterangan resmi tersebut.
Sebaliknya, AMRO memberikan apresiasi kepada otoritas yang telah menerapkan kebijakan fiskal secara hati-hati dan disiplin, serta telah mengambil langkah-langkah untuk memitigasi risiko peningkatan utang di tengah situasi eksternal yang menantang.
AMRO juga memproyeksikan bahwa keberlanjutan utang Indonesia jangka menengah akan tetap kuat, dengan rasio utang diperkirakan tetap jauh di bawah aturan fiskal sebesar 60 persen dari PDB, dan juga lebih rendah dibandingkan rata-rata kawasan ASEAN.
Krisis Ekonomi Penyebab Sri Lanka Bangkrut
Dilansir Tempo, Sri Lanka berada dalam cengkeraman krisis ekonomi terburuknya sejak merdeka tahun 1948, setelah kehabisan devisa untuk membiayai impor yang paling penting sekalipun. Pada Rabu 22 Juni 2022, Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe mengakui ekonomi negaranya runtuh setelah berbulan-bulan kekurangan makanan, obat-obatan, bahan bakar, dan listrik.
Negara Asia Selatan itu menghadapi situasi yang jauh lebih serius dari sekadar kekurangan bahan bakar, gas, listrik, dan makanan. Sri Lanka tidak dapat membeli bahan bakar impor, bahkan untuk uang tunai, karena hutang yang besar dari perusahaan minyaknya, Ceylon Petroleum Corporation. Akibatnya, tidak ada negara atau organisasi di dunia yang bersedia menyediakan bahan bakar untuk Sri Lanka, bahkan enggan menyediakan bahan bakar untuk uang tunai.
Sejumlah pakar menilai krisis ekonomi yang terjadi di Sri Lanka tidak akan menular ke Indonesia walaupun rasio utangnya mirip dan tantangan global makin berat. Rasio utang bukan indikator satu-satunya perekonomian makro suatu negara, sebab negara lain di kawasan ASEAN juga memiliki rasio utang lebih besar daripada Indonesia. Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga, Prof. Rossanto Dwi Handoyo menyebut, Malaysia memiliki rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 69,50 persen pada kuartal keempat tahun 2024, Singapura sebesar 44,30 persen, bahkan Jepang mencapai 261,3 persen.
“Jadi meskipun sama-sama rasio utang 42 persen, bukan berarti sama dengan Sri Lanka. Karakteristik ekonominya berbeda,” ujarnya saat dihubungi Tempo, Senin, 5 Agustus 2025.
Menurutnya, Indonesia memiliki surplus perdagangan dan surplus dalam neraca modalnya yang berkontribusi pada cadangan devisa. Selain itu, Pemerintah Indonesia mempertahankan surplus neraca primer sehingga pendapatan melebihi pengeluaran tidak termasuk pembayaran utang. Neraca pembayaran Indonesia juga secara keseluruhan tetap positif.
“Rasio ekspor terhadap utang Indonesia sekitar 60 persen, yang berarti sebagian besar pendapatan ekspor digunakan untuk membayar utang. Ini masih baik untuk konteks negara berkembang,” katanya.
Sebaliknya Sri Lanka, kekurangan sumber daya, mengalami defisit perdagangan, dan menderita defisit ganda (twin deficit), yakni defisit neraca berjalan dan defisit anggaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah Sri Lanka melebihi pendapatannya. Kepercayaan investor terhadap Sri Lanka pun rendah, yang kemudian menyebabkan kurangnya investasi.
Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti mengatakan bahwa kondisi perekonomian Indonesia masih lebih baik dibandingkan Sri Lanka, meski harus melakukan manajemen utang. “Intinya jika mau menaikkan rasio utang terhadap PDB, harus diimbangi dengan penerimaan pajak. Alokasi utang juga harus untuk hal yang produktif,” ujarnya.
Dilansir dari kertas penelitian INDEF, disiplin fiskal sangat penting untuk mengelola keberlanjutan utang Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, pemerintah harus menjaga defisit anggaran di bawah 3 persen dari PDB, dan rasio utang terhadap PDB maksimal 60 persen. Sejak krisis moneter Asia tahun 1998, defisit anggaran negara Indonesia tidak pernah lebih dari 3 persen PDB. Bahkan pada saat krisis 1998, defisit anggaran negara berada pada angka -1,69 persen PDB.
Namun, total rasio utang pemerintah terhadap PDB sempat berada di atas 60 persen PDB, terutama menjelang tahun 2003. Pada tahun 2000 rasio total utang pemerintah terhadap PDB mencapai 87,43 persen akibat kebutuhan utang untuk pemulihan krisis moneter. Kondisi itu berlanjut pada tahun 2001 dan 2002, di mana rasio total utang pemerintah terhadap PDB masing-masing sebesar 73,7 persen dan 62,33 persen.
Pada tahun 2003, rasio utang pemerintah terhadap PDB berhasil diturunkan hingga di bawah 60 persen, tepatnya di angka 55,64 persen. Ambang batas disiplin fiskal dilonggarkan akibat pandemi Covid-19.
KESIMPULAN
Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa klaim Indonesia diprediksi runtuh oleh ASEAN pada 2030 seperti Sri Lanka adalah keliru.
Lembaga riset regional ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) tidak menyebutkan narasi itu, baik dalam press briefing maupun Laporan Konsultasi Tahunan 2025. Perekonomian Indonesia juga dinilai sejumlah ekonom masih baik, meskipun memiliki rasio utang sebesar 42 persen terhadap PDB serupa dengan Sri Lanka.
TIM CEK FAKTA TEMPO
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected]