Sebagian Benar: Klaim Inflasi, Utang, dan Defisit yang Rendah Jadi Indikator Ekonomi Cukup Baik

Rabu, 9 April 2025 22:24 WIB

Sebagian Benar: Klaim Inflasi, Utang, dan Defisit yang Rendah Jadi Indikator Ekonomi Cukup Baik

PRESIDEN Prabowo Subianto menyatakan bahwa kondisi fundamental ekonomi Indonesia dalam kondisi baik. Indikatornya, kata dia, posisi inflasi, rasio utang, dan defisit APBN Indonesia menjadi salah satu yang terendah dibandingkan negara-negara lain. Ia menyatakan hal itu saat wawancara dengan tujuh jurnalis di kediamannya di Hambalang, Bogor, Minggu, 6 April lalu. 

Rasio utang Indonesia, Prabowo menyebut, berada di kisaran 39 persen terhadap Pendapatan Domestik Bruto. Di bawah Indonesia, ada Vietnam, Turki, Switzerland, Arab Saudi dan Rusia. Namun rasio utang negara seperti Malaysia dan Singapura, jauh lebih besar. “Tapi banyak negara seperti malaysia 68 persen di atas kita, Singapura 175 persen. Ini yang harus kita sadari, our economy is doing well,” kata dia yang dikutip dari kanal YouTube Mata Najwa.

Soal defisit, Prabowo menjelaskan, Indonesia hanya berkisar tiga persen. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan Malaysia di atas lima persen, Brazil lebih dari tujuh persen dan Filipina di atas enam persen.

PEMERIKSAAN FAKTA

Tempo memverifikasi klaim tersebut dengan membandingkan dengan data-data terbuka dari institusi kredibel, pemberitaan media, dan meminta analisis dari pakar ekonomi. Hasil verifikasi menunjukkan secara statistik, data-data yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto memang benar. 

Akan tetapi rendahnya inflasi, rasio utang, dan rasio defisit tidak menunjukkan kondisi ekonomi Indonesia dalam kondisi baik. Sebaliknya sejumlah pakar menyebut kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak prima. Membandingkan rasio Indonesia dengan negara-negara lain tidak selalu tepat karena sangat tergantung dengan kemampuan fiskal dan situasi ekonomi setiap negara.  

Klaim 1: Inflasi Indonesia salah satu terendah di dunia

Fakta: Menurut Badan Pusat Statistik, inflasi Indonesia pada Januari 2025 sebesar 0,76 persen year-on-year (yoy) dengan tingkat inflasi pada Januari 2024 yang mencapai 2,61 persen. Tingkat inflasi yoy Februari 2025 berada di angka 0,09 persen, lebih rendah dibandingkan Februari 2024 sebesar 2,75 persen. Demikian juga pada Maret 2025, inflasi yoy mencapai 1,03 persen, sedangkan Maret 2024 2,61 persen.

Tingkat inflasi Indonesia tersebut memang rendah jika merujuk data inflasi negara-negara di dunia pada 2025, dikutip dari laman Trading Economics.

Tingkat inflasi di dunia pada 2025. (Sumber: Trading Economics, 2025)

Namun Wakil Direktur Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM-FEBUI), Jahen F. Rezki, mengatakan, rendahnya angka inflasi tidak selalu menentukan kondisi ekonomi yang baik. Angka inflasi Indonesia yang rendah, bahkan hampir menuju deflasi pada akhir Februari 2025 (yoy), lebih disebabkan daya beli masyarakat yang menurun. 

Bila tingkat inflasi berlanjut terlalu rendah, kata dia, ada indikasi menuju resesi karena tren penurunan aktivitas ekonomi. “Inflasi baik bila stabil dan rendah, namun terlalu rendah dapat menjadi indikator bahwa ekonomi sedang lesu,” kata Jahen melalui surat elektronik kepada Tempo, Rabu 9 April 2025. 

Penurunan daya beli juga ditunjukkan dengan adanya penurunan jumlah pemudik Lebaran 2025. Di sisi lain, hasil Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa rata-rata proporsi pendapatan masyarakat untuk ditabung dan membayar cicilan mengalami penurunan pada Februari 2025. Sementara itu, proporsi pendapatan yang digunakan untuk konsumsi mengalami peningkatan. Kondisi ini menunjukkan hampir seluruh pendapatan masyarakat digunakan untuk konsumsi. 

“Apabila proporsi konsumsi makanan semakin besar, maka hal tersebut turut menandakan menurunnya daya beli masyarakat,” kata Jahen.

Tidak jauh berbeda dengan analisis Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Esther Sri Astuti. Menurut dia, rendahnya inflasi saat ini merupakan kelanjutan dari deflasi berturut-turut pada Mei-September 2024. Kondisi tersebut ditambah dengan tutupnya sejumlah industri seperti Sritex dan PHK besar-besaran. “Inflasi yang rendah hingga deflasi menunjukkan ekonomi yang lesu,” kata Esther kepada Tempo, Rabu 9 April 2025.

Klaim 2: Rasio utang Indonesia sekitar 39 persen, jauh lebih rendah dibandingkan Malaysia dan Singapura

Fakta: Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang pemerintah pada akhir Januari 2025 mencapai Rp8.909,14 triliun, atau naik Rp108,05 triliun dari posisinya di akhir 2024. Dikutip dari Bisnis.com, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Suminto, rasio utang terhadap PDB tersebut pada Desember 2024 sebesar 39,7 persen dan Januari 2025 mencapai 39,6 persen. 

Menurut World Population Review, Singapura memang memiliki rasio utang sebesar 173% dari PDB pada 2025, nomor kedua tertinggi setelah Jepang. Sedangkan rasio utang Malaysia sebesar 64.6 persen pada Desember 2024. Indonesia bukan sebagai 10 negara dengan rasio utang paling rendah. 

Daftar 10 negara dengan rasio utang terendah (Sumber: World Population Review, 2025)

Wakil Direktur Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM-FEBUI), Jahen F. Rezki, menjelaskan, tidak tepat menyimpulkan bahwa semua negara dengan utang lebih tinggi berarti fundamental ekonominya lebih buruk. Singapura misalnya, memiliki rasio utang tinggi bukan karena kekurangan uang, melainkan sebagai instrumen keuangan. Neraca diimbangi aset keuangan yang besar, sehingga risiko fiskalnya rendah.  

Jahen menjelaskan untuk memastikan keamanan rasio Indonesia, lebih tepat menggunakan dasar pembayaran utang untuk memastikan keberlanjutan pembayaran dan kemampuan negara membayar, terutama penerimaan pajak. Namun dengan penerimaan perpajakan Indonesia yang masih rendah tersebut, pemerintah tetap menggelontorkan sumber daya keuangan, ali-alih mengurangi pengeluaran akibat berkurangnya potensi penerimaan pajak. 

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Esther Sri Astuti, mengatakan, meski rasio utang Indonesia sekitar 39 persen dari PDB, namun berada dalam risiko tinggi. Sebab rasio penerimaan pajak rendah yang menunjukkan kemampuan untuk membayar utang juga rendah. Kapasitas fiskal Indonesia tersebut, kata dia, tidak bisa dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia yang memiliki ratio tax dan PDB yang lebih besar, sehingga kemampuan membayar utangnya juga besar. “Jadi membandingkan rasio utang Indonesia dengan Singapura, itu tidak apple-to-apple,” kata Esther.

Klaim 3: Rasio defisit Indonesia sekitar 3 persen, lebih rendah dari Malaysia, Brazil, dan Filipina

Fakta: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, defisit anggaran dibatasi maksimal 3 persen dari PDB. Pada akhir 2024, Kementerian Keuangan melaporkan defisit APBN sebesar Rp507,8 triliun atau 2,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). 

Dalam APBN 2025, pemerintah menargetkan belanja negara sebesar Rp 3.621,3 triliun dan pendapatan negara Rp 3.005,1 triliun. Dengan demikian, defisit anggaran dibatasi Rp 616,2 triliun. Namun dua bulan pertama 2025, Kementerian Keuangan melaporkan APBN hingga Februari 2025 mengalami defisit Rp 31,2 triliun atau 0,13 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Sedangkan defisit Malaysia pada 2024 sebesar 4,10 persen, Brazil 8.45 persen, dan Filipina 5.7 percent. 

Tempo pernah mengutip analisis Ekonom Bright Institute Awalil Rizky yang mengatakan defisit keuangan negara pada dua bulan pertama tahun anggaran bukan pertanda baik bagi kondisi fiskal. Ia menjelaskan defisit dua bulan ini terutama disebabkan pendapatan negara yang turun 20,85 persen dibandingkan capaian tahun lalu, dan hanya 10,50 persen dari target APBN 2025.

Wakil Direktur Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM-FEBUI), Jahen F. Rezki, menjelaskan, rasio defisit yang kecil, belum tentu sebagai indikator kesehatan fiskal. Menurut dia, defisit terjadi karena basis penerimaan negara yang terbatas, terlihat dari rasio pajak terhadap PDB yang rendah akibat informalitas dan administrasi perpajakan yang belum optimal. “Rasio pajak kita masih sekitar 10 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga atau negara maju,” kata dia.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, indikator yang paling mudah untuk melihat kondisi ekonomi Indonesia saat ini, antara lain dari jumlah pemudik turun 25 persen, konsumsi sebagian besar untuk makanan dan minuman, jumlah orang yang punya tabungan Rp100 juta berkurang. Terakhir, kelas menengah juga turun 9-10 juta.  

KESIMPULAN

Dari pemeriksaan fakta di atas, Tempo menyimpulkan bahwa klaim Presiden Prabowo bahwa fundamental ekonomi Indonesia dalam kondisi cukup baik karena inflasi, rasio utang dan defisit rendah, sebagian benar.

TIM CEK FAKTA TEMPO

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected]