Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keliru, Pernyataan soal DPR Tetap di Jakarta dan Tidak Perlu Ikut Pindah ke IKN

Jumat, 26 April 2024 09:41 WIB

Keliru, Pernyataan soal DPR Tetap di Jakarta dan Tidak Perlu Ikut Pindah ke IKN

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan agar kegiatan DPR sebagai lembaga legislatif tetap berlangsung di Jakarta meskipun pusat pemerintahan pindah ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Hal itu diusulkan oleh Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi saat membahas daftar inventarisasi masalah (DIM) Rancangan Undang-undang Daerah Khusus Jakarta bersama perwakilan pemerintah, Senin, 18 Maret 2024. 

"Supaya kekhususan DKJ biar tambah juga bahwa menjadi ibu kota parlemen, atau ibu kota legislasi gitu," kata pria yang akrab disapa Awiek itu, dilansir dari Kompas.com, Selasa, 19 Maret 2024.

Menurutnya, usulan ibu kota legislasi itu disampaikan untuk menjaga kesejarahan Jakarta sebagai ibu kota. Artinya, kata Awiek, DPR bisa berkantor dan beraktivitas di dua tempat, yakni di IKN dan Jakarta. "Untuk menjaga kesinambungan dan kesejahteraan Jakarta sebagai ibu kota, salah satu aktivitas pemerintah pusat itu harus tetap ada di Jakarta," kata dia. 

Benarkah klaim bahwa DPR secara hukum tidak perlu pindah ke Ibu Kota Negara (IKN)?

PEMERIKSAAN KLAIM

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Jamaludin Ghafur mengatakan bahwa secara konstitusional yakni Undang-Undang Dasar 1945, hanya ada dua lembaga yang secara eksplisit disebutkan harus bertempat dan berkedudukan di IKN.

Pertama, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara”.

Kedua, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pasal 23G ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota”. 

Dua pasal konstitusi yang mengatur DPR itu memang tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai tempat persidangan DPR dan/atau kedudukannya harus di Ibu Kota Negara, tetapi bukan berarti dapat menjadi alasan bagi DPR untuk memilih berkedudukan di luar Ibu Kota Negara. 

Sebab, kata Jamaluddin, jika merujuk kepada ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”, maka sesungguhnya DPR adalah bagian dari MPR. 

“Dengan demikian, adanya ketentuan yang mewajibkan bagi MPR untuk bersidang di ibu kota negara, juga secara mutatis mutandis berlaku juga bagi DPR,” ujarnya.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, di dalam Pasal 5 ayat (1) berbunyi: “Ibu Kota Nusantara berfungsi sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjadi tempat penyelenggaraan kegiatan pemerintahan pusat, serta tempat kedudukan perwakilan negara asing dan perwakilan organisasi/lembaga internasional”. 

Kata “pemerintahan pusat” merujuk kepada lembaga-lembaga utama negara yang melingkupi tiga cabang kekuasaan. Pertama, eksekutif yang terdiri dari presiden, wakil presiden dan kementerian negara. Kedua, legislatif yang terdiri dari MPR, DPR, dan DPD. Ketiga, kekuasaan Yudikatif yang terdiri dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. “Semua lembaga-lembaga negara ini wajib bertempat dan berkedudukan di ibu kota negara,” kata Jamaluddin.

Bahkan, di luar dari 3 cabang kekuasaan negara yang utama di atas, beberapa lembaga negara lainnya yang diatur secara langsung dalam konstitusi seperti Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Kepolisian RI, TNI, Penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) dan lain-lain juga wajib berkedudukan di Ibu Kota Negara. 

“Alasan DPR yang tetap menginginkan untuk berkedudukan di Jakarta seiring dengan telah berpindahnya ibu kota negara ke IKN, adalah tidak dapat dibenarkan secara hukum,” pungkasnya. 

Istilah ibu kota legislasi juga tidak dikenal dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.

Negara-negara yang memindahkan ibukotanya

Dalam sejarah, beberapa negara memindahkan ibukotanya dengan alasan yang beragam. Perpindahan ibukota adalah cerminan dari perubahan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi di negara-negara tersebut. 

Brazil, misalnya, pada tahun 1960 memindahkan ibukotanya dari Rio de Janeiro ke Brasília. Keputusan ini diambil untuk mempromosikan pembangunan di wilayah tengah negara dan mengurangi konsentrasi kekuasaan politik dan ekonomi di pesisir.

Kemudian ada Kazakhstan, yang memindahkan ibukotanya dari Almaty ke Astana (sekarang Nur-Sultan) pada tahun 1997. Perpindahan ini dimotivasi oleh keinginan untuk menempatkan ibukota di pusat geografis negara dan mengembangkan wilayah utara yang kaya akan sumber daya alam.

Di Afrika, beberapa negara juga telah melakukan perpindahan ibukota. Nigeria memindahkan ibukotanya dari Lagos ke Abuja pada tahun 1991. Keputusan ini diambil untuk mempromosikan pembangunan di bagian tengah dan utara Nigeria serta mengatasi masalah kepadatan penduduk dan ketegangan etnis di Lagos.

Selain itu, Etiopia memindahkan ibukotanya dari Gondar ke Addis Ababa pada tahun 1886, yang sekarang menjadi ibukota resmi negara tersebut. Perpindahan ini dilakukan oleh Kaisar Menelik II untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dan mendirikan pusat pemerintahan yang lebih modern.

Dalam sejarah modern, beberapa negara telah mempertahankan lebih dari satu ibukota. Misalnya, Afrika Selatan memiliki tiga ibukota legislatif: Pretoria (eksekutif), Cape Town (legislatif), dan Bloemfontein (yudisial). 

KESIMPULAN

Pernyataan agar kegiatan DPR sebagai lembaga legislatif tetap berlangsung di Jakarta meskipun pusat pemerintahan pindah ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, adalah keliru

Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 23G ayat (1) UUD 1945 memang tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai tempat persidangan DPR dan/atau kedudukannya harus di Ibu Kota Negara. Namun bukan berarti dapat menjadi alasan bagi DPR untuk memilih berkedudukan di luar Ibu Kota Negara. 

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Maka, DPR adalah bagian dari MPR. 

Selain itu, istilah ibu kota legislasi juga tidak dikenal dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI)