Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Benar, Klaim Muhaimin bahwa Anggaran untuk Mengatasi Krisis Iklim Indonesia di bawah Anggaran Sektor Lainnya

Minggu, 21 Januari 2024 20:24 WIB

Benar, Klaim Muhaimin bahwa Anggaran untuk Mengatasi Krisis Iklim Indonesia di bawah Anggaran Sektor Lainnya

Calon Wakil Presiden nomor urut 1, Muhaimin Iskandar, menyatakan bahwa anggaran untuk mengatasi krisis iklim di Indonesia jauh di bawah anggaran sektor-sektor lainnya.

“Krisis Iklim harus dimulai dengan etika. Sekali lagi etika. Etika lingkungan ini intinya adalah keseimbangan antara manusia dan alam. Tidak menang-menangan. Seimbang manusia dan alam. Akan tetapi kita menyaksikan bahwa kita tidak seimbang dalam melaksanakan pembangunan kita. Kita melihat ada yang namanya krisis iklim tidak diatasi dengan serius. Bahkan kita ditunjukkan bahwa anggaran mengatasi krisis iklim jauh di bawah anggaran sektor-sektor lainnya,” kata Muhaimin dalam debat cawapres oleh KPU, Minggu, 21 Januari 2024.

Benarkah klaim tersebut? 

PEMERIKSAAN KLAIM

Menurut World Bank (2022) alokasi anggaran penanganan perubahan iklim dalam APBN masih relatif kecil dibandingkan dengan kebutuhan untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC). Indonesia membutuhkan pendanaan rata-rata dalam setahun sebesar Rp266,3 triliun sampai dengan tahun 2030. Sementara rata-rata alokasi anggaran dalam APBN dalam kurun 2020-2022 sekitar Rp 37,9 triliun (sumber: Climate Budget Tagging pada Business Intelligence DJA-Tematik Krisna), sehingga masih terdapat selisih (gap) pendanaan.

Selain keterbatasan pendanaan, terdapat permasalahan lain yaitu alokasi anggaran terhadap tiga pilar iklim masih belum proporsional. Berdasarkan alokasi anggaran dalam APBN tahun 2021 proporsi terhadap tiga program tersebut sebagai berikut: Peningkatan Kualitas Lingkungan (6,15 persen), Peningkatan Ketangguhan terhadap Bencana dan Perubahan Iklim (77,63 persen), dan Pembangunan Rendah Karbon (16,22 persen).

Dibandingkan anggaran Kementerian Pertahanan (Kemenhan) misalnya, alokasi anggarannya Rp 135,44 triliun dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024. 

Menurut Dosen Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia, Masitoh Nur Rohma, Kementerian Keuangan menghitung bahwa kebutuhan pendanaan perubahan iklim mencapai Rp 3.779 triliun jika mengikuti peta jalan Dokumen Kontribusi Nasional (NDC).

Artinya, setiap tahun anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 200 triliun-Rp 300 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 7-11 persen anggaran belanja negara 2022.

Dalam buku "Anggaran Hijau Indonesia Menghadapi dalam menghadapi Perubahan Iklim" disebutkan, masih terdapat beberapa output dari K/L yang merupakan output yang mendukung capaian penanganan perubahan iklim namun belum dilakukan penandaan.

Hal ini terjadi karena adanya prioritas pembangunan dan kebijakan Pemerintah, salah satunya perubahan iklim sebagai Prioritas Nasional 6 (PN-6), menghasilkan kegiatan-kegiatan mitigasi dan adaptasi yang baru.

Untuk adaptasi perubahan iklim, saat ini yang menjadi acuan adalah RPJMN 2020-2024. Dimana di masa mendatang perlu mempertimbangkan pengembangan roadmap NDC Adaptasi serta pembaharuan dokumen RAN API.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemeriksaan fakta, klaim anggaran untuk mengatasi krisis iklim di Indonesia jauh di bawah anggaran sektor-sektor lainnya, adalah benar.

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id

Artikel ini adalah hasil kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen, Asosiasi Media Siber Indonesia, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Cekfakta.com bersama 18 media dan 8 panel ahli di Indonesia