Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sebagian Benar, Klaim Mahfud MD tentang Ketimpangan Lahan di Indonesia

Rabu, 20 Desember 2023 20:40 WIB

Sebagian Benar, Klaim Mahfud MD tentang Ketimpangan Lahan di Indonesia

Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 3, Mahfud MD menyebut sebanyak 1 persen masyarakat Indonesia menguasai 75 persen lahan di Indonesia. Dilansir Kompas.com, ia menyatakan segelintir orang telah menguasai sebagian besar lahan, sehingga penguasaan lahan di Indonesia perlu ditata.

"Sisanya 99 persen masyarakat Indonesia yang berebut 25 persen lahan yang tersisa. Ini perlu ditata secara bersama-sama," kata Mahfud saat berbicara di acara dialog Andalas Lawyers Club di Universitas Andalas, Senin, 18 Desember 2023.

Benarkah klaim Mahfud mengenai penguasaan lahan di Indonesia perlu ditata karena 1 persen masyarakat menguasai 75 persen lahan?

PEMERIKSAAN KLAIM

Klaim 1: Data 1 persen penduduk menguasai 75 persen lahan di Indonesia

Menurut Peneliti Think Policy, Alexander Michael Tjahjadi, merujuk data Badan Pusat Statistik yang ditampilkan oleh situs KataData, rasio gini ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia sejak 1973 hingga 2013 berfluktuasi pada rentang nilai 0,50-0,72. 

Rasio gini terendah terjadi pada 1983 dengan 0,50 sedangkan rasio gini tertinggi berada di tahun 2003 dengan angka 0,72.  Rasio gini kepemilikan lahan pada 2003 mencapai 0,72, artinya 1 persen penduduk Indonesia menguasai 72 persen sumber daya lahan.  

Rasio atau Indeks Gini atau koefisien adalah alat mengukur derajat ketidakmerataan distribusi penduduk. Indeks Gini dapat digunakan untuk melihat tingkat kemerataan atau ketimpangan distribusi luas penguasaan tanah dan pemilikan tanah yang terjadi di suatu wilayah. Rasio Gini berkisar antara 0 sampai dengan 1. Koefisien Gini di atas 0,5 menunjukkan ketimpangan yang tinggi, sedangkan ketimpangan sedang, ada di antara 0,4-0,5. 

Setelah 2014, BPS belum mengeluarkan data rasio gini ketimpangan lahan. Namun merujuk data lain, menurut Alexander Michael Tjahjadi, di tahun 2016, angka ketimpangan kepemilikan lahan ada di kisaran 0,58, menurut Menteri Agraria Sofyan Djalil. Sementara di tahun 2019, USAID melaporkan bahwa rasio gini pertanahan mencapai 0,57 .

Selain itu, berdasarkan dokumen yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional pada 2022, level rasio gini pertanahan saat ini berada di kisaran 0,58. Ini menunjukkan bahwa 1 persen populasi masih menguasai 58 persen lahan.

Namun, perlu menjadi catatan bahwa BPS dan BPN mempunyai cara perhitungan rasio gini pertanahan yang berbeda secara signifikan. Menurut Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Ahmad Nashih Luthfi, BPN tidak menghitung lahan di dalam kawasan hutan sehingga hanya mengolah data di bawah otoritasnya. Sedangkan BPS menghitung seluruh pertanahan baik yang masuk kawasan hutan, maupun di luar kawasan hutan. Sehingga data rasio gini lahan dari BPN lebih rendah dibanding BPS. 

Dengan demikian, klaim tentang rasio gini ketimpangan lahan sebesar 0,75 atau 1 persen penduduk menguasai 75 persen lahan tidak bisa diverifikasi atau ditelusuri sumber datanya. Sebab berdasarkan data yang tersedia menurut BPS pada 1973-2013, rasio gini ketimpangan lahan tertinggi terjadi pada 2003 yakni 0,72 atau 1 persen populasi menguasai 72 persen lahan. 

Meski begitu, merujuk seluruh sumber yang tersedia tersebut, kepemilikan lahan di Indonesia masih menunjukkan ketimpangan yang tinggi. 

Klaim 2: penguasaan lahan di Indonesia perlu ditata karena segelintir orang telah menguasai sebagian besar lahan di Indonesia

Menurut Peneliti Think Policy, Alexander Michael Tjahjadi, mengutip riset tahun 2022 dari Samosir dan Moeis yang menjelaskan tentang urgensi pertanahan. Riset itu mengungkap bagaimana pemberian tanah lebih dari 0,5 ha akan memberikan efek kesejahteraan pada masyarakat. Namun redistribusi tanah bukan hanya dengan skema sewa pertanahan, karena akan menyebabkan hilangnya kesejahteraan (welfare loss).

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam siaran persnya menyampaikan, mengingat ketimpangan agraria, kemiskinan struktural, krisis pangan dan regenerasi petani maka kandidat yang terpilih harus menempatkan agenda reforma agraria sebagai landasan utama pembangunan nasional.

Empat agenda dalam reforma agraria yang ditawarkan KPA:

1. Meluruskan dan mengoreksi paradigma kebijakan praktik reforma agraria di nasional.  

2. Reformasi kelembagaan di bidang agraria dan sumber daya alam (SDA). 

3. Reformasi sistem administrasi tanah dan SDA untuk mempercepat dan mengembangkan pengakuan negara atas keragaman bentuk penguasaan kekayaan agraria-SDA baik di darat, pesisir dan pulau-pulau kecil. 

4. Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM bagi petani, masyarakat adat nelayan dan perempuan yang sedang memperjuangkan hak atas tanah dan wilayah hidupnya di berbagai lansekap agraria (daratan, tanah, wilayah adat, perairan/laut, pesisir pulau kecil).

KESIMPULAN

Pernyataan Cawapres nomor urut 3, Mahfud MD bahwa 1 persen populasi menguasai 75 persen lahan di Indonesia tidak dapat diverifikasi. Meski begitu, seluruh data yang tersedia memang benar menunjukkan ketimpangan lahan masih cukup tinggi.

Berdasarkan riset terakhir menunjukkan penataan untuk mengatasi ketimpangan lahan tidak cukup hanya dengan redistribusi lahan, walaupun pemberian tanah lebih dari 0,5 hektar akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada. 

Penataan harus disertai reforma agraria yang mencakup reformasi kelembagaan SDA, reformasi sistem administrasi tanah dan SDA, serta penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM bagi petani, masyarakat adat nelayan dan perempuan yang sedang memperjuangkan hak atas tanah dan wilayah hidupnya.

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI)