Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keliru, Terbit SK Menag Larang Bahasa Arab Usai SKB 3 Menteri Larang Jilbab

Senin, 1 Maret 2021 19:18 WIB

Keliru, Terbit SK Menag Larang Bahasa Arab Usai SKB 3 Menteri Larang Jilbab

Klaim bahwa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan surat keputusan (SK) yang melarang bahasa Arab beredar di media sosial. Menurut klaim itu, SK tersebut dikeluarkan usai terbit Surat Keputusan Bersama atau SKB 3 Menteri, yakni Menag, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), serta Menteri Dalam Negeri (Mendagri), yang melarang jilbab.

Di Facebook, klaim itu dibagikan oleh akun ini pada 16 Februari 2021. "Setelah SKB3Menteri larang jilbab sekarang muncul SK Menag larang bahasa Arab, negeri sedang digiring kearah sekuler dan komonis," demikian narasi yang ditulis oleh akun tersebut. Hingga artikel ini dimuat, unggahan itu telah mendapatkan 71 reaksi dan 55 komentar.

Gambar tangkapan layar unggahan di Facebook yang berisi klaim keliru terkait Menteri Agama dan SKB 3 Menteri.

PEMERIKSAAN FAKTA

Untuk memverifikasi klaim tersebut, Tim CekFakta Tempo menelusuri keterangan resmi maupun pemberitaan terkait lewat mesin pencari Google. Namun, tidak ditemukan informasi, baik di situs resmi Kementerian Agama maupun di situs media, soal Menag Yaqut Cholil Qoumas yang menerbitkan SK pelarangan bahasa Arab. Justru, ditemukan sejumlah artikel yang menyatakan bahwa informasi itu hoaks.

Dilansir dari situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), klaim yang menyatakan bahwa Menag Yaqut mengeluarkan SK terkait larangan bahasa Arab keliru. Menurut penjelasan Kemenkominfo, yang mengutip situs media Medcom.id, tidak terdapat informasi yang valid dan resmi mengenai hal tersebut.

Pada Juli 2020 lalu, sempat beredar klaim bahwa Kemenag resmi menghapus mata pelajaran (mapel) Agama dan Bahasa Arab di madrasah. Menurut klaim ini, penghapusan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 183 Tahun 2019 tentang Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Bahasa Arab di Madrasah. Namun, Tempo telah memverifikasi klaim itu dan menyatakannya keliru.

Kemenag memang menerbitkan KMA Nomor 183 Tahun 2019, bersama KMA Nomor 184 Tahun 2019 tentang Pedoman Implementasi Kurikulum pada Madrasah. Terkait pelaksanaan KMA itu, Kemenag mengeluarkan surat edaran tersebut bagi para Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Provinsi, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten/Kota, serta Kepala Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madarasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA) se-Indonesia.

Dalam surat ini, terdapat tiga poin yang disampaikan. Pertama, pengelolaan pembelajaran di RA berpedoman pada KMA Nomor 792 Tahun 2018 tentang Pedoman Implementasi Kurikulum Raudhatul Athfal. Kedua, pengelolaan pembelajaran di MI, MTs, dan MA berpedoman pada KMA Nomor 183 Tahun 2019 serta KMA Nomor 184 Tahun 2019. Kedua KMA ini secara serentak berlaku di semua tingkatan kelas mulai tahun pelajaran 2020/2021.

“Sehingga, tidak ada lagi madrasah yang masih menggunakan Kurikulum 2006,” demikian isi poin kedua. Sementara poin ketiga, dengan berlakunya KMA 183 Tahun 2019 dan KMA 184 Tahun 2019, mulai tahun pelajaran 2020/2021, KMA Nomor 165 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Mata Pelajaran PAI dan Bahasa Arab di Madrasah sudah tidak berlaku lagi.

Menurut Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kemenag, Ahmad Umar, surat yang dikirim ke kanwil dan kantor Kemenag merupakan surat edaran biasa, bukan perintah menghapus mapel PAI dan Bahasa Arab. Surat itu berisi pelaksanaan KMA Nomor 183 tahun 2019 yang menggantikan KMA 165 tahun 2014. "Itu surat biasa yang bersifat mengingatkan tentang pelaksanaan kurikulum sesuai KMA 183 dan KMA 184 Tahun 2019," katanya.

SKB 3 Menteri Tidak Larang Jilbab

Pada awal Februari 2021, terbit SKB 3 Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Seperti dikutip dari Kompas.com, SKB tersebut ditandatangani oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas, Mendikbud Nadiem Makarim, dan Mendagri Tito Karnavian.

SKB 3 Menteri itu mengatur bahwa pemerintah daerah maupun sekolah tidak boleh mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama. Dalam SKB tersebut, pemerintah memperbolehkan siswa dan guru untuk memilih jenis seragamnya. Artinya, siswa dan guru dibebaskan untuk memilih mengenakan pakaian dan atribut yang memiliki kekhususan agama ataupun tidak.

Mendikbud Nadiem mengatakan SKB 3 Menteri ini hanya berlaku bagi sekolah negeri, sehingga tidak mengatur ketentuan berpakaian di sekolah swasta. “Sekolah negeri adalah sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk semua masyarakat Indonesia, dengan agama apapun, dengan etnisitas apapun, dengan diversifitas apapun. Berarti semua yang mencakup SKB 3 menteri ini mengatur sekolah negeri,” tutur Nadiem.

Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud, Jumeri, juga telah menegaskan bahwa SKB 3 Menteri itu tidak melarang peserta didik memakai jilbab ataupun kalung salib sebagai identitas agamanya. "Jadi, SKB ini tidak melarang peserta didik untuk mengenakan pakaian seragam yang berkarakter keagamaan di antara anak-anak. Tidak melarang," kata Jumeri pada 11 Februari 2021 seperti dikutip dari arsip berita Tempo.

Menurut Jumeri, yang tidak diperbolehkan oleh SKB 3 Menteri itu adalah mewajibkan peserta didik maupun melarangnya mengenakan sesuatu yang sesuai karakter keagamaannya. "Jadi, kepala sekolah, sekolah, maupun daerah tidak boleh mewajibkan, tapi juga tidak boleh melarang," ujarnya. SKB 3 Menteri, kata Jumeri, memberikan kesempatan seluas-luasnya pada anak-anak sesuai agama yang dianutnya.

Selain itu, pihak sekolah juga tetap dibolehkan menjalankan fungsi pendidikan keagamaan agar murid belajar dan mengamalkan ketakwaan kepada Tuhan. Misalnya, ia mencontohkan, guru agama mengajarkan agama sesuai yang dianut peserta didik untuk diamalkan. Namun, mereka tidak boleh memaksakan pemakaian seragam pada peserta didik.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa Menag Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan SK yang melarang bahasa Arab usai terbit SKB 3 Menteri yang melarang jilbab, keliru. Tidak ditemukan informasi, baik di situs resmi Kemenag maupun di situs media, soal Menag Yaqut yang menerbitkan SK pelarangan bahasa Arab. Selain itu, SKB 3 Menteri tidak memuat larangan jilbab. SKB tersebut mengatur bahwa pemerintah daerah maupun sekolah tidak boleh mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.

TIM CEK FAKTA TEMPO

Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id