Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sesat, Siswi SD Meninggal Karena Vaksin di Tengah Pandemi Covid-19

Kamis, 14 Januari 2021 16:43 WIB

Sesat, Siswi SD Meninggal Karena Vaksin di Tengah Pandemi Covid-19

Kanal YouTube Amri Putra Bungsu 82 membagikan video berita dari Kompas TV pada 6 Januari 2021. Video itu diberi judul “siswi SD meninggal dunia siap suntik vaksin”. Video yang telah ditonton lebih dari 13 ribu kali ini diunggah di tengah berjalannya program vaksinasi Covid-19.

Berita Kompas TV tersebut berisi laporan tentang seorang siswi sekolah dasar di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, yang meninggal setelah tiga hari sebelumnya disuntik vaksin difteri. Korban mengalami panas tinggi hingga kemudian meninggal di rumah sakit.

Gambar tangkapan layar unggahan kanal YouTube Amri Putra Bungsu 82 yang berisi klaim sesat terkait video yang diunggahnya.

PEMERIKSAAN FAKTA

Berdasarkan verifikasi Tempo, peristiwa yang diberitakan oleh Kompas TV dalm video itu sebenarnya terjadi pada 11 Januari 2018. Hasil diagnosis Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang menyatakan korban mengalami sepsis, yakni infeksi yang bisa menyebar ke seluruh tubuh, termasuk otak. Sepsis diduga terjadi karena diare akut yang diderita korban. Keluarga pun menolak autopsi sehingga klaim penyebab kematian karena vaksin tak bisa dibuktikan.

Untuk memeriksa klaim dalam unggahan kanal Amri Putra Bungsu 82, Tim CekFakta Tempo menelusuri video berita di kanal Kompas TV dengan kata kunci “siswi SD meninggal setelah divaksin”. Lewat cara ini, ditemukan bahwa video itu dimuat oleh Kompas TV di YouTube pada 11 Januari 2018 dengan judul "Polisi Menyelidiki Kasus Kematian Siswi SD Seusai Vaksin".

Menurut Kompas TV, siswi SD bernama Teariza itu meninggal setelah tiga hari sebelumnya menerima vaksin difteri di sekolahnya. Sore harinya, tubuh Teariza panas hingga dilarikan ke rumah sakit. Setelah tiga hari dirawat, dia meninggal. Saat itu, kepolisian setempat hendak menyelidiki penyebab kematian korban, namun terkendala karena pihak keluarga tidak mengizinkan jenazah diautopsi.

Dikutip dari iNews Jawa Barat, Kepala Bidang (Kabid) Penanggulangan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang Sri Sugiharti menyatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan rumah sakit, korban didiagnosis terkena sepsis. Sepsis disebabkan oleh infeksi yang bisa menyebar ke seluruh tubuh, termasuk otak. Akibatnya, terjadi penurunan kesadaran.

“Sepsis itu karena panas dan karena infeksi, diare yang sudah akut. Sore itu, katanya, korban juga habis makan seblak (yang diduga menyebabkan diare) dan cukup banyak sambalnya. Malamnya langsung buang air besar berkali-kali, sampai akhirnya Senin dibawa ke rumah sakit dan Selasa meninggal,” kata Sri memapaparkan dugaan penyebab meninggalnya korban.

Manfaat vaksin difteri

Dikutip dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), difteri adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, yang terutama menginfeksi tenggorokan dan saluran udara bagian atas, serta menghasilkan racun yang mempengaruhi organ lain. Vaksin difteri menjadi upaya untuk melindungi masyarakat, terutama anak-anak, dari penyakit ini.

Penemuan vaksin merupakan kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan yang terbukti memperpanjang usia harapan hidup manusia. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat vaksin difteri berhasil menurunkan jumlah kematian di awal abad ke-20. Di Ontario, Kanada, misalnya, tingkat kematian akibat difteri mencapai 50 orang per 100 ribu populasi. Kematian kemudian menurun menjadi sekitar 15 orang per 100 ribu pada Perang Dunia I setelah vaksin toksoid difteri digunakan secara luas pada akhir 1920.

Di Amerika Serikat, dulunya, difteri adalah penyebab umum penyakit dan kematian pada anak-anak. Pada 1920-an, AS pernah menangani sebanyak 200 ribu kasus dalam setahun. Berkat vaksin difteri, angka itu turun 99,9 persen.

Menurut data WHO, pada 1980, jumlah kasus difteri di Indonesia mencapai 3.674 kasus dan berhasil ditekan pada 1990-an setelah digalakkannya imunisasi lengkap difteri. Namun, difteri kembali meningkat pada 2010 dengan 432 kasus dan pada 2018 dengan 1.026 kasus.

Dikutip dari The Conversation, penyebab kasus difteri kembali tinggi karena beberapa faktor. Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2013, cakupan imunisasi difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) untuk anak usia 2-6 tahun di Indonesia hanya 75,6 persen. Padahal, cakupan idealnya adalah di atas 90 persen. Artinya, 24,6 persen anak Indonesia belum divaksinasi untuk ketiga penyakit tersebut.

Dugaan lainnya adalah pola distribusi vaksin dari pemerintah pusat ke daerah yang mempengaruhi suhu penyimpanan dan kondisi pengangkutan, sehingga memengaruhi efektivitas vaksin. Vaksin sangat sensitif terhadap panas, dan beberapa yang lain terhadap suhu beku.

Faktor berikutnya adalah munculnya kabar vaksin palsu yang menurunkan kepercayaan masyarakat. Ada pula beberapa kelompok masyarakat yang percaya bahwa vaksin tidak diperlukan karena kekebalan ada di setiap tubuh manusia.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, unggahan kanal YouTube Amri Putra Bungsu 82 tersebut menyesatkan. Video berita yang diunggah oleh kanal itu memang pernah dimuat oleh Kompas TV, namun peristiwa meninggalnya siswi SD dalam berita tersebut terjadi pada 2018, jauh sebelum munculnya Covid-19 serta berjalannya vaksinasi Covid-19. Kematian siswi SD itu pun belum terbukti diakibatkan oleh vaksin. Keluarga menolak jenazah diautopsi. Padahal, hanya autopsi yang bisa membuktikan benar atau tidaknya klaim bahwa vaksin difteri menyebabkan korban meninggal. Diagnosis sementara Dinas Kesehatan setempat menyebut korban mengalami diare akut yang memicu sepsis, infeksi yang bisa menyebar ke seluruh tubuh, termasuk otak.

IKA NINGTYAS

Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id