Keliru, Vaksin Sinovac Mengandung Bahan Berbahaya dan Virus Hidup yang Dilemahkan
Selasa, 5 Januari 2021 15:33 WIB
Klaim bahwa vaksin Covid-19 Sinovac mengandung bahan dasar yang berbahaya seperti boraks, formalin, dan merkuri beredar di Facebook. Klaim itu juga menyebut bahwa vaksin ini mengandung virus hidup yang telah dilemahkan serta berasal dari sel vero dari kera hijau Afrika.
Salah satu akun yang membagikan klaim itu adalah akun Juliana Humaira Ummu Syifa, yakni pada 4 Januari 2021. Dia menulis bahwa warga yang akan disuntik vaksin Sinovac hanya kelinci percobaan, karena kemasan vaksin tersebut bertuliskan "Only for Clinical Trial" atau "hanya untuk uji coba klinis".
"Dan perhatikan 'Composition and Description' Yaitu berasal dari Vero Cell atau berasal dari jaringan Kera hijau Afrika (Jelas tidak halal), kemudian mengandung Virus hidup yang dilemahkan, dan mengandung bahan dasar berbahaya (Boraks, formaline, aluminium, merkuri, dll). Belum lagi yang tidak tertulis pada kemasan yaitu tidak ada jaminan tidak tertular penyakit setelah di vaksin dan tidak ada jaminan atau kompensasi dari perusahaan Sinovac jika terjadi cedera vaksin atau KIPI pada korban Vaksin," demikian narasi yang ditulis oleh akun tersebut.
Akun ini pun melengkapi klaim tersebut dengan foto yang memperlihatkan vaksin Sinovac beserta kemasannya. Dalam kemasan itu tertulis "SARS-CoV-2 Vaccine (Vero Cell)". Di bawah tulisan ini, terdapat teks yang berbunyi "Only for Clininal Trial". Terdapat pula daftar bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan vaksin Sinovac dalam kemasan tersebut.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Juliana Humaira Ummu Syifa yang memuat klaim keliru terkait vaksin Covid-19 Sinovac.
PEMERIKSAAN FAKTA
Hasil pemeriksaan Tim CekFakta Tempo menunjukkan bahwa vaksin Covid-19 Sinovac tidak mengandung bahan berbahaya seperti boraks, formalin, dan merkuri. Vaksin ini pun tidak mengandung virus hidup yang dilemahkan. Dalam pembuatan vaksin Sinovac, sel vero memang digunakan, namun hanya untuk menumbuhkan virus yang nantinya akan diinaktivasi. Dalam produk finalnya, tidak ada lagi sel kera yang terlibat.
Untuk memeriksa klaim di atas, Tempo menghubungi ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Utomo serta menelusuri informasi dari beberapa pemberitaan dan jurnal medis. Berikut hasil cek fakta atas beberapa klaim tersebut:
Klaim 1: Vaksin Sinovac mengandung virus hidup yang dilemahkan
Menurut Ahmad Rusdan Utomo, yang juga dijelaskan dalam kanal YouTube miliknya, vaksin Sinovac menggunakan partikel virus SARS-CoV-2, virus Corona penyebab Covid-19, yang telah dimatikan, atau genomnya telah dirusak, bukan dilemahkan seperti yang terdapat dalam klaim di atas.
Sejumlah literatur menyebut metode yang dikenal dengan nama inactivated virus ini sudah lama digunakan, setidaknya sejak 1950-an. Partikel virus SARS-CoV-2 yang digunakan tersebut diisolasi dari berbagai tempat, seperti Cina, Swiss, Spanyol, Italia, dan Inggris. “Ini untuk memastikan partikel virus yang ada dalam vaksin itu mewakili beberapa tempat secara independen,” kata Ahmad pada 4 Januari 2021.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyebut metode inactivated virus sebagai salah satu dari tujuh teknologi pengembangan vaksin. Menurut WHO, kelebihan dari teknologi ini adalah dapat menginduksi respon antibodi yang kuat. Sebelum digunakan untuk memproduksi vaksin Covid-19, metode ini digunakan untuk mengembangkan vaksin influenza, rabies, dan hepatitis A.
Klaim 2: Sel vero dari kera hijau Afrika dan tidak halal
Ahmad Rusdan Utomo menjelaskan, dalam pembuatan vaksin Sinovac, sel vero memang digunakan untuk menumbuhkan virus. Sel vero adalah galur sel yang berasal dari sel epitel ginjal yang diekstrak dari kera hijau Afrika. “Jadi, bukan seperti monyetnya yang diambil,” kata Ahmad.
Setelah sel tumbuh, kata Ahmad, partikel-partikel virus yang berjumlah jutaan akan diinaktivasi dengan beta propiolactone sehingga genom dari virus tersebut rusak dan tidak bisa berkembang biak. Lalu, proses selanjutnya adalah filtrasi sehingga terjadi delusi.
“Jadi, dalam produk finalnya, tidak ada lagi hal-hal yang dikhawatirkan, seperti sel kera. Dan tidak mungkin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan memberikan otorisasi, digunakan dalam vaksinasi, tanpa diuji keamanannya,” tutur Ahmad.
Dilansir dari Detik.com, juru bicara vaksin Covid-19 PT Bio Farma Bambang Herianto menyatakan, dalam produksi vaksin Sinovac, sel vero hanya digunakan dalam pengembangan kultur virus untuk proses perbanyakan virus. "Kalau tidak ada media kultur, maka virus akan mati dan tidak bisa digunakan untuk pembuatan vaksin," ujarnya.
Menurut Bambang, dalam pembuatan vaksin Sinovac, sel vero tidak akan terlibat hingga proses akhir. "Vaksin Covid-19 Sinovac saat ini sedang dalam proses aspek kehalalannya oleh LP POM MUI untuk mendapatkan sertifikasi halal," ujar Bambang.
Dikutip dari The New York Times, vaksin Sinovac dikembangkan dengan menumbuhkan SARS-CoV-2 dalam jumlah yang besar di sel ginjal monyet. Kemudian, mereka menyiram virus itu dengan bahan kimia yang disebut beta propiolactone. Senyawa ini menonaktifkan virus Corona yang terikat pada gennya. Virus Corona yang tidak aktif tidak akan bisa lagi bereplikasi. Tapi, protein mereka, termasuk protein Spike, tetap utuh.
Peneliti kemudian mengambil virus yang tidak aktif itu dan mencampurkannya dengan sejumlah kecil senyawa berbasis aluminium yang disebut adjuvan. Adjuvan merangsang sistem kekebalan untuk meningkatkan responsnya terhadap vaksin. Karena virus Corona dalam vaksin sudah mati, mereka dapat disuntikkan ke lengan tanpa menyebabkan Covid-19. Begitu masuk ke dalam tubuh, beberapa virus yang tidak aktif ditelan oleh sejenis sel kekebalan yang disebut sel pembawa antigen.
Klaim 3: Mengandung bahan dasar berbahaya seperti boraks, formalin, dan merkuri
Nama kimia boraks adalah Natrium Tetraborat (Na4B2O7), Natrium Tetraborat Pentahidrat (Na4B2O7.5H2O), dan Natrium Tetraborat Dekahidrat (Na2B4o7.10H2O). Formalin merupakan senyawa kimia formaldehida yang juga kerap disebut metanal. Sementara merkuri punya nama lain air raksa atau hydrargyrum.
Berdasarkan penelusuran Tempo, nama-nama ketiga bahan tersebut tidak tertulis dalam kemasan vaksin Sinovac sebagaimana yang terlihat dalam foto di atas. Bahan yang tertera dalam kemasan yakni aluminium hydroxide, disodium hydrogen phosphate, sodium dihydrogen phosphate, dan sodium chloride.
Menurut penjelasan Ahmad Rusdan Utomo, empat bahan kimia yang tertera dalam kemasan tersebut digunakan sebagai penstabil tingkat keasaman (pH) agar pH vaksin tetap berada dalam kisaran pH darah, yakni sekitar 7,3-7,4.
Klaim 4: Vaksin Sinovac untuk kelinci percobaan
Lewat reverse image tool Google, Tempo menemukan bahwa foto di atas pernah diterbitkan oleh situs media Nikkei pada 7 September 2020. Nikkei memberikan keterangan bahwa foto itu bersumber dari Associated Press (AP) dengan penjelasan: "Vaksin uji coba dari Sinovac Biotech sebelum diberikan kepada sukarelawan di Brasil bulan lalu. Perusahaan juga memberikan vaksin yang diusulkan kepada karyawannya di Cina."
Dilansir dari Reuters, pada akhir Juli 2020, beberapa kandidat vaksin Covid-19, termasuk dari Sinovac, menjalani uji klinis besar di Brasil. Negara ini mencatatkan lebih dari 2,7 juta kasus Covid-19 dan hampir 95 ribu kematian, menempati urutan kedua setelah Amerika Serikat.
Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS (CDC) menjelaskan ada enam tahap dalam pengembangan vaksin, yakni eksplorasi, pra-klinis, pengembangan klinis, tinjauan peraturan dan persetujuan, produksi, dan kontrol kualitas. Pengembangan klinis meliputi tiga fase. Selama fase I, sejumlah orang menerima vaksin percobaan. Pada fase II, studi klinis diperluas dan vaksin diberikan kepada orang yang memiliki karakteristik (seperti usia dan kesehatan fisik) yang mirip dengan orang yang menjadi sasaran vaksin.
Pada fase III, vaksin diberikan kepada ribuan orang serta diuji efikasi dan keamanannya. Pelibatan warga Indonesia dalam uji coba vaksin Sinovac termasuk dalam fase III ini. Selain Indonesia, Brasil dan Bangladesh berpartisipasi dalam uji klinis fase III vaksin Sinovac. Vaksin Covid-19 lain pun diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang berbasis di AS dan Inggris. Sama halnya dengan Sinovac, perusahaan-perusahaan itu menerapkan prosedur yang mengujicobakan vaksin buatannya kepada warga negara lain.
Sebelum diujicobakan ke luar Cina, vaksin Covid-19 Sinovac itu telah terlebih dahulu menjalani uji coba fase I dan fase II yang melibatkan sejumlah warga Cina. Sinovac memulai pengembangan kandidat vaksin dari virus yang tidak aktif pada 28 Januari. Pada 13 April, Administrasi Produk Medis Nasional Cina (NMPA) memberikan persetujuan untuk uji klinis fase I dan fase II yang dimulai pada 16 April di Provinsi Jiangsu. Uji klinis fase I dan fase II itu melibatkan orang dewasa sehat berusia 18-59 tahun. Mereka diberi vaksin selama 14 hari.
Penggunaan vaksin Sinovac di Indonesia sendiri masih menunggu izin pengunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) dari BPOM. Penerbitan EUA oleh BPOM saat ini masih dalam proses. Mengikuti persyaratan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, otoritas mesti melakukan pengamatan terhadap interim analisis dari uji klinis vaksin minimal tiga bulan untuk memperoleh data keamanan dan khasiatnya.
Bambang Herianto pun telah memberikan penjelasan terkait tulisan "Only for Clinical Trial" di kemasan vaksin Sinovac dalam foto yang beredar. Menurut dia, vaksin dalam foto itu adalah vaksin yang dipakai dalam uji klinis fase III yang saat ini sedang dilaksanakan.
Sementara vaksin Sinovac yang akan digunakan untuk vaksinasi (jika telah mendapatkan UEA dari BPOM) memiliki kemasan yang berbeda, tidak ada tulisan "Only for Clinical Trial". Dalam kemasan vaksin uji klinis, juga terdapat wadah vaksin sekaligus jarum suntik. Sementara dalam kemasan vaksinasi, hanya terdiri dari vial single dose.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa vaksin Covid-19 Sinovac mengandung bahan dasar yang berbahaya seperti boraks, formalin, dan merkuri serta virus hidup yang dilemahkan, keliru. Meskipun begitu, hingga artikel ini dimuat, vaksinasi warga dengan vaksin Sinovac belum dilakukan karena masih menunggu izin pengunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke [email protected]