Keliru, WHO Bandingkan Efektivitas 10 Vaksin Covid-19 dan Sebut Sinovac yang Terendah
Kamis, 31 Desember 2020 14:41 WIB
Akun Instagram @wawsehat membagikan informasi yang berisi klaim bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut vaksin Sinovac sebagai vaksin Covid-19 yang paling lemah. Kesimpulan itu diambil setelah WHO disebut melakukan perbandingan efektivitas 10 vaksin Covid-19 yang siap diedarkan.
Klaim itu diunggah oleh akun @wawsehat pada 24 Desember 2020. Hingga artikel ini dimuat, unggahan akun tersebut telah disukai lebih dari 1,5 ribu kali. Akun ini pun menulis bahwa informasi tersebut berasal dari situs media Aljazeera. Namun, akun ini tidak menyertakan tautan berita Aljazeera itu.
“Sinovac buatan China menjadi vaksin yang memiliki pengaruh paling rendah atau efektivitasnya paling rendah dibandingkan dengan 9 vaksin lainnya. Sementara itu, vaksin moderna dan vaksin Pfizer menjadi vaksin yang disebut-sebut lebih efektif dibandingkan vaksin lainnya. Karena itu, sejumlah negara di dunia rata-rata memesan vaksin Moderna dan vaksin Pfizer,” demikian sebagian narasi yang ditulis oleh akun tersebut.
Gambar tangkapan layar unggahan akun Instagram @wawsehat yang memuat klaim keliru terkait WHO dan vaksin Covid-19.
PEMERIKSAAN FAKTA
Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, tidak ditemukan penjelasan di situs resmi WHO maupun pemberitaan di Aljazeera bahwa organisasi kesehatan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu menyebut vaksin Sinovac sebagai vaksin Covid-19 yang paling lemah.
Lewat pencarian di situs resmi WHO dengan kata kunci “Covid-19 vaccine”, Tempo menemukan 39 artikel terkait dengan vaksin Covid-19. Namun, dari semua artikel tersebut, tidak satu pun berisi informasi bahwa WHO menyebut vaksin Sinovac paling lemah dibanding sembilan kandidat vaksin Covid-19 lainnya.
Dalam artikel berjudul "COVAX Announces additional deals to access promising COVID-19 vaccine candidates; plans global rollout starting Q1 2021" yang terbit pada 21 Desember 2020, WHO hanya menjelaskan tentang 10 kandidat vaksin yang melibatkan investasi Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI). Dari 10 kandidat vaksin itu, sembilan di antaranya masih dalam pengembangan, di mana tujuh di antaranya dalam tahap uji klinis.
Sepuluh kandidat vaksin tersebut adalah AstraZeneca/University of Oxford (Tahap 3); Clover Biopharmaceuticals, Cina (Tahap 1); CureVac, Jerman (Tahap 2B/3); Inovio, Amerika Serikat (Tahap 2); Institut Pasteur/Merck/Themis, Prancis/AS/Austria (Tahap 1); Moderna, AS (Tahap 3); Novavax, AS (Tahap 3); SK bioscience, Korea Selatan (Praklinis); University of Hong Kong, Hong Kong (Praklinis); University of Queensland/CSL, Australia (Tahap 1, program dihentikan).
CEPI sendiri merupakan kemitraan inovatif antara publik, swasta, filantropi, dan organisasi sipil, yang diluncurkan di Davos, Swiss, pada 2017 untuk mengembangkan vaksin guna menghentikan epidemi di masa depan. CEPI telah bergerak dengan sangat mendesak dan berkoordinasi dengan WHO dalam menanggapi munculnya Covid-19.
Adapun lewat penelusuran di Google dengan memasukkan kata kunci yang sama, “Covid-19 vaccine”, juga tidak menemukan berita bahwa WHO menyebut vaksin Sinovac paling lemah. Dalam sebuah berita di Aljazeera pada 18 November 2020 yang berjudul "Where are we in the Covid-19 vaccine race?", pejabat WHO Swaminathan menyatakan belum bisa mengambil kesimpulan tentang perlindungan jangka panjang dan efek samping dari seluruh vaksin yang sedang diuji coba.
“Semua hasil yang kami lihat sejauh ini didasarkan pada tiga atau empat bulan analisis tindak lanjut, yang berarti bahwa kami belum bisa mengatakan apapun tentang perlindungan jangka panjang (dari vaksin), atau tentang efek sampingnya,” kata Swaminathan. “Dalam kondisi yang lain, Anda tidak akan pernah menggunakan vaksin dalam waktu terbatas. Tapi, karena berada di tengah pandemi, kita harus menyeimbangkan antara risiko dan kebutuhan.”
Menurut arsip berita Tempo, pada 21 Desember 2020, juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Lucia Rizka Andalusia juga telah membantah bahwa vaksin Sinovac memiliki kualitas paling lemah di antara kandidat vaksin lainnya. "Hingga saat ini, tidak ada dokumen dan informasi resmi dari WHO yang membandingkan respons imunitas 10 kandidat vaksin, atau pernyataan bahwa vaksin Sinovac rendah," ujarnya.
Dia menambahkan, sampai saat ini, belum ada pengumuman tingkat efikasi vaksin Sinovac, baik dari pihak produsen maupun badan pengawas obat di negara tempat dilakukannya uji klinis. Selain itu, kata Lucia, informasi bahwa hanya Indonesia yang memesan vaksin Sinovac tidak tepat. "Sejumlah negara telah melakukan pemesanan vaksin Covid-19 dari Sinovac, seperti Brasil, Turki, Chili, Singapura, dan Filipina. Bahkan, Mesir juga sedang bernegosiasi untuk bisa memproduksi vaksin Sinovac di negaranya," ujar dia.
Efikasi vaksin Covid-19
Tempo merangkum beberapa pemberitaan media mengenai efikasi vaksin Covid-19 yang diuji coba di sejumlah negara. Efikasi vaksin adalah kemampuan vaksin untuk memberikan manfaat bagi individu yang mendapatkan vaksinasi.
Dikutip dari Aljazeera, hasil terbaru dari uji coba vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca dan University of Oxford menunjukkan bahwa vaksin ini aman dan sekitar 70 persen efektif, walaupun tetap muncul pertanyaan tentang seberapa baik vaksin itu dapat membantu melindungi mereka yang berusia di atas 55 tahun.
Vaksin lainnya, vaksin Pfizer, menunjukkan kemanjuran 95 persen dalam mencegah infeksi Covid-19 yang bergejala, diukur sejak tujuh hari setelah dosis kedua diberikan. Vaksin terlihat kurang lebih sama protektifnya di seluruh kelompok usia serta kelompok ras dan etnis.
Untuk vaksin Moderna, dilansir dari Stat News, diklaim 94,1 persen efektif mencegah gejala Covid-19, diukur sejak 14 hari setelah dosis kedua diberikan. Kemanjuran vaksin kemungkinan sedikit lebih rendah pada orang berusia 65 tahun ke atas. Namun, saat presentasi di depan komite penasihat Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA), perusahaan menjelaskan bahwa angka tersebut dapat dipengaruhi oleh fakta bahwa muncul beberapa kasus pada kelompok usia tersebut dalam uji coba. Di sisi lain, vaksin ini kemungkinan sama efektifnya di berbagai kelompok etnis dan ras.
Sementara vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Sinovac, dikutip dari Straits Times, ditemukan lebih dari 50 persen efektif dalam uji klinis Brasil, meskipun para peneliti menunda merilis lebih banyak informasi terkait itu atas permintaan perusahaan. Tingkat kemanjuran 50 persen adalah standar minimum yang ditetapkan oleh regulator AS untuk otorisasi darurat vaksin Covid.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa WHO membandingkan efektivitas 10 vaksin Covid-19 dan menyebut vaksin Sinovac yang terendah, keliru. Informasi itu disebut berasal dari Aljazeera. Namun, berdasarkan penelusuran, Aljazeera tidak pernah mempublikasikan berita yang mengutip perbandingan efektifitas 10 vaksin Covid-19 oleh WHO.
IKA NINGTYAS
Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke [email protected]