Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keliru, Vaksin Covid-19 Ubah DNA dan Sebabkan Cacat Genetik Seumur Hidup

Senin, 21 Desember 2020 16:34 WIB

Keliru, Vaksin Covid-19 Ubah DNA dan Sebabkan Cacat Genetik Seumur Hidup

Klaim bahwa vaksin Covid-19 dapat mengubah DNA orang yang mendapatkan vaksin tersebut, kemudian menyebabkan cacat genetik seumur hidup, beredar di Facebook. Narasi ini diunggah salah satunya oleh akun Amir Hasanudin, tepatnya pada 19 Desember 2020. Klaim itu beredar ketika sejumlah negara telah memberikan izin penggunaan darurat vaksin Covid-19. Inggris, Amerika Serikat, dan Swiss misalnya, telah mengeluarkan izin penggunaan darurat vaksin Pfizer dan BioNTech.

“Saat kau disuntik vaksin covid-19, maka DNA-mu akan berubah, kau akan mengalami cacat genetik yg serius seumur hidup, tdk ada ahli kesehatan manapun yg akan sanggup menolongmu, Bahkan tdk hny itu kau menderita cacat genetik yg permanen yg akan kau turunkan kpd generasimu... Padahal kita tdk tahu, DNA apa yg akan ditambahkan ke DNA kita, saat kita disuntik vaksin itu, DNA/RNA babikah, monyetkah, tikuskah...?” demikian sebagian narasi yang ditulis oleh akun tersebut.

Gambar tangkapan layar unggahan akun Facebook Amir Hasanudin yang memuat klaim keliru terkait vaksin Covid-19.

PEMERIKSAAN FAKTA

Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, cara kerja vaksin tidak serta-merta memasukkan DNA/RNA milik hewan lain ke dalam tubuh manusia. Karena itu, vaksin tidak bisa mengubah DNA seseorang dan menyebabkan cacat genetik seumur hidup. Pembuatan vaksin membutuhkan penelitian yang panjang dan melalui prosedur tahap uji yang ketat untuk memastikan tingkat efektivitas dan keamanannya pada manusia.

Vaksin telah menyelamatkan banyak nyawa dari wabah penyakit. Misalnya, program imunisasi campak pada 2000-2008 yang menurunkan jumlah penderita campak. Padahal, campak adalah penyakit yang diakibatkan oleh virus yang sangat menular, ditandai dengan demam dan timbulnya ruam merah pada kulit, yang dapat menimbulkan kematian bila menyerang seseorang dengan daya tahan tubuh yang lemah. Secara global, sekitar 78 persen kematian bisa ditekan, dari semula 750 ribu menjadi 164 ribu kematian per tahun setelah vaksinasi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjelaskan seluruh vaksin mengandung bakteri, virus, atau komponen lainnya yang dengan kemajuan teknologi sudah dikendalikan. Vaksin mengandung antigen yang sama dengan antigen yang menyebabkan penyakit. Namun, antigen yang ada di dalam vaksin tersebut sudah dikendalikan (dilemahkan). Karena itu, pemberian vaksin tidak menyebabkan seseorang menderita penyakit seperti jika orang tersebut terpapar/terpajan dengan antigen yang sama secara alamiah.

Tujuan utama dari semua jenis vaksin adalah merangsang sistem kekebalan dalam tubuh seseorang untuk melawan antigen. Dengan demikian, apabila antigen tersebut menginfeksi kembali, reaksi imun pertahanan tubuh untuk melawan setiap benda asing atau organisme, misalnya bakteri, virus, organ, atau jaringan transplantasi, yang lebih kuat akan timbul.

Badan pengawas obat dan makanan setiap negara harus menjamin bahwa setiap vaksin yang beredar di pasaran serta dimanfaatkan oleh program imunisasi dan masyarakat harus aman. Beberapa vaksin memang memiliki efek samping ringan yang umum terjadi, seperti demam, lemas, atau timbul alergi karena tidak cocok dengan antigen tertentu. Sebagian besar gejala-gejala ini bisa disembuhkan.

Vaksin Covid-19

Dikutip dari jurnal sains Nature edisi 11 Desember 2020, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) telah memberikan izin penggunaan darurat vaksin Covid-19 yang dibuat oleh Pfizer bersama BioNTech. Keputusan ini didasarkan pada data lebih dari 43 ribu relawan yang telah menerima suntikan vaksin kedua.

Analisis terhadap 170 kasus pertama Covid-19 dalam kelompok tersebut menunjukkan bahwa vaksin ini 95 persen efektif mencegah infeksi SARS-CoV-2, virus Corona penyebab Covid-19, yang bergejala. Hasil uji coba tersebut telah dipublikasikan pada 10 Desember 2020 di The New England Journal of Medicine.

Vaksin itu disebut aman, di mana uji coba menemukan efek samping yang umum terjadi, seperti kelelahan, sakit kepala, dan demam. Ditemukan pula empat kasus bell's palsy, suatu kondisi yang secara sementara melemahkan beberapa otot di wajah, di antara mereka yang menerima vaksin. Tapi FDA tidak bisa secara pasti mengaitkan kondisi tersebut dengan vaksin.

Sedangkan di Indonesia, efek samping yang muncul dalam uji klinis vaksin Sinovac adalah demam pada sekitar 20 persen relawan yang diimunisasi. Namun, demam ini sembuh dalam dua hari. “Panas tubuhnya ada yang demam hingga lebih dari 37,5 derajat Celsius,” kata Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Sinovac dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Kusnandi Rusmil, pada 27 November 2020 seperti dikutip dari Tempo.

Meski begitu, penggunaan darurat vaksin Sinovac masih harus mengantongi izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Izin tersebut baru dikeluarkan setelah BPOM mendapatkan hasil pengamatan uji klinis vaksin Sinovac di Indonesia selama tiga bulan. Merujuk pada pedoman WHO, izin penggunaan dalam keadaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) dapat diberikan jika keampuhan vaksin mencapai minimal 50 persen selama periode itu.

Pendapat para ahli

Dikutip dari kantor berita Reuters, Mark Lynas dari grup Alliance for Science Universitas Cornell mengatakan tidak ada vaksin yang dapat memodifikasi DNA manusia secara genetik. “Itu hanya mitos, yang sering disebarkan secara sengaja oleh aktivis anti vaksinasi sehingga sengaja menimbulkan kebingungan dan ketidakpercayaan,” ujarnya.

Menurut dia, modifikasi genetik akan melibatkan penyisipan DNA asing yang disengaja ke dalam inti sel manusia. Hal ini bukan cara kerja vaksin, sebab vaksin bekerja dengan melatih sistem kekebalan untuk mengenali patogen (penyakit) saat mencoba menginfeksi tubuh. Sebagian besar caranya dilakukan dengan menyuntikkan antigen virus atau virus hidup yang dilemahkan yang merangsang respons kekebalan melalui produksi antibodi.

Lynas menambahkan DNA yang terkandung dalam vaksin DNA pun tidak masuk atau menyatu ke dalam inti sel, sehingga tidak mungkin memicu modifikasi genetik. Apabila sel dalam tubuh membelah, mereka hanya akan menyertakan DNA alami seseorang, tidak melibatkan DNA dari vaksin.

Paul McCray, profesor pediatri, mikrobiologi, dan penyakit dalam di Universitas Iowa, menjelaskan vaksin Covid-19 menggunakan protein utama, yakni protein spike (S) dari virus yang digunakan, untuk meningkatkan sistem kekebalan. Protein ini dapat diberikan sebagai vaksin dalam sejumlah bentuk: sebagai virus yang tidak aktif (mati) atau sebagai protein yang diekspresikan dalam vektor DNA/RNA yang akan memicu sel-sel membuat protein tersebut.

Jadi, satu-satunya modifikasi pada inang adalah dengan merangsang sel-sel manusia untuk membuat protein tersebut. Selanjutnya, itu dapat menjadi antibodi dan sel T yang akan mencegah infeksi virus atau membunuh sel yang terinfeksi untuk mencegah atau mengurangi keparahan penyakit.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa vaksin Covid-19 dapat mengubah DNA orang yang mendapatkan vaksin tersebut, kemudian menyebabkan cacat genetik seumur hidup, keliru. Cara kerja vaksin adalah dengan menyuntikkan antigen virus atau virus hidup yang telah dilemahkan dengan tujuan merangsang respons kekebalan tubuh terhadap virus tersebut melalui produksi antibodi. DNA yang terkandung dalam vaksin DNA pun tidak masuk atau menyatu ke dalam inti sel manusia, sehingga tidak mungkin memicu modifikasi genetik. Pembuatan vaksin sendiri melalui berbagai tahap uji yang ketat untuk memastikan efektivitas dan tingkat keamanannya pada manusia. Beberapa vaksin sebelumnya, seperti vaksin cacar, terbukti dapat menurunkan tingkat kematian.

IKA NINGTYAS

Anda punya data/informasi berbeda, kritik, atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id