Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

[Fakta atau Hoaks] Benarkah MUI Pernah Keluarkan Fatwa Haram Kuas Bulu Babi?

Kamis, 24 September 2020 11:42 WIB

[Fakta atau Hoaks] Benarkah MUI Pernah Keluarkan Fatwa Haram Kuas Bulu Babi?

Foto sebuah poster yang berisi klaim bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa haram terhadap kuas bulu babi beredar di media sosial dan grup-grup percakapan WhatsApp. Dalam poster berwarna hijau-kuning ini, terdapat foto kuas berbahan bulu serta foto babi hutan.

Di atas foto itu, terdapat tulisan "Awas!! Kuas Bulu Babi". Sementara di bawah foto tersebut, ada tulisan "Fatwa MUI: Haram". Terdapat pula tulisan di samping foto itu, yakni ciri-ciri kuas yang diklaim berbulu babi tersebut.

"Ada tulisan Eterna, ada tulisan 'Bristle', warnanya tidak homogen (putih, krem, berselang hitam), bila dibakar berbau seperti daging panggang," demikian ciri-ciri yang tertulis dalam poster ini. Di bagian bawah poster, tercantum alamat situs MakanHalal.com.

Poster terkait kuas bulu babi yang beredar di media sosial dan grup-grup percakapan WhatsApp.

Apa benar MUI pernah mengeluarkan fatwa haram kuas bulu babi?

PEMERIKSAAN FAKTA

Berdasarkan penelusuran Tim CekFakta Tempo, isu tentang kuas bulu babi haram ini telah beredar di internet setidaknya sejak 2008, dan terus dibagikan ulang hingga kini. Namun, berdasarkan arsip berita Tempo pada 4 September 2019, MUI telah membantah isi foto yang berisi klaim fatwa haram terkait kuas bulu babi.

"Perlu diketahui bahwa MUI tidak melakukan sertifikasi terhadap bahan gunaan seperti pada kuas tersebut," kata Wakil Sekretaris Jenderal MUI Bidang Fatwa Sholahudin Al Ayub saat dihubungi Tempo pada 4 September 2019.

Lebih lanjut, Ayub menjelaskan bahwa MUI hanya mengeluarkan fatwa halal pada produk, makanan, minuman, obat, kosmetik, serta barang gunaan (tertentu). "Perlu diketahui juga bahwa MUI tidak menetapkan fatwa haram, tapi fatwa halal," katanya.

Dilansir dari Republika, isu tentang kuas bulu babi berawal ketika seorang anggota Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI melakukan audit halal ke sebuah perusahaan kue dan roti di Jakarta. Dia menemukan, pada gagang kuas yang digunakan untuk mengoles loyang dan permukaan roti, terdapat kata "bristle". Menurut laporan Republika, dalam Kamus Webster, kata itu berarti bulu babi.

Namun, setelah Tempo mengecek ke Kamus Wesbter, kata "bristle" berarti "struktur tipis dan fleksibel yang menyerupai rambut". Hal ini juga tercantum dalam artikel di situs resmi LPPOM MUI yang berjudul "Tidak Semua Bristle Berasal dari Bulu Babi" pada 30 Desember 2019.

Menurut artikel yang ditulis oleh senior auditor LPPOM MUI Hendra Utama itu, beredar isu dari tahun ke tahun bahwa kuas atau sikat yang terbuat dari "bristle" pasti berasal dari babi. Faktanya, menurut dia, istilah "bristle" tidak selalu mengacu kepada bulu babi.

Makna bristle secara leksikal, menurut Kamus Webster, adalah "a short, stiff hair, fiber, etc". Jadi, semua rambut atau serat yang kaku akan disebut sebagai bristle. Jenggot yang kaku pun bisa dikategorikan sebagai bristle. Contoh lain adalah ijuk atau daun pinus yang kaku.

Lantas, bagaimana aplikasinya di dunia industri? Bristle memang digunakan sebagai bahan pembuat kuas atau sikat, termasuk sikat gigi. Bristle yang dimaksud bisa bersumber dari bulu hewan, serat tanaman, atau serat sintetik seperti nilon dan silikon.

Bulu hewan yang digunakan bisa bersumber dari babi, kambing, kuda, atau unta. Serat tanaman yang pernah digunakan sebagai bahan kuas atau sikat adalah ijuk. Nilon pun merupakan serat sintetik yang jamak digunakan untuk bahan kuas ataupun sikat.

Dari aspek kehalalan, bahan kuas dan sikat yang berasal dari bulu hewan adalah titik kritis. Ketika berbahan bulu babi, kuas dan sikat tidak boleh digunakan karena bahan apapun yang berasal dari babi adalah haram sekaligus najis, baik dalam bentuk kering ataupun basah. Selain keharaman zatnya, MUI sudah memfatwakan bahwa apapun yang berasal dari babi haram untuk pemanfaatannya (al-intifa), termasuk bulunya.

Meskipun begitu, tidak semua pengguna kuas atau sikat mampu mengenali apakah kuas yang digunakannya berasal dari bulu babi. Salah satu penanda bahwa sikat atau kuas berasal dari bulu babi adalah tulisan “boar bristle brush”. "Boar" adalah istilah bahasa Inggris untuk babi hutan. Artinya, produk tersebut merupakan sikat yang menggunakan bulu babi hutan.

Namun, Hendra kembali menjelaskan bahwa kuas atau sikat tidak selalu terbuat dari babi walaupun ada tulisan "bristle" di gagangnya, karena istilah "bristle" bersifat umum. Ada beberapa produsen yang menggunakan bulu kambing, unta, atau kuda sebagai bahan kuas, atau nilon. Kelompok bahan terakhir ini jelas boleh digunakan.

Ketika tidak ada informasi soal bahan pada gagang kuas atau sikat, untuk memastikan apakah berbahan bulu hewan, kuas atau sikat tersebut bisa dibakar. Jika baunya seperti rambut atau tanduk yang terbakar, kuas atau sikat itu berbahan bulu hewan. Bahan dari plastik atau sabut kelapa tidak mengeluarkan bau khas semacam itu jika dibakar.

Dilansir dari Okezone, Head of Operation Kampoeng Bakery Indonesia Melda Chaidar mengatakan kuas berbahan bulu kemungkinan terbuat dari plastik atau bulu binatang. Cara untuk mengetes bahan baku pembuatan kuas bulu ini adalah dibakar. "Kalau meleleh dan tidak bau, berarti plastik. Kalau terbakar dan berbau khas bulu binatang, berarti bulu binatang," katanya.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa "MUI pernah mengeluarkan fatwa haram kuas bulu babi" keliru. MUI membantah pernah melakukan sertifikasi terhadap bahan seperti pada kuas tersebut. Istilah "bristle" pun tidak selalu mengacu pada bulu babi, tapi juga bulu binatang lainnya, seperti kambing, kuda, unta, dan sebagainya, serta serat tanaman atau serat sintetik seperti nilon dan silikon.

ZAINAL ISHAQ

Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cek fakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id