Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

[Fakta atau Hoaks] Benarkah Pemerintahan Jokowi Telah Mengesahkan UU Suara Azan?

Selasa, 5 November 2019 16:57 WIB

[Fakta atau Hoaks] Benarkah Pemerintahan Jokowi Telah Mengesahkan UU Suara Azan?

Gambar tangkapan layar yang berisi narasi bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah mengesahkan Undang-Undang (UU) tentang suara azan beredar di media sosial. Gambar itu berasal dari akun Facebook Tanvan Sellow pada Jumat, 1 November 2019. Oleh akun tersebut, gambar itu dijadikan sebagai foto profil.

Berikut narasi lengkap dalam gambar tangkapan layar yang diunggah akun Tanvan Sellow:

“Tadi malam, UU tentang suara azan telah disahkan. Dan barang siapa yg terganggu dgn suara azan, boleh melaporkan ke aparat terdekat. Dn pemerintah Jokowi akan bertindak tegas dengan pelanggaran UU. Yg bertanggung jawab atas suara azan yg keras adalah ustat atau pengurus masjid.”

Pada gambar tangkapan layar tersebut, terdapat pula potongan kliping koran yang memuat berita dengan judul "Kemenag akan Atur Volume Speaker Masjid". Sejak diunggah, gambar tangkapan layar itu telah dibagikan sebanyak 397 kali.

Gambar tangkapan layar unggahan akun di Facebook tentang pengesahan Undang-Undang tentang suara azan.

PEMERIKSAAN FAKTA

Untuk mengecek narasi bahwa pemerintahan Presiden Jokowi telah mengesahkan UU tentang suara azan, Tim CekFakta Tempo menelusuri pemberitaan terkait di mesin pencarian Google dengan kata kunci “Undang-Undang Suara Azan.” Hasilnya, tidak ditemukan berita mengenai UU tersebut pada media arus utama ataupun sumber informasi lainnya.

Berita yang pernah beredar, yakni pada Agustus 2018, adalah mengenai aturan pengeras suara masjid. Berdasarkan arsip pemberitaan Tempo, perbincangan seputar pengeras suara masjid mengemuka setelah seorang wanita yang bernama Meiliana divonis penjara selama 1,5 tahun karena kasus penodaan agama. Meiliana pernah menyampaikan keberatannya kepada seorang tetangganya soal pengeras suara masjid yang terlalu kencang.

Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nomor B.3940/DJ.III/HK.00.07/08/2018 terkait "Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla", Kemenag meminta ketiga tempat ibadah tersebut merujuk Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Nomor Kep/D/101/1978.

Dirjen Bimas Islam Kemenag, Muhammadiyah Amin, mengatakan bahwa aturan yang dibuat pada 1978 tersebut masih berlaku. "Hingga saat ini, belum ada perubahan," kata Amin seperti dikutip dari situs resmi Kemenag. Dalam laman tersebut, Kemenag bahkan mencantumkan tautan ke aturan soal pengeras suara di masjid.

Gambar tangkapan layar Instruksi Dirjen Bimas Islam Kemenag tentang tuntunan penggunaan pengeras suara masjid yang diterbitkan pada 1978.

Berikut enam poin aturan soal azan masjid dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam Kemenag:

  1. Perawatan penggunaan pengeras suara seharusnya dilakukan orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Ini menghindari suara bising, dengung, yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala.
  2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Al-Quran, dan lain-lain) harus memiliki suara yang fasih, merdu, dan enak, tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindari anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid, bahkan jauh dari menimbulkan rasa cinta dan simpati orang yang mendengar, selain menjengkelkan.
  3. Memenuhi sejumlah syarat yang ditentukan, seperti tidak boleh terlalu meninggikan suara doa, zikir, dan salat.
  4. Orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah, atau sedang dalam upacara. Dalam keadaan demikian, kecuali azan, tidak akan menimbulkan kecintaan orang, bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas: suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala, selain berarti seruan takwa, dapat dianggap sebagai hiburan mengisi kesepian sekitarnya.
  5. Dari tuntutan Nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Yang perlu diperhatikan adalah suara muazin tidak sumbang, tapi sebaliknya, enak, merdu, dan syahdu.
  6. Instruksi ini juga menyinggung waktu yang pas untuk mengumandangkan azan salat. Untuk waktu subuh, misalnya, diperbolehkan menggunakan pengeras suara paling awal 15 menit sebelum waktu tiba. Pembacaan Al-Qur’an dan seruan azan waktu subuh dapat menggunakan pengeras suara keluar. Sedangkan, salat dan kuliah subuh menggunakan pelantang suara di dalam.

Menurut Amin, seperti dilansir dari situs resmi Kemenag, Instruksi Dirjen Bimas Islam Kemenag tersebut antara lain menjelaskan tentang keuntungan dan kerugian penggunaan pengeras suara di masjid, langgar, dan mushalla. Salah satu keuntungannya adalah sasaran penyampaian dakwah dapat lebih luas.

Namun, penggunaan pengeras suara juga bisa mengganggu orang yang sedang beristirahat atau penyelenggaraan upacara keagamaan. "Untuk itu, diperlukan aturan dan itu sudah terbit sejak 1978 lalu," kata Amin.

Dalam instruksi tersebut, menurut Amin, dipaparkan pula bahwa suara yang disalurkan keluar masjid pada dasarnya hanyalah azan sebagai tanda telah tiba waktu salat. Sementara salat dan doa pada dasarnya hanyalah untuk kepentingan jemaah ke dalam dan tidak perlu ditujukan ke luar agar tidak melanggar ketentuan syariah yang melarang bersuara keras dalam salat dan doa.

"Sedangkan dzikir pada dasarnya adalah ibadah individu langsung dengan Allah SWT karena itu tidak perlu menggunakan pengeras suara baik ke dalam atau ke luar," kata Amin berdasarkan instruksi tersebut.

Hal lain yang terdapat dalam instruksi ini adalah waktu penggunaan pengeras suara. "Misalnya, pengeras suara bisa digunakan paling awal 15 menit sebelum waktu salat subuh, dan sebagainya," ujar Amin.

Melaui surat edaran yang diterbitkan pada 24 Agustus 2018, Amin meminta kantor-kantor wilayah Kemenag untuk kembali melakukan sosialisasi Instruksi Dirjen Bimas Islam Kemenag 1978 tersebut. "Kami juga meminta Kantor Urusan Agama maupun penyuluh agama untuk ikut mensosialisasikannya," tuturnya.

Terkait rencana Kemenag untuk mengatur volume pengeras suara masjid, Dirjen Bimas Islam Kemenag pernah menyatakan bahwa kementeriannya berencana membuat aturan yang lebih teknis dibandingkan Instruksi Dirjen Bimas Islam Kemenag 1978.

Namun, seperti dikutip dari situs Detik.com, Amin tak menjabarkan secara rinci poin-poin dalam aturan yang lebih teknis itu. Hanya saja, tak tertutup kemungkinan bahwa volume pengeras suara masjid akan diatur. "Masih dalam pembahasan," ujarnya.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemeriksaan fakta di atas, narasi bahwa pemerintahan Presiden Jokowi telah mengesahkan UU tentang suara azan adalah keliru. Saat ini, aturan yang dimiliki pemerintah adalah Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama mengenai tuntunan pengeras suara masjid yang diterbitkan pada 1978. Aturan itu pun tidak mencantumkan sanksi yang bisa dikenakan kepada pelanggar.

ZAINAL ISHAQ

Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cekfakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id