Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

[Fakta atau Hoaks] Benarkah Munculnya RUU Ekstradisi di Hong Kong Dipicu Kasus Pembunuhan Wanita Hamil?

Selasa, 30 Juli 2019 15:59 WIB

[Fakta atau Hoaks] Benarkah Munculnya RUU Ekstradisi di Hong Kong Dipicu Kasus Pembunuhan Wanita Hamil?

Akun Ragiel Ngunu Ae mengunggah narasi di Facebook tentang penyebab demonstrasi besar-besaran di Hong Kong, pada 13 Juni 2019. Unggahan ini terus menjadi viral hingga 30 Juli 2019 dan telah dibagikan 6,2 ribu kali. 

Unggahan di Facebook tentang latar belakang terjadinya demo besar-besaran di Hong Kong.

Dalam narasi itu dijelaskan bahwa demo besar di Hongkong bermula dari pembunuhan seorang wanita hamil di kamar hotel di Taiwan, sementara si pembunuh Chan Tong Kai hanya dijatuhi hukuman ringan di Hong Kong.

“Hukuman itu begitu ringannya. Jumat minggu depan sudah bisa bebas,” tulis akun Ragiel yang ia copas dari akun lain.

Kepala Eksekutif Hongkong, Carrie Lam kemudian ingin membuat perubahan agar Hongkong bisa menyerahkan tersangka seperti Chan ke negara lain. Agar bisa dihukum di negara tersebut. Karena perbuatannya itu dilakukan di sana.

Ia mengklaim bahwa Proposal Carrie Lam itulah yang didemo habis-habisan warga Hong Kong, Minggu lalu.

“Dan kembali didemo kemarin. Sampai hari ini. Bahkan mungkin sampai hari Kamis minggu depan,” tulisnya dalam narasi.

 

 

PEMERIKSAAN FAKTA

Memang benar bahwa pemicu munculnya RUU Ekstradisi ini adalah kasus pembunuhan seorang wanita hamil oleh kekasihnya, pria Hong Kong bernama Chan Tong-kai, ketika keduanya berlibur di Taiwan awal tahun ini. Chan berhasil kabur ke Hong Kong. Taiwan telah meminta agar Chan diekstradisi, namun tidak bisa karena tak punya perjanjian untuk itu. 

Pengadilan Hong Kong telah memenjarakan seorang pria yang mengaku membunuh pacarnya yang sedang hamil ketika mereka dalam perjalanan ke Taiwan - meskipun ia dijatuhi hukuman karena pencucian uang, bukan pembunuhan.

Chan Tong-kai, telah menerima hukuman penjara 29 bulan pada April 2019. Namun, ia telah ditahan selama 13 bulan sejak penangkapannya di Hong Kong, yang berarti hukumannya akan berakhir Agustus mendatang. 

Agar tidak terjadi masalah serupa di masa mendatang, RUU Ekstradisi diajukan di parlemen. Pendukungnya, termasuk Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam, khawatir Hong Kong akan jadi wilayah pelarian para pelaku kejahatan.

Hong Kong memang punya perjanjian ekstradisi dengan 20 negara dunia, tapi tidak dengan tiga wilayah, yaitu China daratan, Makau, dan Taiwan. Nah, RUU ekstradisi ini mengatur pengiriman pelaku kejahatan dari Hong Kong ke tiga wilayah tersebut.

Jika diloloskan parlemen, maka ini adalah pertama kalinya dalam sejarah Hong Kong bisa mengekstradisi pelaku kejahatan ke China daratan.

Namun, lebih dari 1 juta warga Hong Kong menolak RUU Ekstradisi ini. Alasannya, bukan karena mendukung Chan Tong-Kai, pelaku pembunuhan. Menurut pendemonstran, RUU ekstradisi ini akan digunakan pemerintah China untuk mengincar musuh-musuh politik mereka di Hong Kong.

RUU ini juga dikhawatirkan semakin mengikis prinsip "satu negara, dua sistem" dengan campur tangan China di pengadilan Hong Kong.

Masyarakat Hong Kong menilai China perlahan mulai merasuki sendi kehidupan mereka. Salah satunya soal pemilihan pemimpin. Carrie Lam terpilih pada 2017 oleh komisi berisikan 1.200 pejabat pro-Beijing. Setengah anggota parlemen Hong Kong juga tidak dipilih lewat pemilihan umum.

 

Unjuk rasa di Hong Kong menentang ekstradisi China.

Adalah penting untuk mengingat bahwa Hong Kong sangat berbeda dengan kota-kota lain di China. Untuk memahaminya, Anda perlu mengkaji sejarahnya.

Daerah ini adalah jajahan Inggris selama lebih 150 tahun - sebagian pulau Hong Kong diserahkan kepada Inggris setelah perang 1842.

China kemudian juga menyewakan sisa wilayah Hong Kong - New Territories - kepada Inggris selama 99 tahun. Tempat ini menjadi pelabuhan dagang yang ramai dan ekonominya bangkit pada 1950-an lantaran menjadi pusat manufaktur.

Wilayah ini juga digemari pada migran dan pembangkang yang melarikan diri dari ketidakstabilan, kemiskinan, atau persekusi di China daratan.

Kemudian pada permulaan 1980-an, ketika batas waktu penyewaan 99 tahun mendekat, Inggris dan China memulai pembicaraan tentang masa depan Hong Kong.

Pemerintah komunis China menyatakan seluruh Hong Kong harus dikembalikan di bawah kekuasaan China.

Kedua pihak lantas mencapai kesepakatan pada 1984. Berdasarkan persetujuan itu, Hong Kong kembali ke China pada 1997 berdasarkan prinsip "satu negara, dua sistem".

Artinya, meskipun menjadi bagian dari China, Hong Kong memiliki "otonomi luas, kecuali terkait kebijakan luar negeri dan pertahanan" selama 50 tahun.

Konsekuensinya, Hong Kong memiliki sistem hukum sendiri, perbatasan, dan berbagai hak termasuk perlindungan kebebasan berkumpul dan berpendapat.

Hong Kong, sebagai contoh, adalah satu dari beberapa tempat di wilayah China di mana orang dapat memperingati penyerangan Lapangan Tiananmen tahun 1989, ketika militer menembak pengunjuk rasa tidak bersenjata di Beijing.

Kenyataan bahwa unjuk rasa sekarang terjadi tidaklah mengejutkan. Terdapat sejarah panjang perlawanan di Hong Kong, yang terjadi jauh sebelumnya.

Pada 1966, unjuk rasa terjadi ketika Star Ferry Company memutuskan untuk menaikkan harga tiket. Demonstrasi berubah menjadi kerusuhan, jam malam diterapkan dan ratusan tentara diturunkan ke jalan.

Protes terus berlanjut sejak 1997, tetapi sekarang unjuk rasa terbesar cenderung bersifat politis - para demonstran menentang China daratan.

Ketika warga Hong Kong memiliki semacam otonomi, mereka memiliki kebebasan dalam pemilihan umum, ini berarti unjuk rasa adalah salah satu cara agar pandangan mereka didengar.

Unjuk rasa besar pada 2003 (sekitar 500.000 orang turun ke jalan dan membuat dicabutnya RUU keamanan yang kontroversial) dan pawai tahunan menuntut hak pilih universal - selain peringatan peristiwa Lapangan Tiananmen - adalah agenda kegiatan tetap.

Unjuk rasa 2014 berlangsung selama beberapa minggu, di mana warga Hong Kong menuntut hak memiliki pemimpin mereka.

Tetapi apa yang dinamakan gerakan Payung berhenti tanpa mendapatkan konsesi apapun dari Beijing.

 

KESIMPULAN

Dari pemeriksaan fakta di atas, bisa disimpulkan bahwa narasi yang diunggah oleh Akun Ragiel Ngunu Ae adalah benar.

 

IKA NINGTYAS

Anda punya data/informasi berbeda, kritik atau masukan untuk artikel cekfakta ini? Kirimkan ke cekfakta@tempo.co.id