Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keliru, Video dengan Klaim Kedatangan Pengungsi Rohingya adalah Skenario Amerika Serikat dan Israel

Rabu, 24 Januari 2024 21:23 WIB

Keliru, Video dengan Klaim Kedatangan Pengungsi Rohingya adalah Skenario Amerika Serikat dan Israel

Sebuah akun Instagram [arsip] mengunggah sebuah video dengan klaim pengungsi Rohingya adalah skenario Amerika Serikat dan Israel dan sudah waktunya perbanyak kapal patroli untuk menjaga laut dari imigran gelap Rohingya.

Video ini menulis narasi “Saking asiknya kampanye Wapres dan Cawapres sampai ga sadar Indonesia sedang diuji kekuatan oleh Amerika dan Israel lewat Rohingya. Kenapa pada ga peka pahlawan NKRI tercinta ini?”

Diunggah pada 14 Januari 2024, video ini telah mendapatkan 60,290 suka dari pengguna Instagram. Benarkah Rohingya adalah skenario Amerika Serikat dan Israel? Berikut pemeriksaan faktanya.

PEMERIKSAAN FAKTA

Tim Cek Fakta Tempo memeriksa klaim ini dengan menelusuri sumber asli video dan pernyataan resmi dari lembaga yang menangani pengungsi serta sumber kredibel lainnya.

Penelusuran Tempo menunjukkan bahwa potongan video tersebut identik dengan unggahan sebuah akun TikTok people'sdaily renminribao, media yang dikelola pemerintah Cina pada tanggal 18 Agustus 2022. 

People's Daily menyebutkan bahwa sejumlah besar kapal nelayan berangkat ke Laut Cina Selatan seiring dengan berakhirnya moratorium penangkapan ikan selama tiga setengah bulan pada hari Selasa, 16 Agustus 2022.

Video serupa juga diunggah Kantor Berita China CGTN yang disiarkan langsung pada tanggal 16 Agustus 2022. Dilansir CGTN, musim penangkapan ikan dimulai di Laut Cina Selatan setelah moratorium penangkapan ikan selama tiga setengah bulan berakhir pada pukul 12 pagi (16.08.2022). Ratusan kapal penangkap ikan siap berlayar menuju pelabuhan perikanan di Laut Cina Selatan.

Laman China Daily juga menampilkan sejumlah foto yang identik dengan keterangan kapal-kapal penangkap ikan di Yangjiang, provinsi Guangdong berlayar setelah moratorium penangkapan ikan selama tiga setengah bulan di Laut Cina Selatan berakhir pada 16 Agustus 2022.

Tentang pengungsi Rohingya

Dilansir laman UNHCR, Rohingya merupakan kelompok etnis minoritas Muslim yang telah tinggal selama berabad-abad di Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha. Myanmar sebelumnya dikenal sebagai Burma. Meskipun mereka  tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, Rohingya tidak diakui sebagai kelompok etnis resmi dan telah ditolak kewarganegaraannya sejak tahun 1982. Hal tersebut menjadikan mereka populasi tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia.

Lalu pada Agustus 2017, serangan bersenjata dan kekerasan berskala besar, memaksa ribuan orang Rohingya meninggalkan rumah mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Banyak dari mereka yang berjalan berhari-hari melewati hutan dan melakukan perjalanan laut yang berbahaya melintasi Teluk Benggala untuk mencapai tempat yang lebih aman di Bangladesh. 

Laman Doctors Without Borders menuliskan sejumlah besar Rohingya melakukan perjalanan berbahaya dengan kapal-kapal penyelundup melintasi Teluk Benggala untuk bergabung dengan lebih dari 100.000 orang Rohingya yang tinggal di Malaysia. 

Seringkali perahu-perahu ini ditangkap oleh pihak berwenang Malaysia, tetapi ketika mereka kembali ke Bangladesh, mereka dihalangi oleh pihak berwenang Bangladesh dan terdampar di laut selama berminggu-minggu-bahkan berbulan-bulan. Saat ini sebagian dari mereka terdampar di Indonesia, termasuk di Aceh, NTB, NTT, dan Sulawesi.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pemeriksaan fakta, Tim Cek Fakta Tempo menyimpulkan narasi dan klaim Rohingya merupakan skenario Amerika Serikat dan Israel adalah keliru.

Rohingya merupakan etnis minoritas muslim di Myanmar. Sejak tahun 1982, pemerintah Myanmar tidak mengakui keberadaan mereka dan ditolak kewarganegaraannya. Kekerasan yang terus terjadi memaksa mereka meninggalkan mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Lalu dengan kapal-kapal penyeludup mereka  menyelamatkan diri ke wilayah aman di beberapa wilayah di Malaysia dan Indonesia.

TIM CEK FAKTA TEMPO

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id