Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menyesatkan, KPU Mendata Orang Gila untuk Pencoblosan Pemilu

Selasa, 17 Oktober 2023 19:58 WIB

Menyesatkan, KPU Mendata Orang Gila untuk Pencoblosan Pemilu

Sebuah narasi beredar di media sosial TikTok [arsip] dan Facebook [arsip] mengklaim bahwa KPU mendata orang stres dan orang gila hanya untuk kepentingan Pemilu. Pembuat konten membandingkan dengan seleksi penerima bantuan sosial (bansos) yang hanya mementingkan kerabat pihak yang mengambil keputusan.  

Namun saat pemerintah membutuhkan suara untuk pemilu, orang stres dan gila pun disertakan dalam pendataan. Benarkah pemerintah mendata orang gila untuk urusan pemilu? 

PEMERIKSAAN FAKTA

Verifikasi Tempo menemukan bahwa video yang digunakan dalam unggahan di TikTok sama dengan berita CNN TV yang dipublikasikan di situs mereka pada Selasa, 19 Maret 2023. Namun, berita itu bukan terkait pendataan pemilu.

Berita itu memperlihatkan kegiatan sosialisasi tata cara pencoblosan dalam Pemilu 2019 pada kelompok penyandang disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di sebuah pesantren, di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Sosialisasi dilakukan oleh para relawan.

Penyandang disabilitas mental atau ODGJ bukanlah orang gila. Dua istilah itu cukup berbeda. Menurut para pakar tidak ada status gila untuk pasien secara medis dan tidak bisa dipadankan dengan kondisi pasien ODGJ.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Edo S Jaya, dikutip dari The Conversation mengatakan, sebaiknya istilah gila tidak digunakan untuk menyebut pengidap ODGJ. Lantaran istilah gila membawa kerancuan bila dimasukkan dalam pembahasan ODGJ secara ilmiah.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI juga tidak menyebutkan sakit gila, namun gangguan jiwa yang pasiennya disebut ODGJ. Munculnya ODGJ biasanya berhubungan dengan masalah dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau masalah keluarga.

ODGJ adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, sehingga dapat menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial. Terdapat lima jenis gangguan jiwa, berdasarkan kajian Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni depresi, gangguan bipolar, skizofrenia, demensia, serta gangguan tumbuh kembang.

Dilansir Tempo pada Kamis 23 September 2021, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Maharddhika menyatakan,  hak untuk memilih bagi ODGJ telah dijamin dalam UUD 1945, UU HAM, UU Kesehatan, dan UU Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas

Namun, dia mengatakan pelaksanaannya masih menemui banyak tantangan, di antaranya banyaknya stigma negatif terhadap ODGJ. Mereka dianggap tidak memiliki kemampuan untuk berkarya, bersosial, atau menentukan calon mana yang cocok menjadi pemimpin.

Dia mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) pun setuju agar ODGJ yang dalam kondisi mampu memberikan suara saat pemilu, berhak mencoblos. Ketidakmampuan seorang ODGJ dalam memberikan suara pada pemilu, harus berdasarkan keterangan profesional bidang kesehatan.

Di sisi lain, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Indonesia, Yeni Rosa Damayanti menyatakan sejumlah pihak telah mendiskriminasi dan mempolitisir pemilih ODGJ di Indonesia sejak Pemilu 2019, dalam berita Tempo.co Jumat, 18 Januari 2019.

Yeni berpendapat kebanyakan ODGJ di Indonesia tidak mengalami gangguan jiwa secara permanen. Dia mengatakan beberapa faktor mungkin membuat gangguan jiwa kambuh seperti stress atau depresi.

Dalam artian, jika ODGJ tersebut sedang dalam kondisi baik dan mampu menggunakan hak pilihnya, mereka harus diperbolehkan mencoblos dalam pemilu. Larangan mencoblos bagi mereka baru dilakukan, apabila kondisinya kambuh hingga tidak mampu memberikan suara.

"Kalau gangguan mental mereka kambuh, mereka juga tidak akan berpikir untuk datang memilih, bukan?" kata Yeni.

KESIMPULAN

Berdasarkan verifikasi Tempo, narasi yang mengatakan orang gila didata untuk pemilu, adalah menyesatkan.

Istilah gila tidak ada dalam ilmu bidang kesehatan, maupun dalam aturan terkait Pemilu di Indonesia.

Aturan Pemilu di Indonesia mengatur hak suara untuk penderita ODGJ yang definisinya dijelaskan di bidang kesehatan. ODGJ diperbolehkan mencoblos dalam pemilu ketika dalam kondisi mampu memberikan suara.

TIM CEK FAKTA TEMPO

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id