Keliru: Klaim Hashim Djojohadikusumo bahwa JETP Program Gagal karena Tidak Ada Pembiayaan ke Indonesia

Jumat, 7 Februari 2025 17:13 WIB

Keliru: Klaim Hashim Djojohadikusumo bahwa JETP Program Gagal karena Tidak Ada Pembiayaan ke Indonesia

Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo mengatakan bahwa Just Energy Transition Partnership (JETP) merupakan program gagal. Pasalnya, setelah 2 tahun berjalan, menurut dia, tidak ada sama sekali pembiayaan yang masuk ke Indonesia. 

"Saya ketemu utusan khusus AS namanya John, JETP itu program gagal, 2 tahun berjalan tidak 1 dolar pun dikucurkan oleh pemerintah AS. Banyak omon-omon ternyata itu, ada klausul US$5 miliar akan dihibahkan apabila dana tersedia, ternyata mohon maaf tidak tersedia," kata Hashim dalam acara CNBC Indonesia ESG Sustainability Forum 2025, dikutip dari CNBC, Senin, 3 Februari 2025.

Oleh sebab itu, ia pun menekankan bahwa masyarakat tidak perlu lagi berharap pada pendanaan JETP. Mengingat salah satu negara yang menginisiasi program ini saja telah mundur dari perjanjian iklim.

Benarkah sama sekali tidak ada pembiayaan yang masuk ke JETP Indonesia?

PEMERIKSAAN FAKTA

Just Energy Transition Partnership Indonesia (JETP) adalah platform multilateral yang menyediakan pembiayaan untuk membantu negara berkembang bertransisi ke energi rendah karbon. JETP Indonesia diluncurkan pada 16 November 2022 oleh Pemerintah Indonesia dan International Partners Group (IPG) di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, Indonesia. 

IPG tersebut terdiri dari pemerintah Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Republik Federal Jerman, Republik Perancis, Norwegia, Republik Italia, Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia Utara. Saat ini, IPG dipimpin oleh Jerman, setelah sebelumnya dipimpin oleh Amerika Serikat.

JETP Indonesia menargetkan mobilisasi pendanaan sebesar US$20 miliar selama beberapa tahun ke depan sebagai pembiayaan awal yang mendukung dan mempercepat pemensiunan pembangkit listrik tenaga uap batubara. Komitmen pembiayaan JETP berasal dari sumber-sumber publik dan swasta dalam berbagai jenis dan mekanisme. Terdapat pembiayaan publik sebesar $11,6 miliar dari negara-negara IPG dan setidaknya $10 miliar pembiayaan swasta dari 7 bank-bank dari Glasgow Financial Alliance for Net-Zero (GFANZ).

Fakta Realisasi Pendanaan JETP Indonesia

Tempo memeriksa dokumen dan publikasi terkait serta menghubungi sumber yang mengetahui realisasi pendanaan JETP Indonesia. Hasilnya, JETP Indonesia telah mendapatkan pendanaan dalam berbagai skema.

Pendanaan yang telah didapatkan JETP Indonesia sebesar US$ 1.1 miliar sebagai hutang lunak, ditambah US$ 225 juta dalam bentuk hibah. Pendanaan tersebut sedang diimplementasikan oleh lembaga-lembaga yang ditunjuk oleh IPG.

Amerika Serikat telah berjanji untuk memobilisasi US$ 2 miliar, di mana US$ 1 miliar sebagai jaminan sehingga Indonesia bisa meminta pinjaman dari Bank Dunia untuk transisi energi. Untuk  jaminan tersebut, Amerika Serikat sudah menandatangani perjanjian dengan Bank Dunia pada 9 November 2024. 

Dokumen perjanjian antara Amerika Serikat dan Bank Dunia tersebut dapat diakses melalui website World Bank [arsip].

Melalui perjanjian tersebut, Indonesia sudah bisa memanfaatkan pinjaman yang dijamin oleh Amerika Serikat. Masalahnya, menurut sumber Tempo, bunganya lebih tinggi dibandingkan apabila pemerintah menerbitkan obligasi (bond). Sehingga, hingga saat ini Indonesia belum memanfaatkan pinjaman tersebut untuk mendanai transisi energi. 

Perjanjian antara AS dan Bank Dunia tersebut tetap berlaku, tidak dibatalkan setelah Donald Trump dilantik sebagai presiden. Sementara itu, dana investasi lainnya sebesar US$ 1 miliar tergantung proyek yang diajukan. Saat ini, terdapat satu proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi yang sedang tahap finalisasi perjanjian pinjaman dari lembaga keuangan pembangunan Amerika (US International Development Finance Corporation/DFC) kepada swasta dengan nilai US$ 126 juta. Pendanaan DFC ini tidak terpengaruh di bawah Donald Trump. 

Pada 22 Mei 2024, DFC mengumumkan investasi untuk proyek geothermal Indonesia tersebut, yang bisa dibaca lebih lanjut melalui website mereka.

Selain itu, United States Trade and Development Agency (USTDA) juga memberikan hibah ke beberapa lembaga, termasuk PLN, untuk melaksanakan studi kelayakan proyek. Website USTDA telah mempublikasikan pada 20 Februari 2024, studi kelayakan tersebut untuk memfasilitasi penyebaran jaringan listrik mini energi terbarukan di lima lokasi terpencil di Indonesia dan mengembangkan strategi replikasi untuk menyebarkan teknologi serupa di komunitas terpencil di seluruh Indonesia Timur. 

Studi kelayakan dilakukan oleh tQ Automation LLC yang berkantor pusat di Texas bekerja sama dengan Laboratorium Energi Terbarukan Nasional Departemen Energi AS di bawah Net Zero World Initiative.

Analisis Pakar

Menurut Direktur Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia, Tiza Mafira, JETP tidak gagal karena pendanaan ada dan sebagian sudah mengucur untuk membiayai sejumlah proyek yang terkait dengan energi terbarukan di Indonesia. 

Amerika Serikat, kata dia, bukan satu-satunya pemberi dana dalam JETP Indonesia. Dari sekitar US$ 20 Miliar dana JETP yang ditargetkan untuk dimobilisasi, Amerika hanya berkontribusi US$ 2 miliar. Keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Iklim, termasuk setelah tidak lagi memimpin JETP Indonesia, komitmen pendanaan tersebut tidak ditarik kembali. “Hanya terjadi disrupsi sesaat dalam transisi pengalihan kepemimpinan AS ke Jerman dalam JETP,” kata dia melalui surel, Jumat, 7 Februari 2025.

Tiza menjelaskan, paket investasi JETP yang disiapkan untuk sektor energi terbarukan terdiri dari hibah, hutang lunak (concessional loan) dan hutang dengan suku bunga pasar (commercial loan). Negara-negara dan perbankan yang tergabung dalam JETP Indonesia, masing-masing memiliki prakondisi dan suku bunga yang berbeda-beda untuk membiayai proyek energi terbarukan di Indonesia. “Indonesia juga memiliki hak untuk memilih mana pendanaan yang menarik untuk diakses dan mana yang tidak,” kata Tiza.

Cocok atau tidaknya proyek dan investasi tersebut, Tiza menekankan, berkaitan dengan kondisi-kondisi antara pihak yang bertransaksi, tidak terkait secara langsung dengan keluarnya AS dari Perjanjian Iklim. 

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, juga mengatakan bahwa klaim Hashim S. Djojohadikusumo tersebut keliru. Memang, dari segi realisasi pembiayaan, JETP Indonesia masih jauh dari komitmen awal sebesar US$20 miliar. Rendahnya realisasi tersebut menunjukkan negara yang telah bergabung dalam JETP tidak serius membantu transisi energi Indonesia. 

Faktor lain, kata Bhima, pemerintah Indonesia sendiri yang menghambat JETP. Salah satunya regulasi pemerintah Indonesia yang memblokade upaya pemensiunan PLTU batu bara dan instalasi energi terbarukan. “Alasan pemerintah aneh, misalnya pejabat takut menutup PLTU batu bara karena alasan kerugian negara. Padahal ini soal regulasi yang tidak disiapkan,” kata Bhima kepada Tempo, Jumat, 7 Februari 2025.

Lebih parah, Bhima menjelaskan, Sekretariat JETP di bawah pemerintahan Prabowo saat ini seperti ‘anak ayam kehilangan induk’. Hal itu karena Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) yang sebelumnya menaungi Sekretariat JETP, telah dihapus nomenklaturnya di dalam Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran. Dampaknya, Sekretariat JETP kesulitan untuk berkoordinasi. “Pemerintah ikut jadi biang JETP macet,” kata Bhima.

Institute for Essential Services Reform (IESR) juga menilai pernyataan Hashim tidak akurat, keliru, dan tidak berdasarkan data. Sebab pendanaan JETP tidak berbentuk bantuan langsung tunai, melainkan disalurkan melalui berbagai skema seperti hibah, bantuan teknis, ekuitas, serta pembiayaan bilateral dan multilateral. 

Menurut IESR, hingga Desember 2024, negara pendonor dalam IPG telah mengucurkan US$ 230 juta dalam bentuk hibah dan bantuan teknis untuk 44 program. Selain itu, US$ 97 juta untuk 11 program yang masih dalam proses persetujuan. Berikutnya, US$1 miliar telah dialokasikan untuk investasi ekuitas dan pinjaman pada delapan proyek, termasuk pembiayaan PLTP Ijen sebesar US$126 juta dari International Development Finance Corporation (DFC) milik pemerintah Amerika Serikat. Bahkan, total pendanaan sebesar US$5,2-6,1 miliar untuk 19 proyek lain masih dalam tahap persetujuan, serta US$ 2 miliar telah dialokasikan dalam bentuk jaminan proyek dari Inggris dan Amerika Serikat.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, kegagalan JETP tidak dapat disimpulkan hanya karena keluarnya Amerika Serikat dari Persetujuan Paris di bawah pemerintahan Trump. “Kesepakatan ini tidak bertumpu pada satu negara saja, tetapi melibatkan berbagai pihak internasional yang tetap berkomitmen pada pendanaan transisi energi di Indonesia,” ujarnya dalam keterangan resmi pada Ahad, 2 Februari 2025 yang telah diberitakan Tempo.

KESIMPULAN

Berdasarkan data-data yang didapatkan Tempo dan analisis pakar tersebut, Tempo menyimpulkan, klaim Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi, Hashim S. Djojohadikusumo bahwa JETP program gagal karena tidak ada pembiayaan yang masuk ke Indonesia, adalah keliru.

TIM CEK FAKTA TEMPO

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected]