Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Keliru, Demo Peringatan Darurat adalah Agenda Kudeta dari CIA Terhadap Jokowi

Rabu, 11 September 2024 16:29 WIB

Keliru, Demo Peringatan Darurat adalah Agenda Kudeta dari CIA Terhadap Jokowi

Sejumlah akun di X (sebelumnya Twitter) mengunggah konten yang mengklaim unjuk rasa Peringatan Darurat untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi pada 22 Agustus 2024 lalu adalah kudeta terhadap Jokowi yang disponsori Badan Intelijen Amerika (CIA).

Konten pertama [arsip] dibagikan pada 23 Agustus, menyebut kudeta tersebut karena Jokowi pro terhadap Palestina dan Cina. Konten itu juga membagikan artikel dari situs Mint Press News tentang National Endowment for Democracy (NED) sebagai agen CIA yang berada di balik operasi tersebut dengan menyalurkan pendanaan kepada NGO. 

Kemudian pada 1 September, sebuah akun membagikan konten kedua [arsip] berisi klaim tentang kemiripan bendera CIA dengan logo garuda biru yang menjadi simbol gerakan Peringatan Darurat. 

Benarkah demo Peringatan Darurat adalah agenda kudeta dari CIA terhadap Jokowi? Berikut pemeriksaan faktanya.

PEMERIKSAAN FAKTA

Klaim 1: Aksi ‘Peringatan Darurat’ agenda CIA untuk mengkudeta Jokowi yang pro Palestina dan Cina

Fakta: Aksi Peringatan Darurat yang dimulai dari pemasangan logo garuda biru di media sosial pada 21-22 Agustus 2024, bukanlah aksi yang disponsori Badan Intelijen Amerika melalui National Endowment for Democracy (NED) untuk mengkudeta Jokowi karena pro Palestina dan Cina.

Aksi tersebut untuk memprotes langkah DPR RI yang akan menganulir keputusan Mahkamah Konstitusi melalui pengesahan RUU Pilkada yang awalnya dijadwalkan pada 22 Agustus, sebagaimana telah banyak diulas di berbagai media massa. Padahal sesuai amanat UUD 1945 hasil amandemen pada Pasal 24C, disebutkan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat final.

Dikutip dari Antara, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komaruddin mengatakan manuver Baleg DPR RI tersebut kental kepentingan memuluskan langkah anak bungsu Presiden Jokowi yang akan maju dalam Pemilihan Gubernur Jawa Tengah, karena usianya belum genap 30 tahun saat masa pendaftaran dan penetapan calon gubernur dan wakil gubernur yang dijadwalkan 22 September 2024. 

Sejumlah kalangan dari berbagai elemen seperti mahasiswa, organisasi sipil, serikat buruh, selebritis, komika, dan media menyalakan sinyal peringatan darurat melalui media sosial pada 21 Agustus 2024, dan memobilisasi diri untuk turun ke jalan seiring kabar DPR menganulir Putusan MK itu pada 22 Agustus.

Visiting Senior Fellow di ISEAS-Yusof Ishak Institute, Max Lane, dalam artikelnya berjudul “Dynastic Politics Provokes Nationwide Demonstrations” menganalisis tidak ada kekuatan politik besar yang menyerukan demonstrasi tersebut. Secara khusus, PDI-P juga tidak menyerukan aksi protes itu. Seruan untuk berdemonstrasi beredar melalui media sosial dengan slogan “Indonesia Darurat”. Mobilisasi mahasiswa dari berbagai kampus terlihat dalam rekaman dan foto di media sosial, tetapi tidak ada kelompok, kampus, aliansi masyarakat sipil, atau serikat tertentu yang mendominasi.

Menurut Max yang pernah menjadi akademisi di University of Sydney, Victoria University (Melbourne), Murdoch University dan National University of Singapore, momentum demonstrasi besar-besaran tersebut karena faktor manuver Joko Widodo yang dimulai sejak anak sulungnya Gibran menjadi wakil presiden, telah mengasingkan masyarakat sipil dan sebagian besar masyarakat. Dengan dukungan Jokowi, Prabowo juga memenangkan 58 persen suara. Ini berarti bahwa 42 persen pemilih menentang Prabowo dan Widodo. 

Pernyataan protes oleh akademisi berkembang biak seperti halnya pernyataan dari LSM dan kelompok-kelompok lain. Film dokumenter Dirty Vote, yang mengungkap manuver Jokowi, mengumpulkan jutaan penayangan di YouTube. Sejak kemenangan Prabowo, manuver-manuver selanjutnya yang dilakukan Jokowi telah memperkuat persepsi bahwa ia tengah membangun dinasti politik. Persepsi ini semakin menguat ketika Jokowi berupaya mengganti Ketua Umum Partai Golkar saat ini, partai terbesar kedua dalam koalisi Prabowo, dengan sekutu yang pro-Jokowi.

Klaim 2: National Endowment for Democracy (NED) sebagai agen CIA yang berada di balik operasi mengkudeta Jokowi dengan menyalurkan pendanaan kepada NGO

Fakta: Berdasarkan penelusuran Tempo, klaim tersebut tidak disertai dengan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan mengenai keterlibatan NED dan lembaga-lembaga di Indonesia melakukan operasi mengkudeta Jokowi melalui aksi ‘Peringatan Darurat’. 

Laporan yang dipublikasikan situs Mint Press News tersebut hanya merujuk opini David Ignatius yang dipublikasikan di Washington Post  pada 21 September 1991. David menulis tentang pengakuan Allen Weinstein, seorang aktivis pro-demokrasi di Washington yang mengaku bahwa ia bersama CIA terlibat dalam kudeta 1991 di Uni Soviet.

Mengutip Media Bias Fact Check, Mint Press bukanlah sumber kredibel (questionable source). Artikel yang diterbitkan media ini kerap memiliki bias yang ekstrim, mempromosikan propaganda dan konspirasi secara konsisten, menggunakan sumber yang buruk atau tidak ada sumber informasi yang kredibel, tidak ada transparansi, dan menyebarkan  berita palsu.

Dikutip dari laman National Endowment for Democracy (NED), organisasi tersebut sejak tahun 1983 mendapat mandat berdasarkan Undang-Undang Kongres Amerika Serikat sebagai organisasi pemberi hibah nirlaba independen yang didedikasikan untuk memperkuat institusi dan nilai-nilai demokrasi di seluruh dunia. 

NED memiliki empat lembaga inti yaitu Center for International Private Enterprise, International Republican Institute, National Democratic Institute, dan Solidarity Center yang memiliki fokus pada gerakan demokrasi di seluruh Eropa Tengah dan Timur, Amerika Latin, kawasan Asia Pasifik, dan Afrika. Organisasi tersebut secara terbuka mempublikasikan siapa saja organisasi yang menerima pendanaan dengan program-program yang terkait penguatan demokrasi, termasuk Indonesia. 

Menurut Ian Wilson, dosen senior Politik Internasional dan Studi Keamanan di Universitas Murdoch, Australia Barat, artikel di Mint Press News tersebut ditulis oleh Kit Klarenberg, yang bekerja untuk Grayzone, outlet pro-Rusia, Cina, dan pemerintah Suriah yang diidentifikasi sebagai upaya rezim-rezim di tiga negara tersebut untuk menyebarkan narasi kepada khalayak kiri progresif secara global.

Artikel tersebut, kata dia, menggunakan kerangka ideologi yang sederhana yaitu adanya perang global antara imperialisme AS dan kontra-imperialis yang mencoba mengaitkan bahwa hampir setiap upaya transformasi politik yang tidak mereka setujui sebagai ‘didukung oleh CIA’. 

Penulisnya juga menunjukkan tidak memahami tentang politik atau masyarakat Indonesia, dan hanya menerapkan formula tersebut untuk menginterupsi berbagai peristiwa dengan cara-cara yang mendukung posisi ideologis mereka. Bisa disebut bahwa isi artikel tersebut hanya untuk mendelegitimasi gerakan-gerakan sosial yang menyerukan akuntabilitas atau reformasi. 

“Saya berpikir bahwa analisis tersebut sangat merendahkan, jika bukan rasis, karena menggambarkan orang Indonesia sebagai boneka yang tidak punya pikiran, tanpa memiliki kemampuan politik atau wawasan,” kata dia kepada Tempo melalui email, 10 September 2024. 

Menurut Ian yang juga Ketua Akademik Program Keamanan Global, dan Wakil Direktur Pusat Penelitian Indo-Pasifik, delegitimasi seperti itu adalah taktik klasik para diktator dan kaki tangannya di seluruh dunia untuk membuat gerakan dan protes yang tulus karena ada campur tangan pihak luar.  

Ia juga menemukan persamaan narasi tersebut dengan pernyataan Prabowo baru-baru ini yang berusaha menyimpulkan bahwa peristiwa 1998 disebabkan oleh campur tangan asing, untuk mendiskreditkan dan mendelegitimasi transformasi sosial dan politik yang tulus yang digerakkan oleh rakyat Indonesia. “Sementara juga menunjukkan preferensi politiknya sendiri terhadap otoritarianisme.”

Pernyataan Prabowo tersebut dapat dibaca di artikel Kompas ini.

Klaim 3: Logo garuda biru mirip logo CIA

Fakta: Logo garuda biru sejatinya diambil dari penggalan video yang diunggah oleh  EAS Indonesia Concept tentang esistem peringatan dini  pada 24 Oktober 2022. Dilansir BBC, berdasarkan analisis jaringan sosial Drone Emprit,  unggahan ‘Garuda Biru Peringatan Darurat’ pertama kali dibuat akun media sosial X @BudiBukanIntel pada Rabu (21/08) sekitar pukul 08.00 WIB.

EAS Indonesia Concept meniru sistem peringatan darurat nasional Amerika. Terinspirasi oleh video lama yang ditayangkan di saluran siaran televisi nasional, TVRI, pada tahun 1991. Klip video tersebut mengumumkan peringatan darurat tentang aktivitas anomali, disajikan sebagai hiburan dengan tema analog horor, termasuk teks (dalam Bahasa Indonesia): "Peringatan darurat kepada warga sipil terhadap aktivitas anomali yang baru saja dideteksi oleh pemerintah negara kesatuan Republik Indonesia." 

Citra simbolis ini sangat menyentuh hati para pengunjuk rasa, memperkuat rasa urgensi mereka. Dilansir Narasi.tv, warganet lalu beramai-ramai mengunggah ulang dan membagikan poster dari penggalan video analog horor tersebut untuk sebagai seruan dan peringatan atas kondisi politik yang kacau jelang Pilkada Serentak 2024.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemeriksaan fakta, Tim Cek Fakta Tempo menyimpulkan  bahwa klaim demo Peringatan Darurat merupakan agenda kudeta dari CIA terhadap Jokowi adalah keliru.

Aksi tersebut merupakan respon cepat yang dilakukan warganet, akademisi, seniman, jurnalis, buruh dan organisasi masyarakat sipil. Tidak ada bukti yang menunjukkan gerakan tersebut didorong atau diorkestrasi oleh kekuatan asing maupun kekuatan partai politik di dalam negeri.

TIM CEK FAKTA TEMPO

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email cekfakta@tempo.co.id