Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menyesatkan, Konten Pernyataan Peneliti BRIN Syafuan Rozy Terkait OPM

Kamis, 30 Mei 2024 15:28 WIB

Menyesatkan, Konten Pernyataan Peneliti BRIN Syafuan Rozy Terkait OPM

Dalam sebulan terakhir tagar #Tumpas OPM atau #DukungPenumpasanOPM ramai digunakan di platform X (dulunya Twitter) yang diklaim menyertakan peneliti BRIN. Tagar itu muncul tak lama setelah Panglima Militer mengubah terminologi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 5 April 2024.

Beberapa isi konten [arsip] yang menggunakan tagar tersebut, memuat klaim bahwa peneliti BRIN Badan Riset dan Inovasi Nasional, Syafuan Rozi menyatakan: “Tindakan tegas perlu dilakukan terhadap gerakan OPM memang diperlukan mengingat eskalasi konflik Papua yang terus meninggi”.

Namun benarkah Syafuan Rozi mengatakan demikian dan apakah perubahan nama dari KKB menjadi OPM solusi bagi Papua? Berikut pemeriksaan faktanya.

PEMERIKSAAN FAKTA

Berdasarkan penelusuran Tempo, Syafuan Rozi merupakan seorang peneliti yang banyak mempublikasikan riset tentang konflik di Indonesia. Ia juga menulis beberapa buku di antaranya Kekerasan Komunal: Anatomi dan Resolusi Konflik di Indonesia, Merentas Jalan Panjang Perdamaian: Negara & masyarakat dalam resolusi konflik, dan Hubungan negara & masyarakat dalam resolusi konflik di Indonesia: kasus Sulawesi Tengah, Maluku, dan Maluku Utara.

Tempo menghubungi Syafuan Rozi melalui telepon untuk mengkonfirmasi mengenai konten di X tersebut. Menurut Syafuan, isi konten “Tindakan tegas terhadap gerakan OPM memang diperlukan karena eskalasi makin tinggi” tidak sepenuhnya sesuai dengan konteks hasil wawancaranya yang dimuat di situs Bacaini edisi 22 April 2024. “Yang dikutip di Twitter itu oversimplifikasi (penyederhanaan secara berlebihan),” kata Syafuan kepada Tempo. 

Artikel berita itu, kata Syafuan, terbit pasca Panglima Militer mengubah terminologi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Penetapan ini diberlakukan seiring dengan terbitnya Surat Keputusan Panglima TNI Nomor STR/41/2024 tertanggal 5 April tahun 2024. Surat tersebut berisikan bahwa Panglima TNI memerintahkan kepada Komando Daerah Militer XVII/Cendrawasih dan Komando Daerah Militer XVIII/Kasuari untuk menggunakan kembali sebutan OPM. 

Tim Cek Fakta Tempo membaca ulang artikel di situs Bacaini berjudul “OPM dan Berlakunya Operasi Militer di Papua, BRIN: Waktunya Terapi Kejut”. Dalam artikel itu, Syafuan menyebut bahwa operasi militer harus sembari mempersiapkan dialog Papua jilid II. 

Menurut Syafuan, perubahan dari KKB menjadi OPM sebagai legitimasi agar TNI dapat melakukan operasi militer. Akan tetapi dia menekankan, salah satu bagian dari resolusi konflik adalah berupaya agar pihak-pihak yang berkonflik mau ditarik untuk berdialog secara damai. Sehingga operasi militer yang dilakukan haruslah bentuk pertempuran yang terukur dengan tujuan untuk mengajak pihak yang berkonflik untuk berdialog. 

“Nah ini yang dipotong (dalam konten X), Seolah-olah saya hanya menganjurkan tempur saja, serang saja, atau opsi militer saja,” ujarnya.

Dialog tersebut, kata dia, merupakan bentuk soft power dengan memperbaiki hal-hal yang selama ini dituntut oleh rakyat Papua. Indonesia, kata dia, dapat mengajak pihak ketiga untuk menjembatani dialog tersebut. 

Kritik dari Masyarakat Sipil

Penggantian dari KKB menjadi OPM menurut sejumlah masyarakat sipil dapat berdampak buruk pada situasi kemanusian di Papua. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengatakan pendekatan yang dibangun akan bergeser dari pendekatan yang berbasis penegakan hukum menjadi penggunaan kekuatan militer. Hal tersebut pun berkonsekuensi bahwa militer akan dikerahkan dengan skala yang lebih besar menuju daerah-daerah pos konflik di Papua.

Padahal cara-cara berbasis militerisme semacam ini terbukti tidak efektif dan berimbas signifikan terhadap perbaikan situasi kemanusiaan di Papua. Korbannya tidak hanya dari kelompok bersenjata melainkan juga warga sipil. 

Kontras mencatat dalam medio tiga bulan terakhir saja yakni Januari hingga Maret 2024, setidaknya terdapat 8 warga sipil yang menjadi korban dari kekerasan dan kontak tembak di Papua. Pada Oktober 2021 lalu, dua anak yakni Nopelinus Sondegau (2 tahun) dan Yoakim Mazau (6 tahun) juga menjadi korban tembak di Intan Jaya. 

Mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdhal Kasim kepada Tempo mengungkapkan, perubahan istilah tersebut bisa memicu peningkatan eskalasi kekerasan di wilayah tersebut. Dia menegaskan bahwa penggunaan istilah OPM oleh TNI memiliki implikasi terhadap pengakuan terhadap eksistensi OPM sebagai entitas politik yang berusaha untuk mendirikan negara sendiri. Karena itu, terminologi yang digunakan oleh TNI akan mempengaruhi pendekatan penyelesaian konflik di Papua.

Pakar militer Beni Sukandis mengatakan bahwa perubahan nama KKB menjadi OPM tidak akan secara signifikan menyelesaikan konflik di Papua. Dia berpendapat bahwa TNI seharusnya lebih mengutamakan pendekatan politik.

Beni menganggap bahwa selama ini pemerintah keliru dalam memandang penyelesaian masalah Papua. Dia menjelaskan bahwa akar masalah separatis Papua sebagian besar berasal dari ketidakpuasan terhadap hak politik dan ekonomi rakyat Papua yang belum dikelola dengan baik oleh pemerintah pusat.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta Tempo, kutipan pernyataan Syafuan Rozi  “Pemberlakuan operasi militer kepada gerakan OPM memang diperlukan, mengingat eskalasi konflik Papua yang terus meninggi” adalah menyesatkan.

Perubahan dari KKB menjadi OPM sebagai legitimasi agar TNI dapat melakukan operasi militer. Akan tetapi Syafuan menekankan, salah satu bagian dari resolusi konflik adalah berupaya agar pihak-pihak yang berkonflik mau ditarik untuk berdialog secara damai. Sehingga operasi militer yang dilakukan haruslah bentuk pertempuran yang terukur dengan tujuan untuk mengajak pihak yang berkonflik untuk berdialog. 

TIM CEK FAKTA TEMPO

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected]