Keliru, Konten Berisi Klaim Penerima Vaksin Covid-19 mRNA akan Meninggal Dalam 3 atau 5 Tahun

Senin, 13 Mei 2024 17:29 WIB

Keliru, Konten Berisi Klaim Penerima Vaksin Covid-19 mRNA akan Meninggal Dalam 3 atau 5 Tahun

Sebuah gambar disebarkan di Facebook oleh akun ini dan ini, yang diklaim memperlihatkan ilmuwan terkenal di bidang kesehatan yang menyatakan orang yang telah menerima vaksin Covid-19 berbasis mRNA akan meninggal dunia dalam tiga sampai lima tahun.

Narasi tersebut diklaim bersumber dari Profesor Dr. Dolores Cahill yang disebut ahli selama 25 tahun dalam isu susunan protein dan antibodi. Berikut narasi lengkapnya: Seorang ilmuwan terkenal di dunia dan ahli imunologi terkemuka telah menaikkan alarm peringatan eksplosif kepada publik bahwa setiap orang yang telah divaksin dengan suntikan COVID mRNA akan mati dalam 3 sampai 5 tahun, bahkan jika mereka hanya memiliki satu suntikan. 

Namun, benarkah orang yang telah menerima vaksin Covid-19 berbasis mRNA pasti akan meninggal dunia dalam tiga atau lima tahun?

PEMERIKSAAN FAKTA

Tempo memverifikasi narasi tersebut, dengan menelusuri sumber gambar dan informasi konten yang beredar, menggunakan mesin pencari Google dan kata kunci. Ditemukan sumber gambar dan informasi dalam narasi yang beredar tersebut. Berikut hasil penelusurannya:

Verifikasi Gambar

Gambar tangkapan layar dalam konten yang beredar sesungguhnya menampilkan sosok Cahill di website Slaynews.com. Artikel itu berjudul “Ilmuwan Terkemuka: Semua Orang yang Telah Divaksin akan meninggal dunia dalam tiga sampai lima hari.

Artikel tertanggal 1 Mei 2024 itu mengatakan Cahill mengeluarkan peringatan terbaru terkait efek vaksinasi Covid-19 berbasis mRNA. Dituliskan bahwa menurutnya setiap orang yang mendapat vaksin itu akan meninggal pada tiga atau lima tahun kemudian.

Setelah artikel itu disimak, diketahui bahwa Cahill tidak menyertakan penelitian atau sumber informasi yang relevan sebagai dasar klaim-klaimnya. Factcheck.org menyatakan klaim Cahill itu keliru.

Di sisi lain, Direktur Pusat Biodesain untuk Imunoterapi, Vaksin, dan Viroterapi di Arizona State University, Grant McFadden, menyatakan sesungguhnya catatan keamanan vaksin mRNA sangat baik.

Dia mengatakan memang belum ada catatan rekam penggunaan vaksin Covid-19 berbasis mRNA dalam jangka waktu panjang. Demikian juga tidak ada bukti ilmiah yang mendukung prediksi bahwa vaksin tersebut akan menyebabkan komplikasi hingga kematian.

Cahill merupakan salah satu penyeru anti-vaksin Covid-19 yang terkenal secara global. Profesor asal Irlandia itu memiliki rekam jejak menyebarkan hoaks, misalnya pernah mengatakan bahwa semua orang di dunia telah memiliki kekebalan terhadap Covid-19 tanpa vaksinasi khusus Covid-19, sebagaimana telah diperiksa oleh AP News.

Klaim Cahill itu tidak sesuai dengan fakta di Indonesia, di mana ada lebih dari 161 ribu orang meninggal dunia karena disebabkan Covid-19, bukan karena vaksin berbasis mRNA. Korban meninggal di Amerika Serikat bahkan tercatat lebih dari satu juta orang, sebagaimana ditampilkan Statista.com, juga karena infeksi virus penyebab Covid-19, bukan vaksin mRNA.

Cahill juga pernah mengatakan bahwa vaksin flu biasa bisa melindungi manusia dari serangan Covid-19. Padahal menurut pemeriksa fakta AFP, keterangan resmi tentang vaksin flu biasa di Amerika Serikat, tidak menyatakan produk itu bisa menangkal serangan Covid-19. 

Perbedaan Vaksin AstraZeneca dan mRNA

Dilansir Tempo, perusahaan AstraZeneca baru-baru ini diberitakan menerbitkan dokumen untuk pengadilan Inggris, yang sebagian isinya mengakui produk mereka dapat memberi efek samping yang sangat jarang, berupa Sindrom Thrombosis dengan Trombositopenia (TTS). 

Sindrom itu bisa menyebabkan seseorang mengalami pembekuan darah dan jumlah trombosit darah menjadi rendah. Kasus seperti itu beberapa kali diajukan ke pengadilan oleh keluarga korban, dengan terlapor perusahaan AstraZeneca.

Perusahaan juga menarik kembali seluruh vaksin Covid-19 mereka dari berbagai negara. Namun, perusahaan mengaku melakukan penarikan bukan karena isu efek samping yang naik ke pengadilan, melainkan telah ada vaksin lain yang lebih baik.

Dilansir website Mayoclinic.org, vaksin AstraZeneca berbeda dengan vaksin Covid-19 berbasis mRNA. Berdasarkan cara kerjanya, terdapat setidaknya tiga jenis vaksin Covid-19, yakni Messenger RNA (mRNA), Vektor, dan Subunit Protein.

Vaksin berjenis mRNA bekerja dengan memberi instruksi sel tubuh untuk membuat protein S yang mirip permukaan luar virus Covid-19, sehingga antibodinya bisa berlatih mengidentifikasi dan melawan virus Covid-19. Vaksin berjenama Pfizer-BioNTech dan Moderna termasuk jenis ini.

Kemudian vaksin jenis vektor bekerja menggunakan bagian dari virus Covid-19 yang telah dimasukkan ke virus lain yang telah dimodifikasi (virus vektor), untuk memantik antibodi manusia untuk membentuk kekebalan tubuh pada virus Covid-19.

Jenama vaksin Covid-19 yang termasuk jenis ini ialah Janssen/Johnson & Johnson serta AstraZeneca dan Universitas Oxford. Kedua jenama vaksin Covid-19 itu telah ditarik dari pasaran.

Sedangkan sub unit protein adalah jenis vaksin yang menggunakan bagian dari virus yang paling merangsang kekebalan tubuh. Vaksin Novavax menggunakan metode ini. Pada umumnya, ketiga jenis vaksin berupaya membuat protein S yang tidak berbahaya, untuk melatih antibodi melawan virus Covid-19. 

Sementara Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), berdasarkan pemantauan tahun 2023-2024, merekomendasikan pemakaian vaksin Pfizer-BioNTech, Moderna, atau Novavax untuk melawan virus Covid-19.

Untuk menghindari efek samping yang parah seperti TTS, CDC menyarankan masyarakat memilih vaksin berbasis mRNA. Berdasarkan pemantauan di Amerika Serikat selama ini, vaksin Covid-19 yang mereka gunakan tidak meningkatkan risiko kematian.

KESIMPULAN

Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang mengatakan penerima vaksin Covid-19 berbasis mRNA pasti akan meninggal dunia dalam tiga atau lima tahun adalah keliru.

Berdasarkan pemantauan pemerintah Amerika Serikat dan sejumlah pakar, penggunaan vaksin Covid-19 berbasis mRNA tidak meningkatkan risiko kematian terhadap seseorang.

TIM CEK FAKTA TEMPO

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected]