Keliru: Klaim Bahwa Revisi UU TNI Tidak Mengembalikan Dwifungsi ABRI

Jumat, 28 Maret 2025 07:00 WIB

Keliru: Klaim Bahwa Revisi UU TNI Tidak Mengembalikan Dwifungsi ABRI

SEBUAH infografis beredar di X atau Twitter [arsip] yang berisi beberapa narasi tentang revisi UU TNI, misalnya dikatakan revisi UU itu tidak mengembalikan Dwifungsi ABRI yang dahulu diterapkan di masa Orde Baru.

Selain itu disebutkan UU itu tidak memberi ruang jabatan sipil pada prajurit aktif, kecuali di 15 kementerian dan lembaga. Serta larangan berbisnis untuk prajurit aktif yang tetap dipertahankan dari peraturan sebelumnya.

Namun benarkah tiga klaim tentang revisi UU TNI yang ada dalam narasi tersebut?

PEMERIKSAAN FAKTA

Hasil verifikasi Tempo menunjukkan bahwa revisi UU TNI yang disahkan pada 20 Maret 2025 sebagai upaya untuk mengembalikan Dwifungsi ABRI.

Dwifungsi ABRI adalah konsep dan kebijakan politik yang memberikan peran ganda kepada ABRI dalam kehidupan bernegara. Selain berfungsi sebagai kekuatan pertahanan, ABRI juga memiliki peran dalam mengelola pemerintahan. 

ABRI adalah nama sebelum TNI yang digunakan sejak 1962. Saat itu, pemerintah Orde Lama menyatukan angkatan perang dengan kepolisian negara agar lebih efektif dan efisiensi dalam melaksanakan perannya dan menjauhkan pengaruh dari kelompok politik tertentu.

Pemerintahan Soekarno kemudian digantikan oleh Soeharto dari kalangan militer yang mempertahankan ABRI hingga akhir masa kekuasaannya. Di masa Orde Baru tersebut, ABRI memiliki dwifungsi di mana ABRI menjalankan perannya sebagai kekuatan pertahanan di Indonesia sekaligus sebagai pengatur negara.

Dwifungsi ABRI kemudian dilegalkan oleh Soeharto pada 1982 melalui Undang-undang nomor 20 tahun 1982. Berangkat dari gagasan tersebut ABRI berhasil melakukan dominasi terhadap lembaga eksekutif dan legislatif pada pemerintahan Orde Baru. Sejak era 1970-an, sudah banyak perwira aktif ABRI yang menduduki kursi di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi. Hal ini tentunya berpengaruh pada kondisi sosial dan kehidupan politik di Indonesia.

Pada 1998, setelah Orde Baru dan Soeharto runtuh, berpengaruh terhadap keberadaan ABRI. Gerakan Reformasi menuntut pencabutan Dwifungsi ABRI yang kemudian berhasil terjadi pada 1 April 1999. Saat itu, TNI dan Polri secara resmi dipisah menjadi institusi yang berdiri sendiri. Sebutan ABRI sebagai tentara dikembalikan menjadi TNI. 

DPR dan Pemerintah kemudian menerbitkan Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berlaku pada 16 Oktober 2004. Sesuai Pasal 47 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, melarang TNI menduduki jabatan sipil di luar 10 institusi yakni: koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung. Di luar 10 institusi tersebut, prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

Revisi UU TNI oleh Pemerintah dan DPR RI pada 20 Maret 2025, memantik penolakan yang luas karena dapat mengembalikan dwifungsi TNI tersebut. Pasalnya, pemerintah mengusulkan perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit aktif, termasuk di: Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Keamanan Laut dan Kejaksaan Agung. Pemerintah juga mengusulkan perpanjangan masa pensiun prajurit hampir di semua level.

Dosen Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Herlambang Perdana Wiratraman, menyatakan penambahan jabatan sipil untuk diduduki prajurit TNI aktif adalah upaya mengembalikan Dwifungsi ABRI atau saat ini bisa disebut Dwifungsi TNI. “Posisi militer itu protecting country (pertahanan), bukan governing country. Jadi secara pemerintahan seharusnya tunduk pada pemerintahan sipil,” kata Herlambang melalui WhatsApp, 27 Maret 2025.

Meletakkan prajurit TNI aktif di kursi jabatan sipil, kata dia, akan mengganggu supremasi sipil dalam konteks negara demokrasi. Sebabnya, pejabat lembaga sipil di negara demokrasi harus memutuskan kebijakan yang nantinya ia pertanggungjawabkan kepada publik. 

Sementara karakter prajurit TNI adalah komando atau perintah tanpa partisipasi publik dalam pengambilan keputusan dan tidak ada mekanisme pertanggungjawaban kepada publik. Herlambang memberikan contoh dalam penanganan sengketa agraria, TNI akan menggunakan mekanismenya sendiri yang berbeda dengan sistem pemerintahan sipil yang dilaksanakan Badan Pertanahan Negara (BPN).

Prajurit Aktif Menduduki Jabatan Sipil di Luar Ketentuan Undang-undang

Meski dalam revisi UU TNI hanya mengatur 15 jabatan sipil yang bisa diduduki oleh prajurit aktif, Herlambang mengatakan, tidak ada jaminan untuk ditaati. Sebelumnya, banyak perwira TNI aktif yang menjabat di lembaga sipil, termasuk perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), melebihi 10 kementerian dalam UU TNI lama. 

Misalnya, dilansir Tempo 20 Maret 2025, setidaknya terdapat tujuh perwira TNI aktif yang menjabat di lembaga sipil, termasuk di BUMN. Daftarnya dari Letkol Inf Teddy Indra Wijaya yang menjadi Sekretaris Kabinet, sampai Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali sebagai Komisaris Utama PT PAL.

Dalam program Makan Bergizi Gratis misalnya, TNI terlibat dalam dapur dan mendistribusikan makanan. TNI juga dilibatkan dalam penyelesaian konflik hutan. LSM Imparsial juga menyebut, saat ini terdapat 2.500 tentara aktif yang menduduki jabatan sipil pada 2023.

Sejak kabinet Jokowi pada tahun 2015, 50.000 personil dikerahkan untuk terjun ke desa-desa menjadi tenaga penyuluh pertanian. Menteri Pertanian Amran Sulaiman meneken Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 14/Permentan/Ot.140/3/2015 tentang Pedoman Pengawalan Dan Pendampingan Terpadu Penyuluh, Mahasiswa, dan Bintara Pembina Desa Dalam Rangka Upaya Khusus Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai.

KESIMPULAN

Verifikasi Tempo menyimpulkan bahwa narasi yang mengatakan penambahan jabatan sipil dalam revisi UU TNI tahun 2025 tidak mengembalikan Dwifungsi ABRI atau Dwifungsi TNI adalah klaim keliru.

TIM CEK FAKTA TEMPO

**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui email [email protected]